Pada awalnya, umat Islam yang berasal dari keturunan Ibrahim tersebut hidup secara nomaden sebagai peternak. Karena pola hidupnya tersebutlah membuat para peternak memilih hewan yang paling mudah diandalkan dalam bepergian. Sapi, kambing dan domba memenuhi kriteria tersebut, sedangkan babi tidak.
Penyebab babi tidak masuk kedalam kriteria adalah karena kebutuhan makanan hewan tersebut. Babi adalah omnivora layaknya sapi, kambing dan domba. Tetapi kebutuhan gizinya hanya dapat dipenuhi oleh umbi-umbian, kacang-kacangan dan buah-buahan, sama seperti yang dikonsumsi oleh manusia. Melihat faktor ekologis (gersang) yang tak memadai tersebut, memelihara babi adalah sama saja dengan mempersulit manusia itu sendiri.
Selain itu berdasarkan penelitian  L.E. Mount dari Agricultural Council Institute of Animal Psychology di Cambridge menemukan bahwa babi dewasa akan mati jika terpapar oleh sinar matahari secara langsung dengan suhu udara di atas 37 derajat celcius. Iklim gurun tentunya sangat tidak cocok untuk keberlangsungan hidup babi.
Penelitian Marvin tersebut menunjukkan bahwa dibalik larangan ilahiah terhadap babi, terdapat basis ekologis dan sosiologis yang bertujuan melindungi agar siklus mata rantai kehidupan yang berlangsung di ekosistem gurun/padang pasir dapat terus seimbang. Yang pada akhirnya akan melindungi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Lalu, mengapa di beberapa tempat, terkhusus Indonesia, mengonsumsi babi justru adalah bagian dari tradisi kebudayaan? Tentu jika berdasarkan tesis Marvin di atas maka hal tersebut memiliki basis ekologis dan sosiologisnya masing-masing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI