Mohon tunggu...
Roy Hendroko
Roy Hendroko Mohon Tunggu... -

Roy adalah mania di bBH (jangan diartikan Bra Mania), atau dalam Bahasa Indonesia yang salah kaprah : BBN Mania, atau di-Inggris-kan : Biofuel Mania. Saat ini mencangkul di perusahaan swasta yang berbasis perkebunan dan industri kelapa sawit, sebagai Researcher Biofuel Plant Production. Roy pensiun dengan masa kerja 35 tahun dari sebuah BUMN yang mengelola 10 Pabrik Gula, 2 Pabrik Bioetanol, dan 2 Pabrik Kelapa Sawit. Aktif di Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (APBI) skala UKM, Asosiasi Bioenergi Indonesia (ABI), Asosiasi Petani Jarak Pagar Indonesia (APJPI), Forum Biodiesel Indonesia (FBI), dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuanku menulis adalah memberitakan bahwa minyak bumi sedang menuju titik nadir dan suatu hari BBM adalah akronim dari Bener Benar Malu. Masa depan Republik ini adalah pertanian energi karena pro poor, pro job, pro growth, dan pro planet. Postinganku berupaya menjadikan BBN (bahan bakar nabati) menjadi back bone di negara ini. Bukan seperti saat ini yang hanya Bener Bener Nekat atau hanya sekadar Bener Bener Narcist dan akhirnya pabrik Benar Bener Nyaris jadi rosokan besi tua karena hanyalah merugi. Apakah "mimpi", "utopia", atau "misi"-ku akan tercapai ? INSYA ALLAH dan semoga rekan Kompasianer mendukungku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bioetanol Gadis (Seri Demam Bioetanol ke-9)

26 September 2009   07:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:39 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompor Bioetanol ex Kosprima

[caption id="attachment_45663" align="alignleft" width="240" caption="Mobil GEA"][/caption] Tangkiu kompasianers berkenan mampir dan membaca sharing ini. Serial postingan ini bertujuan “menyadarkan” kompasianers agar ngeh dampak negatif Bahan Bakar Minyak (BBM) dan meminimasinya dengan Bahan Bakar Nabati (BBN). Insya Allah, postingan ini dapat mencerahkan. Kali ini saya akan menerapkan citizen journalist, dengan menceritakan apa yang saya lihat di kota GADIS Madiun, Jawa Timur. Udah tahu kepanjangan akronim GADIS ? Jawabnya : (1) perdagangan, (2) pendidikan, dan (3) industri. Kita bahas yang terakhir atau yang ke-3 aja, Kabupaten Madiun memiliki sebuah industri besar –di zaman Menristek B.J. Habibie di katagorikan industri strategis- yakni INKA. Seperti kita ketahui, INKA disamping “memproduksi” peralatan kereta api, saat ini bekerja sama dengan BPPT membuat mobil nasional “GEA”. Sebuah mobil pengembangan dari mobil “kancil” (pengganti Bajay ex India untuk angkutan di Jakarta) seharga Rp 50 juta-an, bermesin 650 cc, namun bisa dilengkapi AC, kecepatan 85 km/jam, dan super irit karena 1 liter bensin bisa untuk 20-25 km. Kompasianers tahu kepanjangan akronim GEA? Jawaban : “Gulirkan Energi Alternatif”. Maksud penamaan tersebut adalah semangat untuk menggunakan energi alternatif terkait dengan ancaman krisis energi di Indonesia. Kompasianers pasti sependapat, berita dan foto “GEA” di atas, pas sebagai intro postingan ini. Dalam kaitan BBN, Madiun memiliki potensi besar karena terdapat 6 pabrik gula. Seperti kita bahas di bioetanol 2, klik disini, pabrik gula menghasilkan side product molasses alias tetes tebu yang saat ini 99 % adalah bahan baku pabrik etanol di Indonesia. Namun Kabupaten Madiun tidak/belum memiliki pabrik bioetanol (meski cuman skala kecil, untuk refresh kriteria kapasitas pabrik tertera di bioetanol 4, klik di sini) . Mas ES Para kompasianers yang setia membaca serial BBN, pasti jumpa nama ES – Eko Suryo, seorang bioetanolist yang ber KTP Jakarta, tapi mempunyai unit produksi (atau sebut aja dengan bangga : pabrik) bioetanol skala mikro di Medhioen. Mas ES, selalu muncul di postingan saya sebagai komentator yang kocak dan bernada “sejuk yang positif” (“sejuk yang negatif” itu gimana ya? Maksud saya komentar beliau selalu sopan dan kritiknya bernada membangun). Kalau nggak salah, Mas ES mulai muncul di postingan saya kedua (bioetanol 1, klik disini). Yang saat ini,kompasianers baca adalah postingan ke-16 (ahamdulilah, puji syukur saya dapat terus-terus sharing tentang BBN) Saya dan isteri udah janji berulang kali akan “sidak” Swa Jaya Bioetanol, milik beliau. Akhirnya kesampaian juga, hari Sabtu, 19 September 2009, jelang sehari sebelum Lebaran 1430 H, saya mampir ke desa Sumberejo, Kecamatan Geger, Kab. Madiun (nyambi sekalian sungkem ibu mertua di Idulfitri 1430 H.). Nih, lokasinya di tengah perjalanan dari Madiun ke kota reog Ponorogo. Dekat dengan Dolopo, sentra buah durian dan pemandian air panas “Umbul”. Jalan ke pabrik beliau ber- hot mixed, hanya lebih kurang 15 menit bermobil dari lampu bang-jo pusat kota Madiun, 17 menit dari toko Mirasa, oleh-oleh khas Madiun, lebih kurang 20 menit dari warung beken “Pecel Madiun”...yang asli lho, atau ± 25 menit dari Pabrik Gula Rejo Agung Baru (tempatku “mencangkul” di tahun 1973- 1988) di tapal batas Kabupaten dan Kota Madya Madiun. Jalan aspal mulus itu,....sampai di pintu pagar pabrik beliau. Penyelamat Aset Mubazir. [caption id="attachment_45561" align="alignleft" width="240" caption="Pabrik Swa Jaya Bioetanol"][/caption] Perhatikan foto pabrik di samping ini. Bagi para kompasianers yang berprofesi atau sering berkunjung di pedesaan pasti tahu, bangunan apakah itu? Ya benar, itu gudang dan kantor KUD (Koperasi Unit Desa) yang dibangun puluhan tahun silam dan....... kini sebagian besar mangkrak. Mungkin kompasianers ingat, pemerintah di era OrdeBaru (Orba) membangun ratusan, atau mungkin ribuan gudang KUD dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian, utamanya beras (mungkin kompasianer ingat zaman itu ada "kelompencapir") Bentuk gudang ini dibangun ”seragam” di desa-desa di Nusantara dan direncanakan untuk menyimpan saprodi antara lain pupuk dan gudang gabah, sebagai transit sebelum dikumpulkan di gudang-gudang Bulog. Program Orba yang ideal, tapi sayang (sebagian besar) bangunan KUD tersebut mubazir. Sebuah gudang KUD yang telah 27 tahun tidak terpakai, dimanfaatkan oleh Mas ES untuk bangunan pabriknya. Puji syukur, karena Mas ES berjasa menyelamatkan aset yang telah dibangun dengan RABN (beberapa km dari lokasi ini, tampak gudang KUD yang dipakai oleh swasta untuk menyimpan teh botol Sosro. Ahamdulilah masih ada yang berkenan, karena sejumlah gudang KUD lain udah ”dirampok”...... seng atap dan dinding telah ”dimanfaatkan” dan dipindahkan ke rumah penduduk). Aji Mumpung Di dalam ex gudang KUD terpasang 3 unit perangkat destilasi + tangki evaporator berkapasitas produksi masing-masing 50 liter etanol/jam. Satu unit buatan rekan di Karanganyar, kita sebut aja Unit A. Perekayasa unit A, bergerak pula di pelatihan tepung singkong mocal (klik di sini). Unit B, didesign oleh perekayasa yang konon berpengalaman mengembangkan etanol berbasis nira aren di Sulawesi Utara...memiliki kantor dan bengkel rekayasa di daerah Tebet, Jakarta. Unit B diklaim oleh perekayasanya sebagai alat (semi) otomatis. Sedang unit C adalah modifikasi Mas ES yang menggabungkan design tangki evaporator dari unit A, sedang destilasinya dari unit B. [caption id="attachment_30" align="aligncenter" width="300" caption="Tiga unit peralatan bioetanol. Foto kiri : unit A, Foto tengah : unit B, dan Foto kanan : unit C"][/caption] Mengapa sampai ada 3 unit? Apakah tidak boros? Kenapa Mas ES sampai membuat unit C yang merupakan gabungan design A dan B? Bila berkenan, silahkan kompasianers baca sub bag ”Berita Duka 2” di postingan BBN (klik di