Mohon tunggu...
Rob Roy
Rob Roy Mohon Tunggu... profesional -

Dharma Eva Hato Hanti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golput

30 Maret 2014   16:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Just because you do not take an interest in politics, doesn’t mean politics won’t take an interest in you.” (Pericles)

Prosentase Golput pada pemilu 1971, ketika Golput dicetuskan dan dikampanyekan, adalah sebesar 6,67%. Di Pemilu 1977 Golput sebesar 8,40% dan berturut-turut 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pileg 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II). Kemudian di Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71% sehingga jumlah Golput sebesar 29%. Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber, jumlah Golput pada Pilpres 2009 sebesar 40%. (Wikipedia Indonesia).

Prosentase Golput Dalam Tahun Pemilu

Kenaikan Golput cukup signifikan sejak Pemilu 1987 sampai 1999, dan meningkat tajam pada Pileg 2004 dan 2009. Sedangkan di 2 Pileg dan Pilpres terakhir jumlah Golput menjadi seperti “selera salah satu mie instan” yang makin dinikmati. Tercatat dalam sejarah bahwa kedua Pilpres tersebut dimenangkan oleh SBY.

Kilas Balik 2004-2009

2004. Profil SBY yang santun dengan pembawaan yang tenang lagi gagah, mampu membius masyarakat calon pemilih. Aku teringat ketika debat kontestan di TV, betapa banyak pemirsa yang setia menonton. “Ini baru Presiden, ini Presiden baru”, begitulah celoteh beberapa penikmat acara tersebut. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, incumbent Megawati yang merupakan lawan potensial SBY harus melempangkan jalan ke kursi RI 1 buat SBY walaupun harus melewati 2 putaran.

2009. Incumbent SBY bertarung kembali. Kali ini yang ribut adalah tim hore dengan menampilkan berbagai prestasi dan capaian selama ini. Sosok yang santun, tenang dan gagah tidak lagi dijual karena bukan hal baru lagi. Megawati pun turun gelanggang dengan menggandeng Prabowo, seorang tokoh yang tak kalah pamor. Dengan yakinnya SBY menggandeng Boediono, tokoh lain yang dinilai kurang bergaung di dunia politik. Kemudian dengan jargon sakti “cukup satu putaran”, SBY mampu membuktikan bahwa memang dialah yang paling diingini pemilih. Santun, tenang dan gagah.

Di sisi lain, ternyata jumlah Golput Pileg pada 2 periode itu tercatat sebagai tertinggi dalam sejarah. Sementara Golput di Pilpres menunjukkan peningkatan tajam (dari 23,47% ke 24,95% dan menjadi 40%). Inilah anomali politik. Lantas bagaimana di tahun 2014 ini?

Sekilas 2014

Banyak yang memprediksi bahwa mandat Megawati kepada JKW mampu memancing para Golput berubah sikap. Salah satu tolok ukurnya adalah sosok JKW disukai masyarakat sebagaimana hasil-hasil survai selama ini. Sederhana, santun, tak banyak bicara, adalah sebagian daya tarik seorang JKW. Terlebih juga JKW tetap tenang di tengah-tengah serangan hitam dari berbagai penjuru. Bisa-bisa simpati semakin mengalir saja. Bahkan jargon “cukup satu putaran” mulai ditiup. Bagaimana pula dengan Golput? Golput adalah pemegang hak memilih yang rasional. Mereka memutuskan Golput karena pertimbangan yang mereka yakini benar. Jadi aku berasumsi bahwa dengan posisi itu mereka justru tahu politik. Kemungkinan beberapa hal ini menjadi pertimbangan mereka untuk memutuskan. Kesatu, penetapan siapa pendamping JKW. Kedua, siapa saja pasangan Capres-Cawapres definitif lainnya sebagai alternatif pilihan. Bagaimana pun pasangan yang berlaga nanti dinilai cukup memiliki potensi untuk menjadikan Indonesia baru. Ya, baru!

Warga Negara Bernama Golput

Tidak semua warga negara tahu apalagi berminat (di) politik. Menyitir kalimat Pericles (negarawan jendral Athena, 490 – 429 BC) di atas, suka tidak suka minat tidak minat, siapapun warga negara tetap akan mengalami dan menjalani kebijakan politik para pemimpinnya. Golput hanya sehari-dua hari dalam 5 tahun kehidupan bernegara. Sebelum dan setelah  golput mereka tetaplah warga negara yang sama dengan lainnya. Mereka memang tidak memilih partai atau pun pemimpinnya, tapi mereka tidak bisa menghindari setiap kebijakan dan keputusan politik dari mereka yang terpilih. Sama juga dengan pemilih yang pilihannya kalah. Mampukah Golput berkurang atau malah semakin meningkat, mari kita tunggu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun