Mohon tunggu...
Roy Hendroko
Roy Hendroko Mohon Tunggu... -

Roy adalah mania di bBH (jangan diartikan Bra Mania), atau dalam Bahasa Indonesia yang salah kaprah : BBN Mania, atau di-Inggris-kan : Biofuel Mania. Saat ini mencangkul di perusahaan swasta yang berbasis perkebunan dan industri kelapa sawit, sebagai Researcher Biofuel Plant Production. Roy pensiun dengan masa kerja 35 tahun dari sebuah BUMN yang mengelola 10 Pabrik Gula, 2 Pabrik Bioetanol, dan 2 Pabrik Kelapa Sawit. Aktif di Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (APBI) skala UKM, Asosiasi Bioenergi Indonesia (ABI), Asosiasi Petani Jarak Pagar Indonesia (APJPI), Forum Biodiesel Indonesia (FBI), dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuanku menulis adalah memberitakan bahwa minyak bumi sedang menuju titik nadir dan suatu hari BBM adalah akronim dari Bener Benar Malu. Masa depan Republik ini adalah pertanian energi karena pro poor, pro job, pro growth, dan pro planet. Postinganku berupaya menjadikan BBN (bahan bakar nabati) menjadi back bone di negara ini. Bukan seperti saat ini yang hanya Bener Bener Nekat atau hanya sekadar Bener Bener Narcist dan akhirnya pabrik Benar Bener Nyaris jadi rosokan besi tua karena hanyalah merugi. Apakah "mimpi", "utopia", atau "misi"-ku akan tercapai ? INSYA ALLAH dan semoga rekan Kompasianer mendukungku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bioetanol Keledai (Serial "Demam Bioetanol" ke-10)

5 Oktober 2009   07:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:38 2121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_45662" align="alignleft" width="216" caption="Banthe Agaddipo dan Roy di "PESAT""][/caption] Hi Kompasianers, met jumpa. Memperhatikan foto di samping, sebagian kompasianers mungkin berkata (dalam hati) : ”ah narsis, si Roy nampang bersama seorang banthe untuk menunjukkan dia pancasila-ist dan untuk membuktikan apa yang ditulis di komentar Prof ET di postingan beberapa waktu lalu”. Klik di sinidi komentar Nomor 44. Mungkin, pula ada kompasianers yang berteriak sinis : “ si Roy pakai hem batik mau menunjukkan dirinya nasionalis, seperti postingan Mas Iskandar Jet” (klik di sini, di komentar No. 3). Malah mungkin ada yang berkomentar & bertanya : “ sombong pamer, konon baju batik si Roy kan berjibun (seperti dinyatakannya di komentar No. 10, klik di sini)..... Tapi kok nggak ganti ya....sama dengan batik yang di foto bersama Prof ET ?”. Coba lihat foto narsisnya di sini. Nih, saya “membela diri”, batikku memang nggak ganti karena agar metching, sepadan warna coklat dengan jubah banthe......hahahehehe. [caption id="attachment_66" align="alignright" width="96" caption="Alat Destilasi dan Evaporator di PESAT"][/caption] Dengan tujuan menunjukkan spesifik lokasi, maka di foto di atas saya memotret papan nama Pabrik Bioetanol PESAT (yang akan jadi “pokok obrolan” kali ini). Tapi apa ya, di dinding sebelah kanan dan juga di belakang Roy dan banthe? Maaf, ternyata tembok latar belakang foto, dihiasi coretan “gambar jail” (mungkin kena dampak postingan kompasiana yang penuh esek-esek , hahaha). Nyuwun pangapunten, sengaja foto sisi kanan tidak saya ”crop”, agar di benak kompasianers khususnya para bioetanolist muncul pertanyaan....kenapa kok di orat-oret, apa yang terjadi di PESAT ? Nyuwun duko kepada banthe yang sebenarnya sebagai rohaniawan tidak layak dipotret di depan orat-oret serupa itu. Tapi mohon izin, ntar di bawah saya pasang orat-oret tersebut lebih lengkap untuk “dramatisasi”. Prinsip Mulia Banthe Agaddipo adalah “pimpinan” Sekolah TK dan SD Boddhisatta, di Kampung Melayu, Tanggerang (bathe adalah nama atau “gelar” pendeta di agama budha). Kompasianers mungkin tahu, kampung ini adalah daerah “langganan banjir” (minimal setinggi lutut). Anda bisa bayangkan, bagaimana masyarakat yang hidup di daerah ini, pasti bukanlah orang yang kaya duit. Di daerah ini, banthe menempati sebuah “petak kecil” untuk tempat tinggalnya dan sebuah rumah tua yang disekatnya jadi 4 bagian sebagai SD Boddhisatta. Banthe Agaddipo mempunyai prinsip mulia....tidak mau membangun vihara, cukuplah “petak kecil” ini tempat beliau berteduh, asal dapat menyelenggarakan pendidikan “murah namun bermutu” untuk generasi mendatang. BBN versus BBM Saya benar bener “kaget”, mendengar kabar bahwa Banthe Agadippo berniat menanam tanaman penghasil BBN (bahan bakar nabati) di tanah yayasan kaum budha di Jampang Tengah, Sukabumi untuk subsidi biaya pendidikan (semacam BOS-Bantuan Operasional Sekolah) Bodhisatta. Suprise, kagum dan saya ucapkan puji syukur karena banthe berpikir jauh ke depan. Banthe tidak hanya memikirkan pendidikan tetapi juga ketahanan energi Republik ini di masa depan. Banthe tidak saja sadar bahwa fossil oil akan habis, tetapi juga merencakan tindakan agar berdampak postif pada pro-job, pro-poor, pro-growth di negara ini, dan pro-planet bagi semua kehidupan di dunia ini. Eh, ternyata asisten banthe adalah Mas Kardi, salah seorang peserta pelatihan bioetanol di majalah Trubus (saya mbantu ngajar di situ) di medio tahun 2008. Namun agar Mas Kardi tidak salah langkah dalam rangka menuju ke “raja BBN” di Indonesia. Juga agar banthe tidak bener bener nekat (BBN), maka saya memberanikan diri menawarkan jadi “konsultan”. Nih bukan berarti Roy bener bener narsis (BBN) lho ! Hanya pemberi nasihat agar Mas Kardi tidak BBM (bener bener malu), bila proyek tersebut ternyata bener bener nyaris (BBN) . Kenapa akan jadi “ke-malu-an besar” ? Ntar saya uraikan di bawah. Prof ET di UPSI Saya bersama banthe dan rombongan melaksanakan survei lapang pada tanggal 30 September 2009. Di jelang subuh….masuk sms Pak Prof ES dari KL yang memberitahu saya tentang budi baik beliau mendukung saya dengan mem posting “kampanye BBN”. Sebuah tulisan “iklan ngompori” yang amat apik banget sehingga pantas masuk katagori terpopuler minggu ini (sampai detik saya menulis Bioetanol ke-10 ini, bravo dan salut). Klik di sini. Dalam hati, saya mikir, apakah banthe kena “stroom jarak jauh” postingan Prof ET sehingga “mabuk BBN” ? Makasih ya Prof, tadinya saya penuh tanda tanya (1) apakah “kapling” saya tentang BBN di Kompasiana “dirampok” Pak Prof (hahahaha) ?, (2) apakah Pak Prof juga kena virus sehingga “demam bioetanol” (hehehehe) ?, (3) apakah Prof “latah” ke tema BBN, seperti di Kompasiana hari-hari lalu yang “niru” esek-esek karena kena “wabah” Mbak ML (hihihihi) ? Bila Prof “latah”, alhamdulillah karena Bahan Bakar Nabati bakalan TOOOP. Tapi Pak Prof pasti masuk katagori bBH mania, karena sesuai bidang ajar beliau yakni biotek dan ilmu lingkungan (dengan salah satu bahasan tentang bBH dan/atau BBN) di Faculty Science & Technology di UPSI, Tanjung Malim, Malaysia. Menulis lagi ya Prof, tentang bBH ! Kami para pencinta bBH menunggu. Sekadar refresh, bBH adalah akronim yang dipanjangkan ke Bahan Bakar Hayati, jangan diplesetkan jadi Pencinta Bra alias BH Mania lho. Penjelasan hal ini, telah kita diskusikan di postingan BBN, klik di sini. Sorgum Pesantren Alzay [caption id="attachment_69" align="alignleft" width="240" caption="Rencana Lahan Tanaman BBN di Jampang Tengah"]

Rencana Lahan Tanaman BBN di Jampang Tengah
Rencana Lahan Tanaman BBN di Jampang Tengah
[/caption] Pendek kata, dengan melihat kondisi lapang di Jampang Tengah, saya dan banthe telah sepakat apa yang akan kami tanam. Kami akan menanam multiple croping, mulai dari tanaman keras sampai tanaman semusim. Bathe pingin “hutan” pohon manggis sebagai tempat beliau bersemedi, kami juga akan menanam jati atau sengon. Sebagai pagar, kami merencanakan menanam jarak pagar. Terkait hal ini dalam perjalanan, kami mampir di Balittri (Balai Penelitian Tanaman Industri) di Pakuwon agar banthe dkk dapat melihat aplikasi minyak jarak (JCO, [caption id="attachment_63" align="alignright" width="240" caption="Banthe Berpose di Depan Unit Biogas ex Jathropa"]
Banhe Berpose di Depan Unit Biogas
Banhe Berpose di Depan Unit Biogas
[/caption] Jatropha Crude Oil) sebagai BBN untuk skala pedesaan, antara lain kompor dan alat-alat diesel putaran rendah (pompa, hand tractor, genset “kecil”, dan lain-lain) dan juga pengembangan by product industri Jatropha sebagai biogas dan bio-pellet. Kita pernah mendiskusikan biogas di sini, dan kompor CJO di sini. Bahkan kita pernah ngobrol kompor bioetanol di sini. Sedang di bagian tengah jalur, Insya Allah kami akan menanam tanaman semusim agar cast flow terkait BOS dapat terwujud antara lain lombok, timun, singkong, dan .....sweet sorgum. ...seperti yang dilaksanakan oleh [caption id="attachment_58" align="alignleft" width="240" caption="Sorgum di Al Zaytun, Indramayu, Jabar. Di Latar Belakang tampak Rachmatan Lil Alamin, Masjid "Terbesar" di Indonesia."]
Sorgum di Al Zaytun. Di Latar Belakang Tampak Rachmatan Lil Alamin, Masjid "Terbesar"di Indonesia.
Sorgum di Al Zaytun. Di Latar Belakang Tampak Rachmatan Lil Alamin, Masjid "Terbesar"di Indonesia.
[/caption] pesantren AlZay di Indramayu. Sayang, terdapat kendala dana pada pembangunan pabrik bioetanol di AlZay (kenapa ya, Alzay keukeh dan tidak memanfaatkan second opinion agar proyek bioetanol dan biogas-nya dapat segera direalisasi ?) Bagaimana rencana banthe tentang pemanfaatan sorgum ? PESAT nan Mangkrak Mas Kardi “bermimpi” akan membangun industri bioetanol skala mikro dengan sorgum (dan singkongnya) di Jampang Tengah. Tapi saya menyarankan memanfaatkan saja keberadaan pabrik bioetanol skala kecil (kapasitas 450 liter/hari) PESAT di Jampang Kulon. Seperti diketahui pabrik ini, didanai oleh pemerintah pusat dengan tujuan luhur menjadikan daerah Jampang sebagai Desa Mandiri Energi (DME). Pertimbangan hal ini, antara lain tersedia bahan baku singkong dan supply BBM yang sering terlambat karena jalan menuju ke wilayah ini relatif “berat”. Lebih kurang 95 km dari Sukabumi dengan jalan beraspal yang sempit, sebagian rusak, dan amaaaat berkelak-kelok menuruni dan naik perbukitan . Lebih kurang 40 km dari PESAT dapat kita jumpai Surade atau Ujung Genteng, sebuah habitat, konservasi dan penangkaran satwa langka penyu. Sedang jarak kota Sukabumi lebih dari 105 km dari Mega Kuningan, Jakarta Selatan (lokasi tempat ”kost” ku). Pabrik ini direncanakan di kelola oleh Gapoktan (gabungan kelompok tani). Lihatlah papan nama di foto di bawah judul postingan. Namun pabrik yang "diresmikan" Menteri Pertanian di Januari 2009 lalu, sampai hari ini mangkrak seperti obrolan kita di Bioetanol 2, sub-bab “permasalahan pabrik” (klik di sini) dan di postingan BBN di sub-bab ”berita duka 2” (klik di sini). Bahkan sebagian dindingnya telah "dilukis" tangan jail. Maaf foto  di bawah, saya "perkecil" daripada disensor oleh Adm Kompasiana atau terkena UU Pronografi. [caption id="attachment_59" align="aligncenter" width="300" caption="Dinding PESAT Dihiasi "Corat Coret Porno""]
Dinding PESAT Dihiasi "Corat Coret Porno"
Dinding PESAT Dihiasi "Corat Coret Porno"
[/caption] Decak Kagum. [caption id="attachment_60" align="alignleft" width="240" caption="Pabrik Bioetanol PESAT, Jampang Kulon, Sukabumi, Jabar"]
Pabrik Bioetanol PESAT, Jampang Kulon, Sukabumi, Jabar
Pabrik Bioetanol PESAT, Jampang Kulon, Sukabumi, Jabar
[/caption] Mulut atau lidah saya berdecak kagum melihat PESAT. Dindingnya di cat biru, kali aja terkait warna salah satu partai di kampanye lalu. Di sebelah PESAT berdiri pabrik penggilingan padi (RPC) berkapasitas 24 ton per hari yang dilengkapi gudang dan lantai jemur. RPC ini dikelola oleh Rejeki Tani, Gapoktan yang me-menejemen pula PESAT. Mengapa Rejeki Tani mengelola 2 pabrik yang bertetangga ini ? Beliau yang perencana proyek ini patut dan layak diberi aplaus dan bravo (meski terdapat “kekurangan”, antara lain pada layout pabrik yang “rumit”, dan problem teknis yang suatu saat kita bahas). [caption id="attachment_64" align="aligncenter" width="300" caption="Foto kiri : boiler dengan Alat Gasifikasi. Foto tengah dan kanan : pabrik penggilingan padi PESAT"]
pabrik penggilingan padi PESAT
pabrik penggilingan padi PESAT
[/caption] Saya hanya meninjau dari sudut energy balans. Bayangkan betapa efisien PESAT karena dapat menggunakan bahan bakar biomassa berupa sekam padi. RPC tidak kesulitan dengan limbah sekam dan hasil pembakaran sekam dapat dimanfaatkan sebagai pupuk arang (charcoal) untuk tanaman penghasil BBN (singkong, sorgum, dan lain-lain) dan juga untuk tanaman padi. Nih, saya belum belum bicara potensi biogas dan pupuk dari vinase (limbah pabrik bioetanol) seperti kita bahas di bioetanol 6 dan bioetanol 7. Klik di sini dan di sini. Bioetanol Keledai Demikianlah judul postingan ini, ....bukan kedelai, tapi KELEDAI. Biji kedelai tidak dapat dibuat jadi bioetanol tetapi bahan baku biodiesel di USA. Lho, apakah keledai bisa dijadikan bioetanol ? Saya pilih judul di atas, karena kesal....lihatlah umpatan saya di postingan terakhir, berjudul Bioetanol 9, tanggal 26 September 2009, di kata paling akhir sebelum salam penutup (klik di sini ). Nyuwun pangapunten. Republik ini pernah ”malu” karena di tahun 2007-2008 dibagikan ratusan alat pemerah biji jarak pagar dan puluhan unit pengolah minyak jarak. Alat-alat ini digadang-gadang jadi pembuat biodiesel atau minyak nabati murni (PPO) dalam rangka DME...... ternyata hanyalah mubazir doang. Sekarang di 2009, kita ganti ”proyek” dengan bioetanol, tetapi kok pembangunan pabrik skala UMKM ini tidak smooth. Di Lebak (Banten), di Lampung Utara, juga di sejumlah tempat lain ....cuman mangkrak. Padahal kini, sedang dalam persiapan pembangunan 7 pabrik bioetanol berkapasitas 400 liter/ hari oleh Departemen ESDM. Semoga tidak mengalami kegagalan ! Kata peribahasa, keledai tidak mau terantuk batu yang sama untuk ke-2 kali. Padahal dalam dongeng Bu Guru waktu saya di SR (Sekolah Rakyat) dikatakan keledai adalah binatang yang terbodoh di dunia satwa. Tapi kata almarhumah nenek saya, meski keledai paling goblog, dia ternyata cukup ”pintar”. Keledai mampu menghindari timbunan di dalam lubang kubur yang digali oleh bapak jahat (Kompasianers tahu cerita ini ? kapan-kapan saya ceritain....asal ”upah” memadai). Bila keledai mempunyai sifat "bijak dan unggul" seperti di atas. Apakah kita sebagai manusia di Republik ini "kalah" dibanding keledai dengan mengulang kesalahan kegagalan pembangunan pabrik-pabrik penghasil BBN, utamanya bioetanol skala UMKM??? Insya Allah, TIDAK Kebun Riset PT BME, 5 Oktober 2009 SALAM ENERGI HIJAU, Berkah Dalem Gusti. Roy Hendroko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun