[caption id="attachment_45663" align="alignleft" width="240" caption="Mobil GEA"][/caption] Tangkiu kompasianers berkenan mampir dan membaca sharing ini. Serial postingan ini bertujuan “menyadarkan” kompasianers agar ngeh dampak negatif Bahan Bakar Minyak (BBM) dan meminimasinya dengan Bahan Bakar Nabati (BBN). Insya Allah, postingan ini dapat mencerahkan. Kali ini saya akan menerapkan citizen journalist, dengan menceritakan apa yang saya lihat di kota GADIS Madiun, Jawa Timur. Udah tahu kepanjangan akronim GADIS ? Jawabnya : (1) perdagangan, (2) pendidikan, dan (3) industri. Kita bahas yang terakhir atau yang ke-3 aja, Kabupaten Madiun memiliki sebuah industri besar –di zaman Menristek B.J. Habibie di katagorikan industri strategis- yakni INKA. Seperti kita ketahui, INKA disamping “memproduksi” peralatan kereta api, saat ini bekerja sama dengan BPPT membuat mobil nasional “GEA”. Sebuah mobil pengembangan dari mobil “kancil” (pengganti Bajay ex India untuk angkutan di Jakarta) seharga Rp 50 juta-an, bermesin 650 cc, namun bisa dilengkapi AC, kecepatan 85 km/jam, dan super irit karena 1 liter bensin bisa untuk 20-25 km. Kompasianers tahu kepanjangan akronim GEA? Jawaban : “Gulirkan Energi Alternatif”. Maksud penamaan tersebut adalah semangat untuk menggunakan energi alternatif terkait dengan ancaman krisis energi di Indonesia. Kompasianers pasti sependapat, berita dan foto “GEA” di atas, pas sebagai intro postingan ini. Dalam kaitan BBN, Madiun memiliki potensi besar karena terdapat 6 pabrik gula. Seperti kita bahas di bioetanol 2, klik disini, pabrik gula menghasilkan side product molasses alias tetes tebu yang saat ini 99 % adalah bahan baku pabrik etanol di Indonesia. Namun Kabupaten Madiun tidak/belum memiliki pabrik bioetanol (meski cuman skala kecil, untuk refresh kriteria kapasitas pabrik tertera di bioetanol 4, klik di sini) . Mas ES Para kompasianers yang setia membaca serial BBN, pasti jumpa nama ES – Eko Suryo, seorang bioetanolist yang ber KTP Jakarta, tapi mempunyai unit produksi (atau sebut aja dengan bangga : pabrik) bioetanol skala mikro di Medhioen. Mas ES, selalu muncul di postingan saya sebagai komentator yang kocak dan bernada “sejuk yang positif” (“sejuk yang negatif” itu gimana ya? Maksud saya komentar beliau selalu sopan dan kritiknya bernada membangun). Kalau nggak salah, Mas ES mulai muncul di postingan saya kedua (bioetanol 1, klik disini). Yang saat ini,kompasianers baca adalah postingan ke-16 (ahamdulilah, puji syukur saya dapat terus-terus sharing tentang BBN) Saya dan isteri udah janji berulang kali akan “sidak” Swa Jaya Bioetanol, milik beliau. Akhirnya kesampaian juga, hari Sabtu, 19 September 2009, jelang sehari sebelum Lebaran 1430 H, saya mampir ke desa Sumberejo, Kecamatan Geger, Kab. Madiun (nyambi sekalian sungkem ibu mertua di Idulfitri 1430 H.). Nih, lokasinya di tengah perjalanan dari Madiun ke kota reog Ponorogo. Dekat dengan Dolopo, sentra buah durian dan pemandian air panas “Umbul”. Jalan ke pabrik beliau ber- hot mixed, hanya lebih kurang 15 menit bermobil dari lampu bang-jo pusat kota Madiun, 17 menit dari toko Mirasa, oleh-oleh khas Madiun, lebih kurang 20 menit dari warung beken “Pecel Madiun”...yang asli lho, atau ± 25 menit dari Pabrik Gula Rejo Agung Baru (tempatku “mencangkul” di tahun 1973- 1988) di tapal batas Kabupaten dan Kota Madya Madiun. Jalan aspal mulus itu,....sampai di pintu pagar pabrik beliau. Penyelamat Aset Mubazir. [caption id="attachment_45561" align="alignleft" width="240" caption="Pabrik Swa Jaya Bioetanol"][/caption] Perhatikan foto pabrik di samping ini. Bagi para kompasianers yang berprofesi atau sering berkunjung di pedesaan pasti tahu, bangunan apakah itu? Ya benar, itu gudang dan kantor KUD (Koperasi Unit Desa) yang dibangun puluhan tahun silam dan....... kini sebagian besar mangkrak. Mungkin kompasianers ingat, pemerintah di era OrdeBaru (Orba) membangun ratusan, atau mungkin ribuan gudang KUD dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian, utamanya beras (mungkin kompasianer ingat zaman itu ada "kelompencapir") Bentuk gudang ini dibangun ”seragam” di desa-desa di Nusantara dan direncanakan untuk menyimpan saprodi antara lain pupuk dan gudang gabah, sebagai transit sebelum dikumpulkan di gudang-gudang Bulog. Program Orba yang ideal, tapi sayang (sebagian besar) bangunan KUD tersebut mubazir. Sebuah gudang KUD yang telah 27 tahun tidak terpakai, dimanfaatkan oleh Mas ES untuk bangunan pabriknya. Puji syukur, karena Mas ES berjasa menyelamatkan aset yang telah dibangun dengan RABN (beberapa km dari lokasi ini, tampak gudang KUD yang dipakai oleh swasta untuk menyimpan teh botol Sosro. Ahamdulilah masih ada yang berkenan, karena sejumlah gudang KUD lain udah ”dirampok”...... seng atap dan dinding telah ”dimanfaatkan” dan dipindahkan ke rumah penduduk). Aji Mumpung Di dalam ex gudang KUD terpasang 3 unit perangkat destilasi + tangki evaporator berkapasitas produksi masing-masing 50 liter etanol/jam. Satu unit buatan rekan di Karanganyar, kita sebut aja Unit A. Perekayasa unit A, bergerak pula di pelatihan tepung singkong mocal (klik di sini). Unit B, didesign oleh perekayasa yang konon berpengalaman mengembangkan etanol berbasis nira aren di Sulawesi Utara...memiliki kantor dan bengkel rekayasa di daerah Tebet, Jakarta. Unit B diklaim oleh perekayasanya sebagai alat (semi) otomatis. Sedang unit C adalah modifikasi Mas ES yang menggabungkan design tangki evaporator dari unit A, sedang destilasinya dari unit B. [caption id="attachment_30" align="aligncenter" width="300" caption="Tiga unit peralatan bioetanol. Foto kiri : unit A, Foto tengah : unit B, dan Foto kanan : unit C"][/caption] Mengapa sampai ada 3 unit? Apakah tidak boros? Kenapa Mas ES sampai membuat unit C yang merupakan gabungan design A dan B? Bila berkenan, silahkan kompasianers baca sub bag ”Berita Duka 2” di postingan BBN (klik di sini), atau komentar saya (di No. 10) di Bioetanol 6 (klik di sini). Atau simak ”keluhan terselubung” Mas ES (karena beliau amat santun) di milis APBI (Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia), di tanggal 2 Agustus 2009 yang ditulisnya sebagai berikut ” Wheleh...wheleh. .., lha yang sudah kebacoet beli macem-macem alat yang "belon normal" apa ya harus ganti alat yang bisa "bikin bukti bukan janji" (kebacut bila ditranslate adalah terlanjur). ”Sambat santun” ini sebagai tanggapan komentar rekan SB, tanggal 31 Juli 2009 yang menulis ........."banyak kami dengar alat produksi teman - teman pengusaha tidak bekerja secara maksimal.......... kreteria alat produksi yang baik adalah menghasilkan ethanol kadar 96% secara flat............ (jangan takut mahal yang penting kualitas terjamin) dan bayar lunas apabila sesuai yang dijanjikan". Bila kompasianers akan menjenguk milis APBI, silahkan klik disini. Ya, inilah Indonesia, ada aja perekayasa alat bioetanol yang aji mumpung (kata ini saya kutip dari komentar Mas Florensius, wong kito galuh, tanggal 19 September 2009 di postingan BBN. Aji mumpung itu boso Jowo artinya memanfaatkan kesempatan tapi dalam artian ”negatif”). Teganya para pebisnis iptek ”kagetan” yang hanya mengejar laba, namun tidak memiliki etika (simak komentar Mas Satrya di No. 13, tanggal 30 Juli 2009, di postingan Bioetanol 6). Mengapa saya memakai kata iptek ”kagetan”.. karena sebagian perekayasa peralatan bioetanol, muncul tiba-tiba.....dan (nyuwun duko alias maaf) bukanlah ahlinya. Kita layak memberikan apresiasi karena beliau-beliau tersebut rajin ngintip di internet, tanya kiri-kanan, diskusi, ikut seminar, pelatihan & workshop..... dan jadilah sebuah peralatan yang dipasarkannya. Karena sedang ”demam bioetanol” maka ”laris manis-lah” peralatan tersebut....persis seperti ratusan alat pembuat minyak jarak di tahun 2007 (yang kini nyaris jadi besi tua). Namun sayang, sejumlah calon bioetanolist ”tertipu” karena ternyata peralatan tersebut tidak sesuai dengan janji di iklan. Hanya ”surga telinga” doang. Bravo 1. Salut kepada Mas ES, beliau dapat ”mengatasi” masalah tifu-tifu tersebut. Realisasi unit A hanya mampu mencapai kadar bioetanol 70-80%. Pendapat saya, ya segitu itu kemampuan alat destilasi tipe A, meski perekayasanya mengiklankan mampu membuat bioetanol berkadar > 90 %. Ya, memang bisa mencapai kadar 90% bila di reflux, tetapi apakah efisien terhadap penggunaan bahan bakar ? Tentang saran reflux, mungkin terlupa dicantumkan si perekayasa ! Tentang unit B, diiklankan sebagai alat (semi) otomatis ternyata memiliki kelemahan fatal pada sistem evaporatornya. Bentuk evaporator unit B berdampak negatif pada lama pemanasan, sehingga boros bahan bakar. Namun unit B, karena destilasinya telah menganut sistem Dog Wood.... maka dapat menghasilkan bioetanol ? 90 % . Karena Mas ES udah ”lelah” mengadu ke 2 perekayasa, si A dan Doktor B yang semula menjanjikan ”garansi” maka dilakukan trial and error dengan menggabungkan evaporator sistem A dengan destilasi Dog Wood –Robert Warren yang dibuat perekayasa B menjadi unit C. Ahamdulilah ”sedikit teratasi” masalah Swa Jaya Bioetanol, Medhioen. Bravo ke-1 untuk Mas ES. Sekadar informasi, saya udah beberapa bulan lalu (Maret atau April 2009) ”memasuki” web si Doktor B dan menulis komentar di blognya, tapi nunggu tanggapan dari Bapak Doktor tidak muncul jua, meski hari ini udah tanggal 24 September 2009, jam 22.15 WIB. Apakah beliau super sibuk mengerjakan pesanan peralatan sehingga tidak sempat menengok blognya ? Insya Allah, semoga hanya Mas ES doang yang dijadikannya ”kelinci percobaan”. Bravo 2. [caption id="attachment_52" align="alignleft" width="120" caption="Petak Peragaan Sorgum Manis"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H