sini), atau komentar saya (di No. 10) di Bioetanol 6 (klik di sini). Atau simak ”keluhan terselubung” Mas ES (karena beliau amat santun) di milis APBI (Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia), di tanggal 2 Agustus 2009 yang ditulisnya sebagai berikut ” Wheleh...wheleh. .., lha yang sudah kebacoet beli macem-macem alat yang "belon normal" apa ya harus ganti alat yang bisa "bikin bukti bukan janji" (kebacut bila ditranslate adalah terlanjur). ”Sambat santun” ini sebagai tanggapan komentar rekan SB, tanggal 31 Juli 2009 yang menulis ........."banyak kami dengar alat produksi teman - teman pengusaha tidak bekerja secara maksimal.......... kreteria alat produksi yang baik adalah menghasilkan ethanol kadar 96% secara flat............ (jangan takut mahal yang penting kualitas terjamin) dan bayar lunas apabila sesuai yang dijanjikan". Bila kompasianers akan menjenguk milis APBI, silahkan klik disini. Ya, inilah Indonesia, ada aja perekayasa alat bioetanol yang aji mumpung (kata ini saya kutip dari komentar Mas Florensius, wong kito galuh, tanggal 19 September 2009 di postingan BBN. Aji mumpung itu boso Jowo artinya memanfaatkan kesempatan tapi dalam artian ”negatif”). Teganya para pebisnis iptek ”kagetan” yang hanya mengejar laba, namun tidak memiliki etika (simak komentar Mas Satrya di No. 13, tanggal 30 Juli 2009, di postingan Bioetanol 6). Mengapa saya memakai kata iptek ”kagetan”.. karena sebagian perekayasa peralatan bioetanol, muncul tiba-tiba.....dan (nyuwun duko alias maaf) bukanlah ahlinya. Kita layak memberikan apresiasi karena beliau-beliau tersebut rajin ngintip di internet, tanya kiri-kanan, diskusi, ikut seminar, pelatihan & workshop..... dan jadilah sebuah peralatan yang dipasarkannya. Karena sedang ”demam bioetanol” maka ”laris manis-lah” peralatan tersebut....persis seperti ratusan alat pembuat minyak jarak di tahun 2007 (yang kini nyaris jadi besi tua). Namun sayang, sejumlah calon bioetanolist ”tertipu” karena ternyata peralatan tersebut tidak sesuai dengan janji di iklan. Hanya ”surga telinga” doang. Bravo 1. Salut kepada Mas ES, beliau dapat ”mengatasi” masalah tifu-tifu tersebut. Realisasi unit A hanya mampu mencapai kadar bioetanol 70-80%. Pendapat saya, ya segitu itu kemampuan alat destilasi tipe A, meski perekayasanya mengiklankan mampu membuat bioetanol berkadar > 90 %. Ya, memang bisa mencapai kadar 90% bila di reflux, tetapi apakah efisien terhadap penggunaan bahan bakar ? Tentang saran reflux, mungkin terlupa dicantumkan si perekayasa ! Tentang unit B, diiklankan sebagai alat (semi) otomatis ternyata memiliki kelemahan fatal pada sistem evaporatornya. Bentuk evaporator unit B berdampak negatif pada lama pemanasan, sehingga boros bahan bakar. Namun unit B, karena destilasinya telah menganut sistem Dog Wood.... maka dapat menghasilkan bioetanol ? 90 % . Karena Mas ES udah ”lelah” mengadu ke 2 perekayasa, si A dan Doktor B yang semula menjanjikan ”garansi” maka dilakukan trial and error dengan menggabungkan evaporator sistem A dengan destilasi Dog Wood –Robert Warren yang dibuat perekayasa B menjadi unit C. Ahamdulilah ”sedikit teratasi” masalah Swa Jaya Bioetanol, Medhioen. Bravo ke-1 untuk Mas ES. Sekadar informasi, saya udah beberapa bulan lalu (Maret atau April 2009) ”memasuki” web si Doktor B dan menulis komentar di blognya, tapi nunggu tanggapan dari Bapak Doktor tidak muncul jua, meski hari ini udah tanggal 24 September 2009, jam 22.15 WIB. Apakah beliau super sibuk mengerjakan pesanan peralatan sehingga tidak sempat menengok blognya ? Insya Allah, semoga hanya Mas ES doang yang dijadikannya ”kelinci percobaan”. Bravo 2. [caption id="attachment_52" align="alignleft" width="120" caption="Petak Peragaan Sorgum Manis"]

Petak Peragaan Sorgum Manis di Swa JB
Petak Peragaan Sorgum Manis di Swa JB
[/caption] Menyadari tetes tebu akan menjadi ”emas hitam” bagi industri bioetanol di Indonesia, sedang singkong telah berdampak ”perang” dengan pabrik tapioka; maka Mas ES mulai bertanam sweet sorghum sebagai petak peragaan (bila kompasianers ada waktu, silahkan baca keluhan beliau -namun tetap bersemangat pantang mundur- di postingan BBN, komentar tanggal 19 September 2009, dan postingan Bioetanol 4, di komentar tanggal 24 Juni 2009). [caption id="attachment_53" align="alignright" width="120" caption="Mas Ali, pakar sorgum manis"]
Mas Ali, pakar sorgum manis
Mas Ali, pakar sorgum manis
[/caption] Bravo ke-2 dan salut kepada Mas ES, perhatikan foto-foto pertumbuhan sorgum yang cantik, di umur ± 2 bulan di lokasi samping dan belakang pabrik Mas ES. Sorgum ini diairi dengan vinase tanpa pengolahan, hanya diencerkan doang. Makasih Mas ES, yang sudi menerapkan saran saya tentang pengairan ini. Jenengan harap hati-hati, tetangga di sebelah pabrik Swa Jaya ada Taman Kanak-Kanak lho. Jangan terulang nasib PT ABE, di Bioetanol 6 klik di sini, dan Bioetanol 7, klik di sini. Saya nunggu data tentang sorgum ya Mas ES ? Kan jenengan tidak merasa jadi ”tikus percobaan” sorgum ya Mas? Pesan saya juga, jangan nira sorgum HANYA jadi es sirup di TK, di samping pabrik ya Mas? Mutu is Nomer One. Kini produksi Swa Jaya Bioetanol telah menumpuk ± 2 ton. Dijual kemana, inilah perjuangan berikut. Seperti warning di postingan-postingan saya sebelumnya....membuat sih mudah, tapi menjual butuh ekstra tenaga. Para UMKM seperti Mas ES, tidak hanya harus berusaha agar kadar etanol ? 95 persen, tapi harus berupaya no smell, tanpa warna alias jernih, menghilangkan senyawa-senyawa kimia ikutan, misal etil acetat, keton, aldehida, dan lain-lain, khususnya fusel agar diperoleh harga jual relatif tinggi. Aniweii, kita juga harus apresiasi (nih bravo ke-3) kepada Mas ES bahwa izin pabriknya sesuai ketentuan peraturan industri telah clear dari Pemkab Madiun. Hanya saran saya, tentang penyimpanan produk ..ya Mas. Awas bahaya kebakaran ! Semoga cepat laku keras produknya agar tidak butuh tempat penyimpanan yang luas. [caption id="attachment_38" align="alignright" width="78" caption="Alat Destilator Tipe "Dog Wood" - Robert Warren Produk Sesepuh APBI"]
Alat Destilator Tipe "Dog Wood" - Robert Warren Produk Sesepuh APBI
Alat Destilator Tipe "Dog Wood" - Robert Warren Produk Sesepuh APBI
[/caption] Balik ke mutu etanol agar ”laris manis”...... Dengan peralatan di skala bioetanol mikro, misal evaporator dari drum bekas, panjang menara destilasi Dog Wood yang kurang dari 2 meter harus diakui etanol kualitas tinggi relatif sulit untuk dicapai. Namun saya yakin, Insya Allah, para teman bioetanolist khususnya di APBI pasti mampu merekayasa teknologi untuk memaksimasi kadar dan meniadakan impurietes. Yuk, siapa yang berkenan sharing tentang perekayasaan ini ? Subsitusi Mintan. Yang relatif mudah bagi pabrikan skala mikro dan kecil terkait mutu adalah mensuplai pengganti minyak tanah – mintan yang oleh TimNas BBN disebut bio kerosin, di Permen ESDM No 032/2008 dinamakan Minyak Nabati Murni (O-100), atau APBI memproklamasinya dengan sebutan MITANOL. Kesempatan dan prospek pasar TAMPAKNYA menjanjikan....seperti telah kita bahas di Bioetanol 1, klik di sini. (Pemasaran substitusi mutu adalah "free market" dan mungkin akan door to door,sehingga Insya Allah tidak menyebabkan "pusing" seperti yang dialami Pak ES (bukan Mas ES) di postingan BBN (bener bener nekat) terkait penjualan BBN "subsidi" ke Pertamina) [caption id="attachment_35" align="alignright" width="160" caption="Kompor Bioetanol ex Kosprima"]
Kompor Bioetanol ex Kosprima
Kompor Bioetanol ex Kosprima
[/caption] Di ”sidak”, saya juga menyaksikan persiapan Mas ES untuk MANDIRI MINTAN di Kecamatan Geger, minimal desa Sumberejo. Sejumlah produk kompor etanol telah diujinya dan tampaknya sama seperti di sub bab Bravo 1 di atas, ....iklan lebih indah dari fakta. Kompor produk ”Kosprima” memberi harapan dibanding kompor yang lain. Kompor ini didesign dengan bahan bakar spiritus dengan kerja sama Pabrik Gula Madukismo, Jogja (salah satu lokasi supervisiku, saat ”cangkulan” di tahun 1988 - 1997). Di Bioetanol 1, sesuai iklan dilaporkan bahwa 1 liter spiritus habis dalam 6-7 jam.....ternyata uji Mas ES menemukan habis dalam 4 jam. Tapi nggak masalah, yang penting masih lebih hemat dibanding mintan dan lebih ramah lingkungan karena tidak berasap dan berjelaga. Sekadar informasi bagi kompasianers, spiritus (brand spiritus) adalah etanol berkadar 50 % yang ”dirusak” dengan bahan pencampur metanol, kerosin, dan bahan pewarna methylen blue atau methylen violete sesuai Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No P-14/BC/2007, tanggal 31 Mei 2007. Kalau hanya mencapai kadar 50-70 % sih, gampang bagi rekan-rekan UMKM etanol. Manalagi impurietes, bau dan warna tidaklah prinsip bagi substitusi mintan. Namun, titip saran ya Mas ES ..... jangan lupa mengurus izin pabrik Swa Jaya selaku pembuat dan penjual BBN sesuai Permen ESDM 032/2008 ! Bagaimana mengurusnya, dikit udah saya paparkan di Bioetanol 8, klik disini. Demikian juga, seyogianya Mas ES dan sobat UMKM memanfaatkan ketentuan di pasal 7, tentang Desa Mandiri Energi agar ”bebas” dari aturan Tata Niaga BBN (dan mungkin pula bebas dari aturan cukai EA). Saran saya, bicarakan dengan Pemda setempat. Oh ya, masyarakat menunggu lho, janji atau "iklan" kompor di milis APBI yang mengklaim 1 liter bioetahol habis dalam 20 jam. Akhirnya postingan ini saya ”tutup” dengan himbauan dan sejumlah pertanyaan ke Pak Dirjen Bea dan Cukai (meski saya bertindak pribadi sebagai pengamat, pemerhati, dan BBN mania yang tidak mewakili instansi atau asosiasi ...apapun). Pak Dirjen BC yth . Fakta di masyarakat menunjukkan tren peningkatan penggunaan EA (etil alkohol) sebagai pengganti mintan. Terkait hal itu, apakah tidak seyogianya segera ditetapkan peraturan tentang mencampur dan/atau merusak EA untuk dijadikan substitusi mintan ? Apakah dapat diterapkan aturan yang sama dengan brand spiritus ? Bagaimana mendapatkan metanol dengan mudah dan ”murah” ? Apakah tidak sebaiknya dengan segera dilakukan koordinasi dengan instansi terkait (Dirjen Migas ?) tentang penetapan mutu EA substitusi mintan? Apakah katagori substitusi ini setara dengan O-100? Bagaimana tentang cukai EA yang digunakan sebagai pengganti mintan ? Apakah mengacu pada UU no 11 tahun 1995, tentang cukai yang diubah dengan UU No. 39 tahun 2007? Bagaimana prosedur tentang ”perusakan” dan bebas cukai EA sebagai substitusi mintan? Mengacu ketentuan pada Pemen Menkeu No. 47/PMK.04/2007 tentang pembebasan cukai ? Permen Menkeu tsb yang dijabarkan ke Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. P-13/BC/2007, tentang tata cara pembebasan cukai EA serta No. P-14/BC/2007, tentang tata cara pencampuran dan perusakan EA yang mendapat pembebasan cukai? Kami menunggu petunjuk Bapak. Tindasan (1) Ibu Dirjen Migas, (2) Dewan Energi Nasional, (3) APBI (di postingan yang akan datang, bila berkenan saya memberanikan diri mohon idzin mengajukan saran terkait upaya memicu perkembangan EA sebagai pengganti mintan dan memacu pertumbuhan DME. Namun tidak ”mengabaikan” ketentuan cukai. Saya menunggu sumbang saran –bukan saran sumbang lho- kompasianers khususnya para bioetanolist. Makasih). Kota Malang, Jatim, 25 September 2009 SALAM ENERGI HIJAU, Berkah Dalem Gusti. Roy Hendroko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun