Yuk sesuai kesepakatan lalu, sekarang kita ngobrol di jilid 4 sebagai kelanjutan jilid 3 yang diposting tanggal 15 Juni 2009. Sebagai pengantar, kita akan membaca Vivanews yang terbit beberapa waktu lalu.  Down load berita tersebut tercantum di sebelah kiri. Meski tercantum foto buah jarak pagar,  tapi ternyata yang diberitakan adalah tentang bioetanol (maklum memotret bioetanol kan sulit karena cairan tidak berwarna, sehingga Redaktur Vivanews main pintas  memasang foto buah jarak pagar).    Mungkin tujuan si wartawan menghibur saya yang sedih dan prihatin tentang Jatropha?
Di Vivanews, Mas Danil Hadi, senior saya di Asosiasi Produsen Bioetanol Indonesia (APBI) mengeluh tentang kurangnya perhatian pemerintah terhadap kemandirian energi. Padahal dengan teknologi sederhana, bioetanol dapat dibuat dan digunakan sebagai energi di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau layanan pemerintah.  Kita telah membahas di jilid 1,bioetanol  dapat dipakai antara lain sebagai bio-kerosin untuk  pengganti kerosin alias minyak tanah (mintan). Sebagai program aksi, Mas Danil menyarankan pemberdayaan masyarakat di remote areal dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang tersedia, misal sorgum di NTT.
Dengan memberdayakan sorgum menjadi bioetanol maka akronim NTT tidak akan diplesetkan ke "Nasib Tidak Tentu", karena  nasib BBM di NTT dimungkinkan tidak lagi tergantung  pada Pertamina yang suplynya sering terlambat (atau akronimnya tidak lagi menjadi "Neraka Tetap Terus" tapi "Nanti Tuhan so Tolong"). Tidak hanya sorgum tetapi aren di Sulut, sagu di Papua, atau lontar di pulau Rote, dan lain-lain, seharusnya dimanfaatkan karena seperti kita bahas di jilid 2, Indonesia masih kekurangan bioetanol. Sedangkan biodiesel -asal pemerintah serius mengatur regulasinya- khususnya berbasis CPO melimpah.  Padahal  kebutuhan biopremium (premium yang di blend bioetanol ) relatif lebih banyak dibanding biosolar (solar di-blend biodiesel).
Memproduksi energi secara lokal -khususnya bahan bakar nabati/ biofuel- dengan bahan baku lokal, kerennya saya sebut "demokratisasi energi" telah saya uraikan di buku "Energi Hijau, Pilihan Bijak Menuju Negri Mandiri Energi", Penebar Swadaya, 2007, Jakarta (seyogianya kompasianers membaca tanggapan rekan GW, 31 Mei 2009 di    jilid 2). Namun sayang berjuta sayang, "demokratisasi energi berbasis bioetanol" yang sebenarnya mudah karena kasat mata, terganjal oleh sejumlah ketentuan. Apakah penghalang tersebut ?
Mas Danil di Vivanews menyebut ada "ketentuan yang abu-abu" ....ada regulasi yang tidak jelas dan tegas penerapan di lapang, misal tentang cukai EA (etil alkohol). Seperti dicantumkan di Peraturan Menteri Keuangan No. 89/PMK.04/2006, etanol dikenai cukai sebesar Rp 10.000 per liter. Beliau mengemukakan sejumlah produsen etanol mentafsirkan  pemerintah membebaskan cukai tersebut pada pabrik skala kecil dan menengah (produksi maksimal 10 ribu liter/hari). Benarkah tafsir ini ?
Membantu Mas Danil, maka  saya dalam beberapa minggu akhir ini melakukan searching (dan juga konsultasi dengan berbagai pihak) untuk mencari jawab tafsir. Telaah pada semua peraturan cukai EA, tidak ditemukan aturan bebas cukai terkait kapasitas pabrik .....besar, menengah, atau skala kecil. Seperti diketahui, kapasitas pabrik etanol di Indonesia  dipilah menjadi mikro (< 1 Kl/hari), kecil (1-15 Kl/hari), sedang atau menengah (15<kapasitas< 60 Kl/hari), besar (> 60 Kl/hari). Skala mikro dipilah lagi menjadi industri rumahan (40-300 liter/hari), dan Gapoktan (400-1000 liter/hari).
Ahamdulilah, akhirnya ketemu juga aturan bebas cukai yang dikaitkan kapasitas. Di  Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2008, di pasal 3 tertulis bahwa yang TIDAK dikenai cukai hanyalah orang (dipertegas di pasal 3, ayat b, butir 1 : rakyat Indonesia) yang membuat minuman dengan proses sederhana, produksinya tidak lebih dari 25 liter per hari dan tidak dikemas. Demikian juga bebas cukai  HANYA pada pengusaha eceran EA, bila jumlah jualannya paling banyak 30 liter per hari.
Mencermati PP di atas, tegas bahwa semua produsen bioetanol, bahkan  industri rumahan  wajib membayar cukai EA. Demikian juga penjualannya, bila lebih dari 30 liter/ hari. Aduh, galak benar aturan cukai ini ! Apakah artinya aturan ini menghambat penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN) ? Apakah aturan cukai ini akan menghalangi penggunaan bioetanol sebagai bio-kerosin? Apakah pemerintah tidak care terhadap kebutuhan BBN-bioetanol, khususnya produk UMKM ? Bayangkan bea cukainya aja  Rp 10.000 per liter, maka akan dijual berapa harga bio-kerosin sebagai pengganti mintan? Apakah masyarakat mampu membeli dan produsen bioetanol mampu menjalankan usahanya ?
Yuk, kita telaah lebih lanjut !  Ternyata pemerintah cukup care terhadap BBN berbasis bioetanol. Bila di atas telah kita membahas, barang  (baca: EA) TIDAK DIPUNGUT CUKAI maka ada ketentuan PEMBEBASAN CUKAI.  Ketentuan EA yang dibebaskan dari cukai diatur,  sesuai :
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2007 tentang Pembebasan Cukai;
- Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-13/BC/2007 tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan Cukai Etil Alkohol;
- Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-14/BC/2007 tentang Tata Cara Pencampuran dan Perusakan Etil Alkohol yang mendapat Pembebasan Cukai
Dalam ketentuan di atas, EA dapat bebas cukai antara lain bila  digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai (PermenKeu No. 47/2007 bab II, bagian satu, pasal 2). Artinya bioetanol yang akan digunakan sebagai BBN karena hanya sebagai bahan baku dalam pembuatan Biopremium dan Biopertamax, maka bebas cukai.
Bagaimana dengan bioetanol yang digunakan sebagai pengganti mintan? Saya tidak atau belum menemukan ketentuan yang mengatur ini. Namun anggapan awam menyatakan bioetanol sebagai mintan adalah barang bebas cukai.....karena bukankah minyak tanah tidak dicukai? Â Apakah kompasianers dapat memberi pencerahan ? Penjelasan ini penting agar para rekan pembuat bioetanol khususnya skala rumahan, skala Gapoktan, dan skala kecil (serta skala menengah) tidak melakukan kesalahan dan bingung (seyogianya rekan kompasianers membaca tanggapan Pak Masyanto-17 Mei 2009, Mas GW-18 Mei 2009, dan Mas Iedward -7 Juni 2009 di jilid 1, serta Bung Omri-14 Juni 2009 dijilid 2
Gamblang dan jelas tentang cukai EA! Saya yakin para   produsen etanol (termasuk skala UMKM di APBI dengan arahan Mas Danil dan Mbak Menik ) siap dan pasti akan menaati aturan cukai EA (meski agak ngedumel seperti Bung Omri dan Pak Masyanto).  Selesaikah permasalahan ganjalan di industri bioetanol ? Tampaknya belum tuntas ! Sejumlah kesulitan masih menghadang seperti ditulis oleh Mas Tyo-29 Mei 2009 di tanggapan jilid 2, bagaimana cara petugas cukai akan mengawasi produsen bioetanol UMKM yang jumlahnya akan mencapai ratusan bahkan ribuan dan menyebar/ desentralisasi ? Bagaimana cara pencegahan penyalah gunaan bioetanol menjadi minuman keras (miras).  Harian Kompas telah memuat terus menerus tentang oplosan miras, karena dampaknya "serius"  (tanggal 30 Mei, 4 Juni, 6 Juni, 7 Juni, 13 Juni, dan 17 Juni 2009)
Bagaimana saran dan pendapat rekan kompasianers? Tapi terkait bioetanol dan miras, kita harus ingat kata para sesepuh...... sebilah pisau berbahaya, tetapi ia adalah barang amat berguna bagi kehidupan manusia. Kata para pakar, bom atom adalah pembunuh kejam, tapi atom adalah pembangkit energi "murah dan bersih", atom juga mampu meningkatkan produktivitas tanaman melalui varietas mutasi, atom juga alat bantu pada deteksi kesehatan manusia. Kata Pak Guru, internet, web, atau fesbuk.....sarana ini amat berguna untuk menebar dan mengunduh ilmu , tetapi ia juga "sarang dosa". Demikian pula etanol, karena rincian multi gunanya telah kita bahas di jilid 2.
Permasalahan lain, yang cukup berat dari cukai EA adalah cara mendapatkan NPPBKC sebagai salah satu syarat untuk pembebasan cukai ! Apakah NPPBKC ? Kita akan membahasnya di postingan yang akan datang.
SALAM ENERGI HIJAU
Roy Hendroko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H