Mohon tunggu...
Roy Hendroko
Roy Hendroko Mohon Tunggu... -

Roy adalah mania di bBH (jangan diartikan Bra Mania), atau dalam Bahasa Indonesia yang salah kaprah : BBN Mania, atau di-Inggris-kan : Biofuel Mania. Saat ini mencangkul di perusahaan swasta yang berbasis perkebunan dan industri kelapa sawit, sebagai Researcher Biofuel Plant Production. Roy pensiun dengan masa kerja 35 tahun dari sebuah BUMN yang mengelola 10 Pabrik Gula, 2 Pabrik Bioetanol, dan 2 Pabrik Kelapa Sawit. Aktif di Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (APBI) skala UKM, Asosiasi Bioenergi Indonesia (ABI), Asosiasi Petani Jarak Pagar Indonesia (APJPI), Forum Biodiesel Indonesia (FBI), dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuanku menulis adalah memberitakan bahwa minyak bumi sedang menuju titik nadir dan suatu hari BBM adalah akronim dari Bener Benar Malu. Masa depan Republik ini adalah pertanian energi karena pro poor, pro job, pro growth, dan pro planet. Postinganku berupaya menjadikan BBN (bahan bakar nabati) menjadi back bone di negara ini. Bukan seperti saat ini yang hanya Bener Bener Nekat atau hanya sekadar Bener Bener Narcist dan akhirnya pabrik Benar Bener Nyaris jadi rosokan besi tua karena hanyalah merugi. Apakah "mimpi", "utopia", atau "misi"-ku akan tercapai ? INSYA ALLAH dan semoga rekan Kompasianer mendukungku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demam Bioetanol (Jilid 8) : Mi Vs Bioetanol

7 September 2009   15:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:45 3054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bioetanol “Revolusi” mampu mengolah 12 ton singkong per hari. Bila dikonversi ke etanol lebih kurang setara kapasitas pabrik bioetanol skala kecil ( 1- 15 Kl per hari). Apakah pendirian pabrik bioetanol skala kecil membutuhkan izin (bahasa Indonesia yang baik dan benar : izin atau ijin) ? Jawabnya, pasti dibutuhkan izin, karena kita harus tertib hukum atau ketentuan yang berlaku. Kompasianers ingat, kita pernah diskusi sentra industri kecil etanol di Bekonang, Jateng. Foto-fotonya saya posting di bioetanol 4, klik di sini, di sebuah “pabrik” yang berlantai tanah dan berdinding gedek (bambu), kakek tua seorang bioetanolist menunjukkan pada saya selembar surat izin produksi etanol yang dibungkusnya dengan plastik kumal (bukan laminating lho) !

Apa saja yang harus dilakukan untuk pengurusan izin tersebut ? Sejumlah ketentuan harus kita miliki, antara lain : - Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan ( SPPL). - Rekomendasi Lingkungan dari BAPELDADA. - Surat Ijin Tempat Usaha ( SITU ) - Surat ijin Usaha Perdagangan ( SIUP ) Kecil. - Tanda Daftar Industri ( TDI ).. - Tanda Daftar Perusahaan ( TDP)

Izin tersebut di atas dapat dilakukan oleh Perusahaan atau Perorangan. Pengalaman Mas Eko Suryo, SWA Jaya Bioetanol, di Madiun mengurus izin tersebut (Agustus 2009) membutuhkan biaya ± Rp 3,5 juta, untuk pabriknya yang berskala mikro (< 1.000 liter/hari). Tentunya biaya dan ketentuan di atas, besar kemungkinan berbeda antar kota atau kabupaten. Seorang teman bioetanolist di Lampung Utara, mendirikan pabrik etanol skala kecil [lokasinya berhadapan dengan milik PT Medco Etanol Lampung - MEL (kapasitas 60.000 Kl/tahun)] mengeluarkan biaya ± Rp 10 juta (dengan bantuan ”calo”). Seyogianya bioetanolist menanyakannya ke Dinas Perindustrian setempat.

Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (BBN). Dengan izin di atas, kompasianers telah resmi dapat memproduksi bioetanol. Anda dapat memproduksi etanol dengan spesifikasi Alkohol Prima Super, atau Alkohol Prima I, dan / atau Alkohol Prima II yang diatur di SNI No 06-3595-1994. Tetapi bila Bioetanolist ingin memproduksi bioetanol sebagai BBN,.......seperti misal suplai ke Pertamina untuk jadi Bio Premium atau Bio Pertamax, substitusi minyak tanah seperti telah kita bahas di Bioetanol 1, klik di sini maka kompasianers harus mengikuti ketentuan di Permen ESDM No. 032/ 2008. Peraturan ini mengatur pembelian, penjualan, pengolahan, ekspor dan/atau impor serta pengangkutan dan penyimpanan sampai pemasaran BBN ke konsumen akhir ( tercantum di Bab I, pasal 1).

Sesuai pasal 14 untuk mendapatkan izin usaha niaga BBN, suatu Badan Usaha menyampaikan permohonan kepada Menteri melalui Dirjen dengan melampirkan data administratif dan data teknis. Namun di era otonomi, wewenang Menteri ESDM dan Dirjen Migas dialihkan dan diperjelas di pasal 35, yakni pada kapasitas pabrik BBN sebesar 5.000 – 10.000 ton per tahun, izin dikeluarkan oleh Gubernur. Sedang pada kapasitas < 5.000 ton per tahun, izin usaha niaga BBN dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota dimana Badan Usaha berdomisili.

Data administratif adalah : a. Akta pendirian Badan Usaha dengan lingkup usaha energi yang telah disahkan oleh instansi berwewang. b. Bio data Badan Usaha (company profile). c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). d. Tanda Daftar Perusahaan (TDP). e. Surat keterangan domisili Badan Usaha f. Surat pernyataan tertulis di atas meterai mengenai kesanggupan memenuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan. g. Surat pernyataan tertulis di atas meterai mengenai kesediaan dilakukan inspeksi lapangan oleh petugas.

Data teknis adalah : a. Sumber perolehan bahan baku. b. Data standar dan mutu BBN yang akan diniagakan. c. Nama dan merk dagang BBN untuk retail. d. Informasi kelayakan usaha. e. Surat pernyataan tertulis di atas meterai mengenai kemampuan penyediaan BBN. f. Surat pernyataan tertulis di atas meterai mengenai kesanggupan untuk memenuhi aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup.

Ribet ya ? Tergantung dari sudut pandang mana? Namun ”mengakali” ketentuan di atas, para bioetanolist skala mikro dan kecil dapat ”memanfaatkan” pasal 7 yakni memproduksi dan meniagakan BBN dalam kerangka Desa Mandiri Energi. Ahamdulilah, separuh janji saya telah terlunasi. Lega rasanya, meski saya masih berhutang tentang peraturan lain di dunia bioetanol yakni tentang NPPBKC (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai). Insya Allah di postingan yang akan datang, kita diskusikan.

Kanibalis. Sebagai intro, saya di atas telah mempaparkan singkong sebagai pangan. Apakah saya sebagai BBN mania tidak khawatir mi singkong akan mendesak BBN-bioetanol ? Apakah saling kanibal food, feed, dan energy (dengan bahan baku singkong) akan mangkin menghebat di Indonesia? Bukankah Roy selama ini di pelatihan-pelatihan bioetanol di IPB, Trubus, dan lain-lain selalu menceritakan kesulitan PT Madusari Lampung Indah, sebuah pabrik bioetanol di Lampung dalam memenuhi kapasitas bahan bakunya berupa singkong ? Bukankah Pak Hilmi Panigoro, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) di ”seminar mahal”, klik di sini mengeluhkan problema plasma singkong di PT Medco Etanol Lampung sehingga merencanakan memindah scale up pabrik etanolnya ke Merauke - Papua ? Hal yang sama dengan pabrik etanol milik  PT Lautan Luas Tbk. di Lampung yang belum juga beroperasi ?

Inilah tantangan kita bersama untuk meningkatkan produktivitas singkong agar tidak saling kanibal ! Kita akan segera memiliki varietas singkong unggul yang saat ini masih bersandi klon OMM 9906-12, OMM 9908-4, CMM 99023-4, CMM 99008-3, dan MLG 10311 yang diintroduksi oleh BALITKABI (Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian) di Malang. Tak ”mau kalah”, Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia siap pula meluncurkan singkong klon APBI yang konon produksinya dapat mencapai 90 ton/ha pada umur 5 bulan. Padahal singkong konvensional produksinya hanya berkisar 15 ton/ha dengan umur 9-12 bulan (APBI menawarkan per batang bibit dengan panjang 25 em seharga Rp 350 – Rp 450 per batang dalam rangka introduksi MITANOL, bahan bakar nabati pengganti minyak tanah).

Kekhawatiran tak perlu ada, bahan baku bioetanol tidak hanya singkong. Kita memiliki aren, sagu, lontar, sorgum, nipah, dan lain-lain. Di Bioetanol 5 klik di sini, kita telah mendiskusikan ”bahan baku baru” yang menunggu ”pinangan” rekan-rekan bioetanolist.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun