Nih kompasianers, saya ngetik postingan ini pakai 11 jari, alias pakai 2 jari aja. Jari tengah tangan kiri dan jari tengah tangan kanan. Ibu jari kiri saya dan telunjuk di tangan kiri melempuh....juga jari telunjuk kanan. Apa Roy, tanggal 17 Juli 2009 terkena serpihan bom Mega Kuningan?
Enggak ding, meski ”kost” saya dekat dengan Mega Kuningan, ahamdulilah saya aman dari bom. Jari saya melempuh karena MOSTI, apa itu mosti?...... ”Kost” saya hanya 10 menit jalan santai nembus gang kecil ..... udah sampai kawasan Mega Kuningan. Saya ”kost” dekat tanah tumpah darah Mas Iskandarjet, Admin Rumah Sehat tercinta ini (Udah kenal Mas Is kan? Itu yang ngajari kompasianers Tutorial Blog ).
Saya pilih lokasi ini karena ”kantor lama” saya di daerah yang juga tempat berkarya Mbak Novrita si pengungkap ”Sepatu Tanggulangin” dan ”mobil ngesot”. Kantor lama saya, itu lho ”gedung bundar” di perempatan lampu bang-jo di depan kompleks rumah menteri. Saya sejak 2002-2008, ngantor di situ, selantai (malah selama tahun 2007 jadi ”teman curhat cari informasi”) almarhum yang ”tertembak” dalam kasus pimpinan KPK.
Bila tahun 2003, saya mendengar langsung gelegar bom Marihot I ...merasakan lantai dan kaca bergetar dan melihat kepulan asap.....dari dinding kaca ruang kerja saya di lantai V; tapi Jumat tanggal 17 Juli 2009 saya cukup jauh dari Mega Kuningan. Saya udah jadi ”laskar tidak berguna” di ”gedung bundar” tersebut. Tapi ahamdulilah, saya masih ”bermanfaat” di ”gedung tiga menara” Thamrin No 51, Kav. 22, dan puji syukur ”berfungsi” sebagai pembantu di kegiatan energi utamanya BBN-Mania, antara lain di sejumlah LSM, Asosiasi, dan kampus di Bogor.
Kacau dan Strees Pagi 17 Juli 2009, saya stress karena jadwal kunjungan tamu dari ABI (Agro Biotechnology Institute-Malaysia) ”kacau”. Semula Bu Prof merencanakan menerima kunjungan beliau-beliau dari Institute under Kementrian Sains, Teknologi dan Inovasi, Malaysia (MOSTI) tersebut di Desa Mandiri Energi (DME) berbasis Jarak Pagar (Jatropha curcas ) di dekat pabrik Indocement-Holcim di Cibinong. Bu Prof ingin menunjukkan pertambangan akrab lingkungan yang dikelola oleh Indocement-Holcim. Bu Prof ingin memperlihatkan betapa ”cantik” bukit-bukit kapur -yang udah digusur sebagai bahan baku semen- dihijaukan dengan tanaman Jarak Pagar. Tak hanya hijau untuk menangkap karbon dioksida-menangkal global warning tetapi biji Jarak Pagar tersebut menjadi bahan bakar ”ramah lingkungan” untuk boiler Indocement-Holcim. Tak cukup hanya eco-friedly sebagai industriawan sehingga Indocement memperoleh CDM –apa CDM, Pak Agus Candra kompasianers dari Bandung layak menerangkan- tapi biji-biji (dan minyak mentah-CJO) Jarak Pagar dibagikan ke desa-desa sekitar pabrik sebagai suply bahan bakar DME. Mungkin kompasianers ingat di postingan , Way-Isem, kita pernah diskusi tentang DME.
Di DME, Bu Prof ingin memamerkan inovasi Indonesia berupa kompor-kompor low-tech berbasis jarak pagar yang akan menjadi penunjang kehidupan rumah tangga di pedesaan. Namun ternyata yang udah disiapkan berhari-hari, tiba-tiba mubazir di Kamis sore, 16 Juli 2009....entah karena apa? Sebagai tukang kompor –bukan ”ngompori alias manasi” lho - tentu saya stress dan kecewa (ingat ya kompasianers, kita pernah diskusi tentang kompor bioetanol ?). Saya juga kasihan kepada Mbak Windi dkk. yang udah pontang-panting membeli dan membagi bahan peragaan di rumah-rumah DME berupa sosis, nauget, telur, singkong, tahu, dan tempe (khususnya tempe, agar teman-teman jiran mengetahui bahwa itu ASLI Indon jadi jangan di-klaim). Foto Mbak eh...karena kemanten baru, sehingga layak dipanggil Ibu Windi terpampang di bawah judul postingan ini. Nih foto cantik Windi di tulisanku yang ke-2. Sebelumnya di halaman 34, 35, dan 36 buku ”Integrated Utilization of Jatropha curcas, Road to Energy Self Sufficient Villages” atau versi bahasa Indonesianya di buku ”Meraup Untung dari Jarak Pagar”, Penerbit AgroMedia Jakarta, 2007. Versi web, klik di sini.
[Tapi Allah Maha Pengatur nan Bijak, ternyata ”pembatalan” acara di Indocement-Holcim berdampak positif. Bukankah bila tetap berlangsung, Windi dkk. jadi “serba salah” karena Jumat pagi tersebut Indocement-Holcim berduka cita....Pak Timothy D. Mackay, Direktur Utama PT Holcim Indonesia meninggal dunia karena bom Mega Kuningan (yuk, kita panjatkan doa untuk arwahnya. Amin )]
Ahamdulilah Akhirnya ”pameran” kompor tetap dilakukan. Puji syukur, bagaimana pun saya ingin menyatakan ke beliau-beliau di negara jiran, betapa kreatifnya Indon ! (Saya menyatakan kata KREATIF tersebut karena ”terprovokasi” postingan datuk Nazriyahya kompasianers dari Malaysia (?), dan tanggapan rekan Andreas tanggal 16 dan 17 Juli 2009 tentang diskusi membandingkan Petronas dan Pertamina. Mosok, kita terus-terus kalah dibanding Malaysia ? Pertamina kalah, Maybank lebih jaya,....juga MU main 2 kali di KL, padahal batal di Jakarta. Bahkan juga sawit Indon kalah dibanding Malaysia di postingan tanggal 10 Juli 2009
Bu Prof memutuskan peragaan kompor dilaksanakan di kampus....namun waktu tanda tanya, karena menyesuaikan dengan kesibukan Pak Rektor dan acara ABI-MOSTI di BPPT Jakarta? Tempat di depan green house agar tidak sesak nafas. Padahal saya udah menerangkan ke Bu Prof, kalau api kompor jarak ini biru cantik. Tidak merah yang berasap, jelek karena berjelaga hitam, dan menyebabkan sesak nafas (Nih bukan nyindir membandingkan warna kandidat Pilpres lho).
Akhirnya rombongan dari Serdang, Selangor, Malaysia ini datang jelang jam 14.00.....disertai bunyi nguik ,nguik, nguik dari Patwal Polantas. Mendengar nguik sirene maka guguplah saya untuk menghidupkan kompor. Apalagi angin bertiup kencang di depan green house. Saya katakan pada Windi...”angkat aja, pindah ke ruang”. Reflek, kompor saya angkat.... dan me-lempuh-lah jariku. Ternyata ini lempuh tahap ke-1.
Kompor berbasis jarak pagar memiliki kelemahan.....”sulit menyala”, butuh waktu karena tidak secepat kompor mintan, kompor bioetanol, atau kompor gas (bio seperti di Way Isem atau LPG). Diruang pamer, tampak api kompor meredup....karena panik maka saya kocor bara api di kompor tersebut dengan etanol. Tersambarlah tangan saya oleh api......dan melempuh tahap ke-2. Aduh,....sakit sekali!
Indon lebih maju Singkat kata, para datuk dan datin ABI-MOSTI amat puas. Beliau-beliau terkagum dan tercengang atas ”lowtek” kompor tersebut. Bos ABI menoleh ke salah satu datuk dan berkata...”.kenapa kita tidak membuat serupa ini” ? Dua datuk berdasi dan berjas ”menginterogasi” saya berlama-lama sambil nowel-nowel tempe goreng dengan sambal. Saya layani para datuk dengan baik sesuai pesan Bu Prof, namun sambil meringis pedih di jari tangan. Beliau meminta saya membongkar kompor....dan memotret serta berjanji akan diskusi lebih lanjut tentang tiga tipe kompor berbahan bakar jarak pagar, seperti di bawah ini
Kompor Binar menggunakan bahan bakar pellet dari bungkil biji jarak pagar hasil perahan alat srew press. Bungkil amat berguna sebagai bahan bakar padat, ber- kalori 4.950 kcal setara batu bara muda. Binar dilengkapi kipas angin sehingga api relatif stabil. Motor penggerak kipas kecil (mirip di komputer) secara periodik di-charge seperti hand phone atau laptop. Bagaimana pellet dibuat, dan lain-lain.....Bu Windi pakarnya karena ia tengah menyelesaikan thesisnya tentang pellet jarak pagar.
Kompor ”hijau Balittas” diisi CJO- Crude Jatropha Oil yakni minyak hasil perasan alat peras yang hanya didiamkan untuk mengendapkan kotoran ± semalam agar diperoleh CJO yang relatif jernih. Kompor ini bersumbu catton sejumlah 20 buah (namun dengan benang lebih banyak dibanding yang dijual di pasaran). Kompor ”hijau” relatif lebih hemat dibanding minyak tanah (mintan). Dalam 1 jam, mintan habis 200 cc sedang CJO 140 cc (pada kompor dengan tipe yang sama, hanya beda pada jarak sumbu). Seperti kompasianers tahu, nilai kalor CJO lebih tinggi dibanding mintan yakni 9.470 kcal dibanding 9.000 kcal. Kompor ini mampu hidup selama 5 jam dengan nyala api normal. Kelemahan .... harus sabar karena penyalaan awal relatif lambat. Demikian juga perawatan pada sumbu relatif rebyek dibanding mintan. Tipe ”hijau” ini sedang disempurnakan selanjutnya akan diintroduksi dengan cat warna ”biru”....bukan karena Pak Beye menang lho !
Kompor CJO ini ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi ”sejahat” mintan. Demikian pula berkemampuan dampak kesehatan yang lain, karena saya menyarankan masukkan minyak goreng (migor) bekas sebagai blending CJO ke dalam tangki kompor. Dengan mendaya gunakan migor, kita terhindar dari bahaya kangker dan api makin cantik karena amat biruuuuu, dan lebih mudah terbakar.
Kompor UB-16, berbahan bakar biji jarak pagar yang dibakar langsung. Amat berguna bagi masyarakat pedesaan terutama di remote areal, khususnya sebagai penangkal penggundulan hutan. Terdapat alat penyetel besar kecil api. Sejumlah 120 butir biji jarak (seyogianya kernel) mampu merebus 0,5 kg beras + 1 liter air dalam 60 menit. Lebih hemat karena dengan arang dibutuhkan waktu 81 menit (1 kg biji jarak ber kalori bakar sebesar 6.840 kcal). Seperti pada kompor ”hijau”, diperlukan kesabaran pada saat awal penyalaan dan juga cara memasukkan bahan bakar (biji jarak). Namun pada tipe berikut, Insya Allah teratasi.... karena prototipe penyempurnaan udah diperagakan di depan WANTIMPRES sebelum Pileg lalu.
Sebaiknya kompasianers perlu mengetahui UB 16 direkayasa oleh Komunitas Pengrajin Kompor di kota Malang, Jawa Timur dengan arahan Mas Dr. Eko Widaryanto, temanku seperjuangan dari Universitas Brawijaya dan ”si hijau” dibimbing Mas Abi dari BALITTAS. Komunitas kompor itu, semula bertahun-tahun ”jaya” karena membuat kompor mintan.....namun kini meredup karena program kompor LPG. Mereka terbelit hutang bank, yang tidak mampu dibayar karena tidak ada pembeli kompor mintan. Ayo, kompasianers.... siapakah penyebab kemelaratan wong cilik pengrajin kompor dan siapakah penggagas pembagian tabung dan kompor LPG?
Dalam ”jangka pendek” it’s OK LPG mensubstitusi bahkan mengganti mintan. Tetapi dalam jangka panjang, bangsa ini akan makin tergantung pada impor. Kapan kita akan jadi MANDIRI ? Bukankah produksi gas RI untuk mensuply pabrik-pabrik pupuk kita aja masih kekurangan? Juga kita masih harus impor LPG sehingga Pertamina usul mencampur LPG dengan gas metana batu bara (Coal Bed Methana-CBM). Padahal teknologi ini belum proven, alias biayanya lebih tinggi dari mendulang minyak bumi. Apalagi kan , bukan Energi Terbarukan (Renewable Energy) ?
Benih Unggul Sebagai penutup diskusi, saya mohon izin kompasianers untuk memasang di postingan ini sejumlah foto benih unggul Jarak Pagar. Saya motret Agustus 2008 lalu, di kebun benih di Kuala Pilla, Malaysia. Mohon kompasianers membandingkan dengan benih unggul Jatromas produksi Indonesia. Foto ini diambil pada umur tanaman yang sama,...± 6 bulan. Mohon pendapat kompasianers, manakah yang lebih unggul ? [caption id="attachment_45910" align="aligncenter" width="300" caption="Kelompok 2 foto di bagian atas diambil di Kuala Pilla, Malaysia. Sedang 2 foto di bawahnya diambil di kebun Cikarang, Bekasi, Jabar. Manakah pilihan Anda ?"][/caption]
Foto ini sebenarnya saya siapkan sebagai salah satu bahan diskusi di Seminar dan Work Shop Renewable Energy and Sustainable Development in Indonesia yang akan dilaksanakan oleh Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya, 22-24 Juli 2009 yang akan datang (Insya Allah. saya dapat materi yang berguna di ITS untuk di posting di Kompasiana). Demikian juga foto ini, telah saya tunjukkan ke salah satu teman pengusaha Singapura di seminar mahal karena beliau akan investasi membuka perkebunan Jarak Pagar di salah satu provinsi di Pulau Sumatera dengan konsultan datuk Kerajaan Jiran.
Simpulan saat ini, kita leading di Jarak Pagar dibanding negara jiran. Namun harus diakui Indonesia kurang mempromosikan diri. Tetapi apakah ironi di sawit tidak terulang ? (diskusi kenapa sawit Indon kalah dibanding Malaysia? klik di sini). Inilah yang seharusnya Republik care. Bukankah dengan bio-kerosin dan biji jarak, masyarakat utamanya di remote areal akan MANDIRI energi ? Bukankah penggunaan bio-kerosin, biji jarak, dan bungkil jarak adalah PRO RAKYAT .....yang layak di LANJUTKAN !
Di Jiran, tepatnya KL didirikan IJO, International Jatropha Organization.....sebagai net work kerajaan dengan dunia internasional. Tak hanya itu, kerajaan melakukan upaya-upaya yang tidak hanya care pada kelapa sawit doang. Sebuah perusahaan Malaysia, Synthetic Genomics tengah bersiap melakukan langkah awal nan besar pada Jarak Pagar... mereka melakukan progress in sequencing and analyzing the jatropha genome (sila klik di sini). Akankah republik hanya menunggu godot ?
Matur suwun perkenan kompasianers membaca postingan ini, saya cuman dapat sumbang informasi ”lowtek”. Mengutip kalimat Mbak Novrita.... postingan ini hanya sekadar intermezzo di tengah duka akibat bom dan kebosanan akan situasi politik di republik ini.
Salam Energi Hijau Roy Hendroko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H