Gramsci mengajukan sebuah tesis bernama Hegemoni. Ia mengatakan bahwa kekuasaan-penindasan dalam kerangka kapitalisme telah melalui proses yang bernama hegemoni.Â
Hegemoni diartikan sebagai asumsi-asumsi tentang nilai yang diyakini oleh mayoritas masyarakat dalam kebudayaan tertentu. Penindasan yang dipaksakan terhadap suatu masyarakat meskipun akan bekerja pada periode waktu tertentu, tetapi hal tersebut tidak akan bertahan lama.
Cara untuk membuat penindasan itu bertahan lama atau bahkan diterima oleh masyarakat sebagai suatu hal yang benar dan alamiah adalah dengan memproduksi penindasan itu dalam sebuah kerangka nilai yang dapat diterima oleh masyarakat.Â
Bagi Gramsci, hal inilah yang terjadi saat ini. Kapitalisme bisa bertahan lama dan menyesuaikan diri dalam berbagai bentuknya adalah berkat kerja hegemoni. Kritik sastra marxis memiliki kejelian dalam melihat tipu muslihat ini.
Sangat mengherankan mengapa kritik sastra marxis yang tajam dalam mengkritik kapitalisme ini tidak berkembang dengan baik di Indonesia. Konsekuensinya sangat jelas, kapitalisme dengan anak kandungnya yaitu liberalisme dan neoliberalisme dapat tumbuh dengan subur di negeri ini hampir tanpa kritik sama sekali.
Dunia kritik sastra Indonesia justru didominasi hampir secara mutlak oleh kritik yang melakukan penapisan struktural. Kedudukan dan peran sastra bagi bangsa ini pun tidak lebih dari sekedar bacaan ringan yang bersifat belles-lettres atau hanya sekedar penunjang pembelajaran bahasa Indonesia. Kritik sastra pun tidak mampu memberikan kontribusi bagi manusia dan persoalan alienasi dalam masyarakat Indonesia (Taum, 1997 : 50).
Kritik sastra marxis berpandangan bahwa sebuah karya sastra memiliki sifat politis karena menjadi media yang merepresentasikan hubungan kekuasaan.Â
Seseorang kritikus sastra perlu mengungkap pola-pola hubungan kekuasaan ini dalam karya-karya sastra. Terutama di Indonesia di mana hegemoni kapitalisme bekerja dalam bentuk karya-karya belles-lettres.
Tugas kritik sastra marxis adalah mengungkap persoalan-persoalan manusia yang teralienasi dan terdegradasi dalam karya sastra dan turut membantu menciptakan sebuah pola hubungan antar-manusia yang lebih adil. Hal ini pun, sesuai dengan harapan sila ke lima negara kita "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H