Indon lebih maju Singkat kata, para datuk dan datin ABI-MOSTI amat puas. Beliau-beliau terkagum dan tercengang atas ”lowtek” kompor tersebut. Bos ABI menoleh ke salah satu datuk dan berkata...”.kenapa kita tidak membuat serupa ini” ? Dua datuk berdasi dan berjas ”menginterogasi” saya berlama-lama sambil nowel-nowel tempe goreng dengan sambal. Saya layani para datuk dengan baik sesuai pesan Bu Prof, namun sambil meringis pedih di jari tangan. Beliau meminta saya membongkar kompor....dan memotret serta berjanji akan diskusi lebih lanjut tentang tiga tipe kompor berbahan bakar jarak pagar, seperti di bawah ini
Kompor Binar menggunakan bahan bakar pellet dari bungkil biji jarak pagar hasil perahan alat srew press. Bungkil amat berguna sebagai bahan bakar padat, ber- kalori 4.950 kcal setara batu bara muda. Binar dilengkapi kipas angin sehingga api relatif stabil. Motor penggerak kipas kecil (mirip di komputer) secara periodik di-charge seperti hand phone atau laptop. Bagaimana pellet dibuat, dan lain-lain.....Bu Windi pakarnya karena ia tengah menyelesaikan thesisnya tentang pellet jarak pagar.
Kompor ”hijau Balittas” diisi CJO- Crude Jatropha Oil yakni minyak hasil perasan alat peras yang hanya didiamkan untuk mengendapkan kotoran ± semalam agar diperoleh CJO yang relatif jernih. Kompor ini bersumbu catton sejumlah 20 buah (namun dengan benang lebih banyak dibanding yang dijual di pasaran). Kompor ”hijau” relatif lebih hemat dibanding minyak tanah (mintan). Dalam 1 jam, mintan habis 200 cc sedang CJO 140 cc (pada kompor dengan tipe yang sama, hanya beda pada jarak sumbu). Seperti kompasianers tahu, nilai kalor CJO lebih tinggi dibanding mintan yakni 9.470 kcal dibanding 9.000 kcal. Kompor ini mampu hidup selama 5 jam dengan nyala api normal. Kelemahan .... harus sabar karena penyalaan awal relatif lambat. Demikian juga perawatan pada sumbu relatif rebyek dibanding mintan. Tipe ”hijau” ini sedang disempurnakan selanjutnya akan diintroduksi dengan cat warna ”biru”....bukan karena Pak Beye menang lho !
Kompor CJO ini ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi ”sejahat” mintan. Demikian pula berkemampuan dampak kesehatan yang lain, karena saya menyarankan masukkan minyak goreng (migor) bekas sebagai blending CJO ke dalam tangki kompor. Dengan mendaya gunakan migor, kita terhindar dari bahaya kangker dan api makin cantik karena amat biruuuuu, dan lebih mudah terbakar.
Kompor UB-16, berbahan bakar biji jarak pagar yang dibakar langsung. Amat berguna bagi masyarakat pedesaan terutama di remote areal, khususnya sebagai penangkal penggundulan hutan. Terdapat alat penyetel besar kecil api. Sejumlah 120 butir biji jarak (seyogianya kernel) mampu merebus 0,5 kg beras + 1 liter air dalam 60 menit. Lebih hemat karena dengan arang dibutuhkan waktu 81 menit (1 kg biji jarak ber kalori bakar sebesar 6.840 kcal). Seperti pada kompor ”hijau”, diperlukan kesabaran pada saat awal penyalaan dan juga cara memasukkan bahan bakar (biji jarak). Namun pada tipe berikut, Insya Allah teratasi.... karena prototipe penyempurnaan udah diperagakan di depan WANTIMPRES sebelum Pileg lalu.
Sebaiknya kompasianers perlu mengetahui UB 16 direkayasa oleh Komunitas Pengrajin Kompor di kota Malang, Jawa Timur dengan arahan Mas Dr. Eko Widaryanto, temanku seperjuangan dari Universitas Brawijaya dan ”si hijau” dibimbing Mas Abi dari BALITTAS. Komunitas kompor itu, semula bertahun-tahun ”jaya” karena membuat kompor mintan.....namun kini meredup karena program kompor LPG. Mereka terbelit hutang bank, yang tidak mampu dibayar karena tidak ada pembeli kompor mintan. Ayo, kompasianers.... siapakah penyebab kemelaratan wong cilik pengrajin kompor dan siapakah penggagas pembagian tabung dan kompor LPG?
Dalam ”jangka pendek” it’s OK LPG mensubstitusi bahkan mengganti mintan. Tetapi dalam jangka panjang, bangsa ini akan makin tergantung pada impor. Kapan kita akan jadi MANDIRI ? Bukankah produksi gas RI untuk mensuply pabrik-pabrik pupuk kita aja masih kekurangan? Juga kita masih harus impor LPG sehingga Pertamina usul mencampur LPG dengan gas metana batu bara (Coal Bed Methana-CBM). Padahal teknologi ini belum proven, alias biayanya lebih tinggi dari mendulang minyak bumi. Apalagi kan , bukan Energi Terbarukan (Renewable Energy) ?
Benih Unggul Sebagai penutup diskusi, saya mohon izin kompasianers untuk memasang di postingan ini sejumlah foto benih unggul Jarak Pagar. Saya motret Agustus 2008 lalu, di kebun benih di Kuala Pilla, Malaysia. Mohon kompasianers membandingkan dengan benih unggul Jatromas produksi Indonesia. Foto ini diambil pada umur tanaman yang sama,...± 6 bulan. Mohon pendapat kompasianers, manakah yang lebih unggul ? [caption id="attachment_45910" align="aligncenter" width="300" caption="Kelompok 2 foto di bagian atas diambil di Kuala Pilla, Malaysia. Sedang 2 foto di bawahnya diambil di kebun Cikarang, Bekasi, Jabar. Manakah pilihan Anda ?"][/caption]
Foto ini sebenarnya saya siapkan sebagai salah satu bahan diskusi di Seminar dan Work Shop Renewable Energy and Sustainable Development in Indonesia yang akan dilaksanakan oleh Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya, 22-24 Juli 2009 yang akan datang (Insya Allah. saya dapat materi yang berguna di ITS untuk di posting di Kompasiana). Demikian juga foto ini, telah saya tunjukkan ke salah satu teman pengusaha Singapura di seminar mahal karena beliau akan investasi membuka perkebunan Jarak Pagar di salah satu provinsi di Pulau Sumatera dengan konsultan datuk Kerajaan Jiran.
Simpulan saat ini, kita leading di Jarak Pagar dibanding negara jiran. Namun harus diakui Indonesia kurang mempromosikan diri. Tetapi apakah ironi di sawit tidak terulang ? (diskusi kenapa sawit Indon kalah dibanding Malaysia? klik di sini). Inilah yang seharusnya Republik care. Bukankah dengan bio-kerosin dan biji jarak, masyarakat utamanya di remote areal akan MANDIRI energi ? Bukankah penggunaan bio-kerosin, biji jarak, dan bungkil jarak adalah PRO RAKYAT .....yang layak di LANJUTKAN !