Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kritik Sastra Marxis terhadap Kapitalisme

2 Agustus 2022   11:30 Diperbarui: 2 Agustus 2022   11:31 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru besar sastra Universitas Sanata Dharma, Drs. B. Rahmanto, M.Hum, dalam pidatonya  pada acara dies natalis ke-53 Universitas Sanata Dharma yang berjudul "Revitalisasi Humaniora dalam Rangka Pembangunan Moral Bangsa: Sebuah Refleksi Sastrawi"  mengungkapkan dua kegelisahannya dalam memandang kondisi dunia kesusastraan Indonesia dewasa ini. 

Pertama, fakta bahwa ilmu-ilmu humaniora di berbagai universitas sudah dipinggirkan oleh kapitalisme dan mengabdi pada orientasi pasar semata-mata. Kedua, pengalaman panjang sejarah kelam bangsa Indonesia yang disebutnya menjalankan "tiada hari tanpa kekerasan dan  korupsi".

Kegelisahan yang pertama merupakan sebuah refleksi manusiawi yang prihatin akan sebuah ilmu (baca : sastra) yang secara esensial mengandung komposisi yang sehat bagi terpeliharanya harkat kemanusiaan tetapi  kini justru harus tunduk ke dalam diktat-diktat produksi pasar ala kapitalisme. 

Di sisi lain, universitas, lembaga yang harusnya menjadi wadah pertemuan kaum terpelajar dalam rangka merumuskan sebuah peradaban yang dapat membebaskan manusia justru kini hanya menjadi instansi-instansi pelatihan dan kursus keterampilan kerja. Kerja yang melayani roda produksi kapitalisme.

Serba Serbi Kapitalisme                            

Kapitalisme itu sendiri bukan sekedar sebuah sistem perekonomian melainkan lebih dari itu ia adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh. Sistem itu dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang yang berfokus pada upaya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kelahiran awal kapitalisme di Inggris pada abad 18 dengan cepat menyebar luas ke kawasan Eropa Barat, Amerika Utara dan kini hampir meliputi seluruh muka bumi. 

Awal kelahiran kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari semangat Aufklarung yang amat mementingkan tripartit kebebasan seperti kebebasan pemikiran, kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk hidup.

Liberalisme dan neoliberalisme sendiri dipandang sebagai anak kandung dari kapitalisme. Ajaran utamanya sangat mulia, bahwa jika setiap individu diberi kebebasan untuk berusaha, maka secara alamiah dia akan berkembang mencapai kesejahteraan ekonomi.

Tetapi dalam kenyataannya, cita-cita kapitalisme dalam mewujudkan peradaban yang lebih manusiawi tidak kunjung terwujud. Dampak negatif dari kapitalisme ternyata sangat mengejutkan. Penderitaan dan kecemasan manusia semakin besar. Disparitas antara pemilik modal dan kaum pekerja semakin besar.

Dalam sistem ini, tenaga kerja manusia hanya dipandang sebagai salah satu faktor produksi. Semangat ekonomi yang pada awalnya diwarnai oleh kebebasan justru kini menjadi ajang kontestasi keserakahan dan indvidualisme yang menggila. Ketamakan manusia yang eksploitatif dan ekspansif menjadi nilai yang terpuji dalam sistem kapitalisme.

Kegilaan hasrat pertumbuhan ekonomi pula lah yang menjadi virus yang meracuni banyak hal dalam kebudayaan kita. Agama dan pendidikan menjadi komoditas yang eksklusif, kesenian menjadi banalitas yang disorientatif dan politik menjadi permainan citra dan bisnis. Diskursus-diskursus keilmuan yang lahir dalam zaman penuh kegilaan ini justru diwarnai oleh tendensi ekonomi yang memalukan dan harus tunduk pada orientasi pasar.

Segala katastropi hari ini seperti krisis iklim, kelaparan ekstrim, pengangguran, hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain dianggap sebagai ekses dari kapitalisme yang tidak hanya mengeksploitasi manusia tetapi juga lingkungan hidup sebagai bahan bakar sirkulasi produksinya.

Bagaimana Kritik Sastra Marxis bekerja?

Secara konseptual kritik sastra marxis diartikan sebagai kritik sastra yang mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) karya Karl Marx dan Friedrich Engels, khususnya pada pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi.

Perubahan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual dan kebudayaan setiap zaman termasuk itu seni dan kesusasteraan merupakan ideologi-ideologi dan suprastruktur-suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal dan dibentuk akibat dari infrastruktur atau basis perjuangan kelas (Taum, 1997 : 50).

Filsafat Marx berujung pada aksioma bahwa sistem kapitalisme berwatak eksploitatif dan tidak akan membawa kesejahteraan bagi semua orang, melainkan hanya membawa keuntungan bagi pemilik modal. Sistem yang tamak ini akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara hukum permintaan dan penawaran yang akan membawa masyarakat pada kriris ekonomi yang massif.

Sejak Karl Marx mempublikasikan bukunya Das Kapital : Kritik der Politischen Okonomie, dunia kritik sastra senantiasa digelisahkan oleh hantu kapitalisme. Dalam magnum opusnya tersebut, Marx memandang bahwa persoalan eksploitasi dan alienasi manusia adalah dua bahan bakar utama kapitalisme.

Dalam pandangan Marx, sastra adalah salah satu produk sejarah yang dalam proses pembentukannya tidak dapat melepaskan diri dari kondisi dan corak produksi yang sedang berlangsung di masyarakat. Dengan kata lain, sastra hanya berupa cerminan dari mode produksi perekonomian suatu masyarakat dalam kebudayaan tertentu.

Sastra yang juga merupakan salah satu produk kebudayaan adalah konsekuensi cara produksi yang khas secara historis dan oleh karena itu ia bukan suatu arena yang netral karena hubungan produksi yang ada antarindividu niscaya juga harus mengekspresikan diri mereka sebagai relasi politis dan relasi legal (Baker, 2000 : 52). 

Kebudayaan bersifat politis karena ia menjadi ekspresi relasi kekuasaan. Ide ide dominan dalam masyarakat adalah ide kelas berkuasa dan pada akhirnya merupakan kekuatan intelektual yang dominan pula.

Tetapi dalam perkembangannya, salah seorang Marxis asal Italia, Antonio Gramsci melakukan pembaruan dari pandangan Marx tersebut. Ia mengatakan bahwa jika sastra hanya sekedar refleksi dari suatu bentuk kekuasaan yang bekerja, maka adalah sebuah kesia-siaan belaka melakukan kritik terhadap hal tersebut. Kita hanya akan terjebak ke dalam perangkap produk sastra bentukan kekuasaan cum kapitalisme yang bekerja.

Gramsci mengajukan sebuah tesis bernama Hegemoni. Ia mengatakan bahwa kekuasaan-penindasan dalam kerangka kapitalisme telah melalui proses yang bernama hegemoni. 

Hegemoni diartikan sebagai asumsi-asumsi tentang nilai yang diyakini oleh mayoritas masyarakat dalam kebudayaan tertentu. Penindasan yang dipaksakan terhadap suatu masyarakat meskipun akan bekerja pada periode waktu tertentu, tetapi hal tersebut tidak akan bertahan lama.

Cara untuk membuat penindasan itu bertahan lama atau bahkan diterima oleh masyarakat sebagai suatu hal yang benar dan alamiah adalah dengan memproduksi penindasan itu dalam sebuah kerangka nilai yang dapat diterima oleh masyarakat. 

Bagi Gramsci, hal inilah yang terjadi saat ini. Kapitalisme bisa bertahan lama dan menyesuaikan diri dalam berbagai bentuknya adalah berkat kerja hegemoni. Kritik sastra marxis memiliki kejelian dalam melihat tipu muslihat ini.

Sangat mengherankan mengapa kritik sastra marxis yang tajam dalam mengkritik kapitalisme ini tidak berkembang dengan baik di Indonesia. Konsekuensinya sangat jelas, kapitalisme dengan anak kandungnya yaitu liberalisme dan neoliberalisme dapat tumbuh dengan subur di negeri ini hampir tanpa kritik sama sekali.

Dunia kritik sastra Indonesia justru didominasi hampir secara mutlak oleh kritik yang melakukan penapisan struktural. Kedudukan dan peran sastra bagi bangsa ini pun tidak lebih dari sekedar bacaan ringan yang bersifat belles-lettres atau hanya sekedar penunjang pembelajaran bahasa Indonesia. Kritik sastra pun tidak mampu memberikan kontribusi bagi manusia dan persoalan alienasi dalam masyarakat Indonesia (Taum, 1997 : 50).

Kritik sastra marxis berpandangan bahwa sebuah karya sastra memiliki sifat politis karena menjadi media yang merepresentasikan hubungan kekuasaan. 

Seseorang kritikus sastra perlu mengungkap pola-pola hubungan kekuasaan ini dalam karya-karya sastra. Terutama di Indonesia di mana hegemoni kapitalisme bekerja dalam bentuk karya-karya belles-lettres.

Tugas kritik sastra marxis adalah mengungkap persoalan-persoalan manusia yang teralienasi dan terdegradasi dalam karya sastra dan turut membantu menciptakan sebuah pola hubungan antar-manusia yang lebih adil. Hal ini pun, sesuai dengan harapan sila ke lima negara kita "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun