Mohon tunggu...
Roy Erickson Mamengko
Roy Erickson Mamengko Mohon Tunggu... dosen tetap fisip universitas sam ratulangi -

Lahir di Tondano, Minahasa 5 November. Tahun 1985 menyelesaikan pendidikan strata satu (Doctorandus) di FISIP Universitas Sam Ratulangi. Antara tahun 1993-2000 menyelesaikan program strata dua dalam dua bidang ilmu yang berbeda (MA dan M.Theol) di Apollos Theological Seminary Jakarta, dan Asbury Theological Seminary USA. Antara tahun 2000-2004, menyelesaikan program strata tiga (Doctor by Research) di Northern State University USA.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masalah Incumbent, PNS, KPUD dan DPT dalam Penyelenggaraan Pemilu Kada

15 Desember 2010   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:42 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Roy Erickson Mamengko

Kita semua masih ingat, bahwa dalam penyelenggaraan Pemilu 2009, empat hari sebelum pemilih mencontreng kertas suara calon legislatif di TPS, Kompas.Com (3/4/2009) menuliskan berita, kalau di Jakarta, ditemukan daftar pemilih tetap (DPT) yang memuat nama-nama orang yang tidak berhak memilih, nama-nama fiktif, nama-nama pemilih bernomor induk kependudukan (NIK) ganda, dan juga ditemukan kertas suara yang sudah diberi tanda.

Di dua Kabupaten Lumajang dan Sumenep, Jawa Timur, juga ditemukan adanya ketidak sesuaian antara “soft copy” daftar pemilih tetap dengan daftar pemilih hasil cetakan. Soft Data DPT menggunakan program Excel, sementara percetakan menggunakan “program access”. KPUD Kabupaten Lumajang, juga mengeluarkan sekitar 50.000 formulir A5 atau surat undangan untuk mengikuti pemilu kepada warga mereka yang berada di luar daerah. Kendati tindakan seperti ini menurut regulasi penyelenggaraan pemilihan umum tidak dibenarkan.

Ketua PANWAS Pemilu Jawa Timur Sri Sugeng Pujiatmiko, pada waktu itu, juga mengungkapkan, ditemukan 43.088 DPT bermasalah. Antara lain, 8.868 NIK ganda, 6.804 NIK dan nama sama, serta 4.208 pemilih yang telah meninggal dunia. Kasus tersebut terjadi di sembilan daerah, yaitu di Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Jombang, Kota Pasuruan, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Blitar.

Di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Banyumas, pada penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009, juga dilaporkan bahwa Panitia pengawas pemilu (Panwaslu) pada saat itu, juga menemukan ada 7.014 DPT bermasalah di 27 kecamatan karena berisi 4.156 nama telah meninggal dunia, 1.061 nama ganda, 563 beralamat fiktif, 598 pemilih yang telah berpindah alamat, 308 pemilih tidak ada nomor induk kependudukan, dan dicantumkan 59 anggota TNI/POLRI.

Masalah-masalah yang sama, dalam penyelenggaraan Pemilu Kada, juga ditemukan di kabupaten/kota dalam provinsi di bagian Indonesia Timur, Indonesia Barat, dan Indonesia Tengah. Ini diperkuat dari apa yang diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, usai memberikan kuliah umum di Fakultas Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, Sumatra Barat (11/2), bahwa pihaknya sepanjang tahun 2010 ini, hanya mampu menangani 130 kasus perselisihan hasil Pemilu Kada dari 244 penyelenggaraan Pemilu Kada 2010.

Pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah; mengapa pada setiap penyelenggaraan Pemilu Kada, mulai dari proses persiapan, pelaksanaan dan penghitungan perolehan suara selalu saja menimbulkan protes dan perselisihan antara penyelenggara, pemerintah daerah, partai politik dan kontestan dan harus diselesaikan di MK? Tulisan ini coba memahami dinamika interaksi antara “penguasa” dan yang “dikuasai” dalam penyelenggaraan Pemilu Kada kontempoter.

Sumber masalah?

Bermula dari aras provinsi, kabupaten/ kota. Ketika pembentukan tim seleksi calon anggota KPUD sebanyak lima orang. Calon anggota tim seleksi ini menurut UU diambil dari tiga sumber. Akademisi, pemerintah dan organisasi profesi. Satu orang diajukan oleh gubernur untuk aras provinsi, bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota, dua orang diajukan oleh DPRD, dan dua orang lagi diajukan oleh KPUD Provinsi untuk tingkat provinsi, KPUD kabupaten/kota untuk aras kabupaten/kota.

Setelah tim seleksi terbentuk, tim ini kemudian bekerja mengikuti alur yang yang telah ditentukan oleh UU. Mengumumkan pendaftaran calon anggota KPU, menerima pendaftaran, melakukan penelitian administrasi, mengumumkan hasil penelitian administrasi, melakukan seleksi tertulis, mengumumkan daftar nama calon yang lulus seleksi, melalukan wawancara, sampai mendapatkan 10 orang calon. Dilanjutkan dengan penyaringan untuk mendapatkan 5 orang anggota KPUD dari antara 10 nama melalui uji kelayakan.

Menjadi pertanyaan, dalam proses menemukan 5 orang penyelenggara Pemilu Kada, apakah tim seleksi bekerja independen dan profesional, tidak dipengaruhi oleh pejabat birokrasi? Kenyataan menunjukkan lain. Sejak tim seleksi bekerja meneliti berkas yang diajukan oleh para calon anggota KPUD provinsi atau kabupaten/kota, tim seleksi ini tidak pernah lepas dari intervensi pejabat birokrasi pada levelnya seperti gubernur, bupati atau walikota. Intervensi terutama terarah pada penyamaan persepsi antar keduanya, supaya tim seleksi dapat merekrut penyelenggara Pemilu Kada yang berpihak.

Modus oprandinya, tampak terjadi pada hampir semua daerah dan aras, dimana wilayah itu dipimpin oleh pejabat daerah  yang juga merangkapi sebagai ketua partai politik. Akibatnya, kita menyaksikan banyaknya kecamaman yang muncul dari masyarakat dialamatkan kepada penyelenggara Pemilu Kada yang dihasilkan oleh tim seleksi ini. Dinilai hasil dari mekanisme akal-akalan “simbiose-mutualis” antara “penguasa” dan “tim seleksi”.

Hubungan “simbiose-mutualis” ini menguat ketika KPUD kabupaten/kota membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Dengan alasan minta bantuan dan kerjasama membentuk PPK, KPUD menyurati Bupati/Walikota. Berpegang pada surat dari KPU ini, Bupati/ Walikota “incumbent”, kemudian secara leluasa menggerakkan jajaran aparat birokrasi di bawahnya, mulai dari kepala-kepala dinas, kepala kecamatan, kepala desa dan kelurahan dijadikan perpanjangan tangan kepentingannya mengintervensi pembentukan PPK.

Intervensi tersebut, tampak ketika nama-nama calon anggota PPK  5 orang  diajukan oleh kepala-kepala kecamatan kepada KPUD untuk diuji kelayakan. Uji kelayakan terhadap mereka memang dilakukan, tetapi, dari antara 5 orang ini tidak ada yang gugur, karena yang diajukan jumlahnya hanya 5 orang sesuai yang dibutuhkan. Begitu pula yang akan menjadi ketua-ketua PPK. Saat mereka mengikuti uji kelayakan, para Camat secara tidak resmi, memberitahukan kepada KPUD siapa diantara mereka yang dapat dijadikan ketua PPK. KPUD kemudian melegitimasi susunan pengurus PPK hasil kompromis dengan surat keputusan.

Setelah PPK di kecamatan terbentuk, PPK ini kemudian membentuk PPS di desa dan kelurahan. Menurut ketentuan UU, Panitia Pemungutan Suara (PPS) ini dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota. Dalam prakteknya, direkrut oleh PPK melalui perantaraan kepala desa atau kepala kelurahan. Ada juga calon anggota PPS, di jaring atas dasar rekomendasi tidak tertulis kepala desa/kelurahan setempat kepada PPK.

Pada umumnya yang direkrut anggota PPS adalah mereka yang berstatus PNS, pensiunan PNS, atau kerabat para pengurus partai politik yang dipimpin “incumbent”. Perekrutan para PNS menjadi anggota PPS ini, akan tampak dari pemancangan bendera Parpol, pengecatan rumah dan pagar rumah mereka sama dengan warna bendera Partai Politik yang dipimpin “incumbent”. Yang paling ekstrim tampak dari bagaimana kepala-kepala dinas Kabupaten dan Kecamatan mencat bagian-bagian dari Kantor Dinas dengan warna Parpol yang dipimpin “incumbent”. Begitu pula dengan isi kantor. Mulai dari kursi, meja, pengalas meja, bunga hias, tenda, dan bagian-bagian dari kedaraan dinas diwarnai sama dengan warna partai politik yang dipimpin oleh kepala daerah mereka.Prilaku aparat birokrasi ini, oleh para cerdik pandai dianggap perwujudan dari menguatnya keperibadian terbelah, dan mentalitas menjilat ke atas, menyepak ke bawah PNS.

Peran PPS

Untuk diketahui, menurut ketentuan UU Nomor 10 tahun 2008, pasal 35 disebutkan; “salah satu tugas PPS sebelum pencontrengan kertas suara di TPS, melakukan pemutahiran data pemilih”. Dalam melakukan tugas pemutahiran DPS, PPS dibantu oleh petugas DPS yang terdiri dari  prangkat desa/ kelurahan, RW/RT, dan warga masyarakat. Petugas pemutahiran data pemilih ini diangkat dan diberhentikan oleh PPS.

Pemutahiran data pemilih mencakupi, penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS) berbasis RT untuk tenggat waktu satu bulan lamanya. Setelah penyusunan DPS selesai, dan untuk keperluan mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat, DPS ini diumumkan secara terbuka selama tujuh hari kepada masyarakat. Bila ada tanggapan dan masukan dari masyarakat atas kekurangan DPS, PPS wajib memperbaikinya, dan mengumukan hasil perbaikannya. PPS juga diwajibkan memberikan salinannya kepada yang “mewakili Peserta Pemilu” di tingkat desa/kelurahan. Setelah proses pemutahiran DPS selesai, PPS melalui PPK baru dapat menyerahkan DPS “hasil perbaikan” kepada KPU kabupaten/kota, untuk dijadikan acuan utama penyusuanan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Namun dalam banyak kasus, menunjukkan, ada pemilih yang mengetahui namanya tercantum dalam DPS, tapi, ketika DPS menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) nama mereka justru tidak lagi tercantum dalamnya. Begitu pula, ketika pihak KPUD sebagai penyelenggara Pemilu Kada dan pemerintah daerah sebagai penanggung jawab penyedia data kependudukan, ditanyai masalah ini, menolak bertanggung jawab atasnya. Malah keduanya saling menyalahkan. Kenyataan ini, menguatkan kecurigaan masyarakat dan kemudian menjadikannya sebagai indikator tuduhan adanya “simbiose-mutualis” antara “penyelenggara” dan “penguasa” dalam rangka memenangkan “inbumbent” dengan cara rekayasa DPS dan DPT.

Untuk diketahui, persoalan pemanfaatan DPT dan sumber daya PNS sebagai salah satu instrumen pemenangan Pemilu Kada, bukan baru muncul pada tahun 2009. Munculnya masalah ini dipandang sebagai resonansi dari praktek penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan Kepala Daerah yang bersifat terpusat, otoritarian dan dikendalikan berjarak (remote control) sejak Rezim Orde-Baru.

Begitu pula terhadap pemanfaatan PNS sebagai instrumen pemenangan Pemilu dan Pemilu Kada.  Ambil contoh penyelenggaraan Pemilu pada periode 1950-1960. PNS oleh negara dibebaskan menjadi anggota Parpol. Atas hal ini, ada berbagai pihak yang menuduh kalau birokrasi pemerintah telah menjadi ajang rebutan Parpol, sehingga ada departemen yang dianggap sebagai milik parpol tertentu.

Begitu pula pada periode 1966-1998. Meskipun menurut peraturan perundang-undangan, PNS diharuskan netral, tetapi dalam kenyataannya, PNS diwajibkan menjadi anggota dan mendukung satu Parpol saja, yaitu Golkar. Akibatnya, birokrasi terlihat dikuasai Golkar saja, karena menggunakan birokrasi untuk kepentingan politiknya.

Pada periode 1998-2010 ini, periode yang disebut dasawarsa reformasi, beberapa UU dan Peraturan pemerintah telah diadakan, mewajibkan PNS untuk netral. Namun dalam kenyataannya, birokrasi pemerintahan mulai dari pusat sampai desa, tetap sukar menjalankan pelayanan yang adil terhadap semua partai politik. Sikap pelayanan yang diskriminasif masih tampak disana-sini. Sebagai contoh praktis, sejak penyelenggaraan Pemilu Kada 2009, UU nomor 10 tahun 2008, memangkas kewenangan PPS menghitung perolehan suara di TPS. Para pembuat UU ini mensinyalir, manipulasi perolehan pada penyelenggaraan Pemilu 2004 kebanyakan terjadi pada level ini. Apakah mekanisme pemintasan rekapitulasi perolehan suara dari PPS ke PPK menyurutkan praktek manipulatif perolehan suara Pemilu Kada di tingkat kecamatan? Prakteknya menerangkan lain. Asumsi pemintasan rekapitulasi perolehan suara beralih dari PPS ke PPK ternyata tidak mengurangi resiko penyurangan.

Data empiris (isi gugatan sengketa-sengketa Pemilu Kada yang di ajukan peserta Pemilu Kada ke MK) menunjukkan, kalau potensi manipulatif perolehan suara justru lebih besar terjadi di tingkat PPK ketimbang di PPS. Sebab, kalau pada Pemilu 2004, jumlah berita acara rekapitulasi perolehan suara di PPK hanya mencakupi  jumlah PPS satu kecamatan. Tetapi, pada pemilu 2009, jumlah  “berita acara” perolehan suara yang direkapitulasi PPK justru menjadi sangat banyak, karena telah mencakupi jumlah perolehan suara seluruh TPS pada satu kecamatan. Akibatnya, pada aras ini, angka perolehan suara menjadi sangat mudahnya dimanipulasi dengan cara memutasikannya kepada calon yang  didukung penyelenggara Pemilu Kada kecamatan. Angka perolehan suara 100 dalam daftar perolehan suara dari TPS, dapat berubah menjadi anggka 10 saja. Satu angka kosong dialihkan pada kandidat lain yang memperoleh angka 17. Sehingga, jumlah perolehan suara pasangan kandidat yang  seharusnya tercatat hanya 17 suara, dengan drastis dapat diubah menjadi 170 suara. Praktek manipulatif-mutatif  perolehan suara yang menguntungkan seorang “incumbent” ini, dari banyak kasus tidak tampak ada, tetapi benar-benar ada dimana-mana.

Pertanyaan dan Harapan

Kapan DPR RI kita, berkemauan baik membuat UU penyelenggaraan Pemilu Kada yang berkeadilan, tidak memberi peluang penyelenggara Pemilu Kada seperti KPPS, TPS, PPK dan KPUD di kooptasi pimpinan partai politik dan “incumbent”.

Kapan DPR RI kita, dapat membentuk UU yang dapat memulihkan martabat institusi-institusi bentukan negara, seperti KPU, KPUD sebagai penyelenggara Pemilu, pemerintah sebagai penanggung jawab penyedia data kependudukan, Partai Politik sebagai kompetitor Pemilu dan Pemilu Kada dari  saling melempar tanggung jawab, hanya dikarenakan tidak sanggup menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Adakah kemauan DPR memformulasikan UU yang mengatur urusan penduduk dan pemilih hanya pada satu instansi saja. Kalau kepada KPU ya KPU saja. Kalau kepada Departemen dalam Negeri ya Depdagri saja. Sebab, dengan adanya UU yang membagi pekerjaan ini kepada dua instasi; Pemerintah yang menyediakan data kependudukan dan KPU hanya sebagai pengguna data kependudukan untuk bahan penyusunan DPS dan DPT, politisasi DPT, pengolputan pemilih dalam DPT, manipulasi perolehan suara melalui DPT tampak akan berlangsung terus menerus.

Begitu pula status kepala daerah sebagai ‘incumbent” dalam pemilihan kepala daerah. Perlakuan UU yang menyamakan paran dan statusnya sebagai kompetitor yang sama dengan peserta Pemilu Kada yang berada di luar kekuasaan, dinilai sangat tidak adil. Sebab, status “incumbent” dalam prakteknya, condong dimanfaatkannya memobilisasi dukungan suara, menggerakan aparat birokrasi sebagai perpanjangan kepentingannya, dan menggunakan fasilitas negara yang berada di bawah kekuasaannya. Terhadap hal ini, DPR RI perlu memikirkan jalan keluarnya dengan bijaksana, karena masalah ini, dalam kenyataanya selalu menjadi pemicu terjadinya gugatan peserta Pemilu Kada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun