Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rendang, Produk Budaya atau Agama?

29 Juni 2022   08:32 Diperbarui: 7 Juli 2022   16:01 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikutip dari jurnal Kuliner Sebagai Identitas Budaya : Perspektif Komunikasi Lintas Budaya, Journal of Strategic Communication dalam beberapa tradisi, makanan justru menjadi identitas dari kebudayaan itu sendiri. Tetapi yang perlu digarisbawahi kebudayaan adalah sebuah entitas yang alih-alih statis, tetapi sangat dinamis. Bahkan dalam pandangan yang radikal, tidak ada kebudayaan yang benar-benar asli. Dalam proses kemenjadiannya, kebudayaan selalu lahir dari proses akulturasi ataupun asimilasi. Begitupun persoalan makanan, termasuk kuliner tercakup di dalamnya.

Dalam ulasan di pendahuluan, saya telah sedikit mengutip pendapat dari Fadly Rahman perihal definisi rendang. Berdasarkan sejarahnya, rendang adalah teknik mengolah makanan dengan tujuan membuat makanan tersebut lebih tahan lama. Dalam majalah dijelaskan kalau masyarakat Minangkabau sejak dahulu kala telah memiliki tradisi merantau ke negeri-negeri yang jauh sehingga dengan mengolah suatu makanan menjadi rendang, maka makanan tersebut dapat menjadi bekal yang tahan lama di perjalanan jauh.

Rendang Terinspirasi dari India dan Hongaria

Masih dalam majalah yang sama, rendang bahkan terinspirasi dari kuliner asal India dan Hongaria yakni goulash. Tetapi masyarakat Minangkabau melakukan proses kebudayaan dengan mengubah teknik produksi makanan tersebut. Dikutip dari wikipedia goulash lebih basah dan kebanyakan berbahan dasar babi sedang di India tidak berbahan dasar daging sapi (karena haram dalam perspektif hindu) maka rendang dibuat lebih kering dan berbahan dasar daging sapi. Rendang adalah produk hasil proses kebudayaan.

Tak jauh berbeda seperti yang diungkapkan dalam liputan tirto.id berjudul Apa Itu Akulturasi dalam Makanan dan Contohnya di Indonesia? ketika Meng Bo menemukan bakso. Bak yang bermakna babi dan So yang berarti makanan. Ketika itu ibu Meng Bo tak mampu lagi memakan daging karena umurnya yang sudah tua, sehingga Meng Bo melakukan inovasi dengan menumbuk daging tersebut dan membentuknya menjadi bulatan-bulatan lalu direbus.

Berkat proses kebudayaan tersebut, ibu Meng Bo dapat menikmati daging (babi) dengan cara berbeda. Dan hingga dewasa ini bakso menjadi salah satu kuliner yang amat popular meskipun telah melewati proses kebudayaan yang lain di mana bahan dasarnya tidak hanya babi, tetapi juga dari sapi, ayam, ikan dan lain-lain.

Bahkan beberapa kuliner yang lain, seperti bakmi, bakpau dan lumpia yang pada awalnya adalah produk olahan kuliner yang berbahan dasar babi kini telah melalui berbagai proses kebudayaan dan menggunakan daging yang lain sebagai bahan pelengkapnya. Seperti yang telah saya jelaskan di atas bahwa makanan adalah produk budaya dan kebudayaan akan melewati proses, salah satunya akulturasi.

Mengalihkan Kritik

Ketimbang "ribut" perihal babi yang dijadikan rendang, mari kita alihkan pikiran bagaimana menjawab persoalan hilangnya eksistensi makanan tradisional akibat terjadinya suatu proses invasi kebudayaan yang didukung negara? Bukankah hal tersebut adalah upaya penghancuran suatu kebudayaan?

Hari ini kita bisa melihat hasil yang dituai dari kebijakan swasembada pangan di era orde baru (meskipun masih berlangsung hingga hari ini). Bagaimana ketika itu negara berusaha menyeragamkan pangan di seluruh antero negeri menjadi beras. Masyarakat timur, khususnya Papua yang secara budaya tidak mengonsumsi beras, hari ini harus menyaksikan tumbangnya pohon sagu satu persatu untuk dijadikan sawah.

Negara justru hadir hanya untuk memastikan jumlah sawah terus bertambah (MIFEE). Akankah pemerintah rela turun langsung ke Papua untuk melindungi kuliner khas Papua (sagu) tersebut seperti yang dicontohkan Gubernur Jawa Timur? Akankah para anggota DPR yang terhormat tersebut bersuara? Akankah para petinggi MUI meminta polisi untuk menangkap para penebang sagu tersebut? Apakah sagu perlu diberi label halal agar menjadi perhatian "umat"?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun