Postingan ini saya kirim ke Kompasiana bukan dengan tujuan ngugah macan turu..... “membangunkan macan tidur” atau tepatnya “membangunkan Bocah nDeso dan kawan-kawannya” yang dengan apik telah posting tentang mie instan secara trilogi di tanggal 20, 22,dan 27 Juni 2009. Disusuldengan postingan rekan Tononagoro di tanggal 26 Juni 2009, dilanjut rekan Danielht, 2 Juli 2009. Para kompasianers pasti sependapat, postingan-postingan tentang mie instan terkait jingle itu amat menarik. Kita pasti senyum-senyum bercampur dongkol membacanya, khususnya tanggapan yanggegap gempita…..dan mungkin Anda “terpancing” memberi tanggapan dan komentar.
Iya benar, saya jadi tertawalebar membaca tanggapan bung Omri “yang dikit marah” di tanggal 21 Juni, apalagidengan “nada membentak” di tanggal 29 Juni 2009. Saya juga “terpancing” menulis dua komen di tanggal 22 Juni di postingan rekan Bocah nDeso dan tanggal 26 Juni 2009 di postingan rekan Tononagoro. Namun meski besar rasa pingin nulis tanggapan dan juga “hati panas” ….saya tekan dan pendam, takut memperkeruh suasana yang saat itupenuh hinggar bingarsaling dukung mendukung para kandidat pilpres. Saya tidak ingin Rumah Ide, Rumah Gagasan, Rumah Kreativitas Kompasiana penuh caci maki yang tidak menjadikannya Rumah Sehat bagi para kompasianers.
Sekarang “badai pilpres” telah berlalu, saya beranikan diri untuk nonggol. Tapi kenapa postingan Bocah Ndeso dan bocah satunya lagi…si Katrok tidak publish di hari-hari setelah Pilpres? Mereka mungkin lelah, kehabisan energi yang di-forsir-nya jelang pesta demokrasi. Ataukah para bocah ini adalah komentator politik profesional seperti yang ditengarai oleh Bung Omri pada komentarnya di postingan bung Samdy, 29 Juli 2009 ? Tapi ngak apa-apa, halal dapat duit menulis di blog ! (Engak ding, Mas Bocah nDeso masih munculnulis tanggapan di postingan Kang Pep tanggal 10 Juli 2009).
Aduh ngapain saya nyindir Mas Bocah nDdeso…membangkitkan “panas” aja, padahal beliau udah tenang. Yuk, lanjut ke bahasan kita, khususnya menambahi komentar/ penjelasan rekan Florensius Marsudi, si “wong kito”, 27 Juni 2009 dan rekan Cipinang, 26 Juni 2009. Saya hanya menceritakan apa yang telah dikerjakan Pokja Singkong KADIN Indonesia. Namun semoga aja postingan ini tidak basi atau kadalu warsa.
MOCAL Saya menulis tanggapan dipostingan serial mie instan bahwa MOCAL berkemampuan substitusi tepung gandum untuk berbagai kudapan, bahkan untuk membuat mie. Apakah mocal itu? MOCALpada hakekatnya adalah tepung singkong (Manihot esculenta Crantz) alias tepung gaplek, tapi memiliki keunggulan warna yang lebih kling, tidak berbau apek, dan rasanya tidak lagi mirip singkong. Kenapa begini? Ntar kita bahas, by the way MOCAL adalah akronim dari Modified Cassava Flour artinya tepung singkong alias ubi kayu termodifikasi
Tepung ini lagi naik daun, coba buka internet maka sejumlah kursus menawarkan pelatihan membuat MOCAL, dengan biaya ± Rp 1 juta per orang. Bila kompasianers mempunyai waktu luang,tengok pula Bu Marwah Daud mempopulerkannya di web you tube.
Meski berbahasa Inggris, MOCAL ditemukan oleh anak bangsa…di suatu perguruan tinggi yang relatif tidak beken, bahkan oleh pakar yang terkatagori mbeling (konon sering demo dan “tidak loyal” meski prestasi nasional dan internasionalnya mumpuni). Dr Achmad Subagio MAgr, pakar kimia pangan dari Universitas Jember adalah penemu dan peng-introduksi MOCAL.
Fermentasi Apa beda MOCAL dengan tepung gaplek? Pembuatan tepung gapleklebih sederhana. Singkong alias ubi kayu dikeringkan, lalu digiling menjadi tepung. Kalau MOCAL melalui beberapa proses kimia, diantaranya singkong difermentasikan dulu. Difermentasikan artinya bukan dibuat tape lho. Setelah itu, dikeringkan dengan menggunakan matahari ”tidak langsung”. Pak Dr. Achmad menyarankan seyogianya menggunakan alat pengering hibrida agar terjamin hieginitasnya. Setelah dikeringkan, singkong itu akan berbentuk chips (seperti keripik). Selanjutnya, baru digiling, diayak (disaring), dikemas menjadi MOCAL,produk tepung serbaguna.
Cukup sederhana, tapi bagaimana pelaksanaan itu lho yang dinamakan fermentasi.? Seorang rekan trainer, Soelaiman Budi di Karanganyar mengajarkan fermentasi dilaksanakan dengan tahap awal,singkong di kupas kulitnya dan dicuci bersih, kemudian singkong itu direndam dalam larutan asam/garam/kapur dengan komposisi tertentu. Selanjutnya dikeringkan di bawah atap plastik UV (ultra violet).
Secara ilmiah mikrobia BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi singkong menjadi MOCAL. BAL tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut.
Demikian pula, cita rasa MOCAL menjadi netral dengan menutupi cita rasa singkong sampai 70%.Hal ini karena hidrolisis granula pati menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Kandungan protein MOCAL lebih rendah dibandingkan tepung singkong – namun kadar karbohidratnya meningkat- dimana protein-lah yang menyebabkan warna coklat pada tepung singkong ketika pengeringan atau pemanasan. Dampaknya adalah warna MOCAL yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa. Pengaruh lebih lanjut, so pasti harga jual MOCAL berlipat dibanding tepung tapioka atau gaplek.
Manfaat MOCAL pada hakekatnya telah digunakan oleh masyarakat untuk substitusi tepung terigu antara 5-50 % pada pembuatan berbagai kudapan. Kita lihat foto-foto berikut
MIE MOCAL Akhirnya di bawah ini saya posting pembuatan mie (basah) yang secara masal sudah dikerjakan oleh masyarakat di daerah Karanganyar, Jawa Tengah.
Stimulus Pemerintah untuk Konversi Gandum ? Dengan menggunakan MOCAL maka para pengusaha makanan skala UMKM amat sangat terbantu. Seperti kita ketahui harga MOCAL ± 50 % dibanding tepung gandum/ terigu (lihat “banner” Mas Soelaiman Budi di bawah). Memang harus diakui pada kudapan, atau tipe roti tertentu hanya menggunakan MOCAL relatif kecil (5-15%). Tetapi bukankah substitusi tersebut layak diperhitungkan untuk menghemat impor gandum dan menambah pendapatan petani singkong.Hal yang sama pada substitusi bioetanol (berbahan baku singkong) dan biodiesel (berbahan baku sawit) sebagai blend premium dan solar. Meski hanya 1-20% penggunaan BBN (bahan bakar nabati), tapi dampaknya amat besar karena pro-job, pro-poor, pro-growth, dan pro-planet.
Substitusi MOCAL untuk menekan gandum pada kegiatan UMKM telah berjalan dengan cukup baik, khususnya di Solo dan Karanganyar. Sekadar informasi untuk rekan Bocah nDeso bahwa kegiatan ini sama sekali TANPA stimulus pemerintah (Matur nuwun sanget pada Mas Soelaiman Budi, PT Agro Makmur, Karanganyar yang tanpa kenal lelah memperjuangkan kegiatan ini). Bagaimana pengembangan ke daerah-daerah lain, khususnya di sentra-sentra singkong?Bila berkenan, seyogianya kompasianers membantu gerakan ini. Bagaimana detil MOCAL, berapa sih nilai ekonomi bisnis MOCAL dan lain-lain…..silahkan aja menghubungi pakarnya, Mas Soelaiman Budi di Karanganyar di 08529324****.
Teknologi mie (basah) dari MOCAL telah layak diaplikasi. Saya yakin hanya tinggal “selangkah kecil” untuk diterapkan di mie instant. Bagaimana pendapat kompasianer yang ahli teknologi pangan ? Apakah pengusaha mie instant tertarik? Seperti kata rekan Bocah nDeso……(mungkin) diperlukan kemauan politik pemerintah. Semoga Pak Beye di tahun 2009- 2014, tidak lupa mendukung gerakan substitusi gandum ini.
Bahan Bakar Nabati – Bioetanol Sebagai energimania, apakah saya tidak khawatir MOCAL akan mendesak pemanfaatan singkong menjadi BBN-bioetanol ? Apakah pertentangan food, feed, dan energy (dengan bahan baku singkong) akan mangkin menghebat di Indonesia? Bukankah Roy selama ini di pelatihan-pelatihan bioetanol di IPB, Trubus, dan lain-lain selalu menceritakan kesulitan PT Molindo Raya Industrial, sebuah pabrik bioetanol di Lampung dalam memenuhi kapasitasbahan bakunya berupa singkong ? Bukankah Pak Hilmi Panigoro,Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) di seminar World Renewable Energy Regional Congress & Exbition, 18 Juni 2009 mengeluhkan problema serupa pada proyek bioetanol milik Medco yang comisioning sedang dilaksanakan ?
Inilah tantangan kita bersama untuk meningkatkan produktivitas singkong ! Atau tantangan kita untuk mengkaji bahan baku “baru” bagi bioetanol ! Bila kompasianers berkenan, mohon baca bioetanol5.
Salam Energi Hijau Roy Hendroko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H