Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Perspektif Keharaman Babi dalam Tinjauan Antropologi: Analisis Tesis Marvin Harris

15 Juni 2022   03:22 Diperbarui: 15 Juni 2022   03:39 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika berbicara terkait babi, dalam kacamata Islam hampir tak ada lagi perdebatan mengenai status hukum hewan yang satu ini. Dalam surat An Nahl ayat 115 menyebutkan yang kurang lebih artinya seperti ini "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; 

tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(Q.S. An Nahl: 115)

Secara dzat hewan ini masuk ke dalam kategori haram dan dilarang untuk dijadikan bahan konsumsi, kecuali di dalam keadaan yang begitu darurat. Pertanyaan terkait mengapa hewan tersebut haram tak pernah mendapat diskursus yang memadai di dalam wacana perdebatan publik secara serius (sepertinya memang tak pernah ada). Tetapi apakah status keharaman hewan tersebut memang tak layak dipertanyakan?

Buku karya Antropolog asal Amerika Serikat Marvin Harris yang berjudul Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir sepertinya menjadi salah satu karya terbaik yang berusaha meneliti perihal status keharaman babi dalam agama Islam (babi juga haram dalam agama Yahudi). 

Dalam proses penelusurannya tersebut ditemukan adanya alasan yang berkembang dalam masyarakat bahwa babi itu adalah hewan yang kotor karena suka berkubang dalam air kencingnya sendiri dan pemakan kotoran manusia. Tetapi penjelasan tersebut nampaknya tak memadai.

Hal ini disebabkan, hewan lain seperti sapi atau kambing juga akan melakukan hal yang sama apabila ditempatkan di dalam sebuah kandang dalam jangka waktu yang lama. Mereka akan berkubang di dalam kotoran dan air kencingnya dan apabila tak ada makanan mereka akan memakan apa saja termasuk kotoran manusia.

Lalu dalam penelurusan Marvin berikutnya membawa dirinya bertemu dengan penjelasan Moses Maimonides seorang dokter istana Salahuddin pada abad XII di Kairo, Mesir. Moses menjelaskan perihal keharaman babi dari perspektif medis, bahwa babi mengandung penyakit yang berbahaya apabila dikonsumsi oleh masyarakat. 

Kemudian penjelasannya itu diperkuat oleh penemuan di abad 19 di mana dalam daging babi yang dimasak kurang matang ditemukan cacing pita yang tentu berbahaya bagi kesehatan manusia.

Tetapi penjelasan tersebut bagi Marvin masih kurang kuat dan memiliki kontradiksi ilimiahnya. Sebab hewan-hewan lain yang dalam kaca mata Islam dianggap halal seperti sapi dan kambing juga dapat membawa penyakit yang berbahaya bagi manusia. Di dalam daging kambing mengandung bakteri Brucellosis melitensis sedang di dalam daging sapi mengandung virus yang lebih berbahaya yaitu Antraks dan dapat menular ke manusia dalam waktu cepat.

Di tengah kebuntuan tersebut, Marvin akhirnya menemukan sebuah tesis yang amat menarik. Menurutnya alasan ilahiah pelarangan hewan tersebut memiliki akar sosiologis dan ekologis yang kuat. Sebab, tempat kelahiran agama Islam yaitu berada di wilayah padang pasir yang gersang dan berada di antara lembah sungai Mesopotamia dan Mesir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun