Saat tengah malam, ketika banyak atlet sedang tertidur lelap berbalutkan kemenangan setelah mengikuti kejuaraan nasional, saya lebih memilih untuk keluar dari Hotel Atlet Century Park, kemudian seorang diri berjalan kaki mengitari komplek Senayan, menyusuri jalanan yang terbentang mulai dari Istora Mandiri, Plaza Semanggi, Balai Sidang Jakarta Convention Center, Hotel Mulia, hingga kembali lagi menuju Hotel Atlet Century Park.
Dalam setiap ayunan kaki, saya berbincang dengan diri sendiri tentang kesiapan setelah hari berganti harus siap untuk menapaki babak baru dalam kehidupan yang tampak berat dilalui. Setelah tiga bulan berlalu sejak malam itu, pada akhir Januari 2007 dalam sebuah anjungan di Bandara Juanda, saya mengambil posisi berdiri untuk berdoa pada tepian kaca sembari memandang jalur lintasan pesawat, dan pesawat-pesawat yang parkir di sekitarnya (kisah selengkapnya: bit.ly/46B5ZAN).
Kini, enam belas tahun telah berlalu, semua proses keras sebagai anak muda yang bertumbuh dan dibentuk dari setiap benturan dan pergumulan telah terlalui, termasuk telah tuntas dengan diri sendiri untuk menghitung berapa kali kesempatan naik pesawat---lebih tepatnya sudah bosan menghitung berapa kali naik pesawat, setelah melampaui tiga puluh kali kesempatan naik pesawat, baik yang dibiayai maupun yang berbiaya mandiri. Wkwkwkwk
Salah satu proses yang indah ini tak akan pernah terlupakan, bahkan sejak sebelas tahun yang lalu dengan sengaja telah menuliskan kisahnya: bit.ly/46B5ZAN ---dengan harapan akan terbaca oleh generasi berikutnya, setidaknya darah daging kami sendiri---sebagai penanda pernah berada pada titik terendah, sekaligus penanda titik balik sebagai pribadi yang terus belajar dan bertumbuh supaya menjadi lebih tangguh.
Semua ini boleh terjadi hanya karena kemurahan Sang Mulia, bukan karena jasa dan kelayakan yang telah dilakukan sebagai pribadi, sehingga dengan mengambil momen yang serupa dengan enam belas tahun yang lalu. Saat tengah malam, ketika banyak atlet dan ofisial dari Kontingen Indonesia sedang tertidur lelap berbalutkan kemenangan setelah mengikuti Special Olympics World Games (SOWG) 2023 di Jerman, saya lebih memilih untuk keluar dari Hotel Park Inn by Radisson, kemudian seorang diri berjalan kaki mengitari kawasan Alexanderplatz, Berlin---dalam kesempatan ini saya sempat membelikan mainan mobil untuk buah tangan bagi buah hati. Namun, bukan seperti enam belas tahun yang lalu menyusuri jalanan dengan hati yang hancur, melainkan dengan hati yang dipenuhi rasa bersyukur sebagai bukti nyata ketulusan kepada Sang Mulia, dan rasa bersyukur ini sendiri merupakan bentuk anugerah penyangkalan diri.
Dengan bersyukur, saya pun hanyut dalam anugerah penyangkalan diri saat malam terakhir berada di Berlin (26/6/2023), meski seharian telah menempuh perjalanan wisata ke Praha, Republik Ceko yang sangat melelahkan sekaligus menyenangkan---kepulangan kami tertunda sehari dari yang seharusnya (26/6/2023), karena kehabisan tiket penerbangan dari Berlin ke Jakarta, tentu kesempatan ini tak disia-siakan begitu saja oleh Pengurus Pusat Special Olympics Indonesia, pengalaman yang tak terlupakan coba diberikan kepada seluruh bagian Kontingen Indonesia yang sebagian besar baru pertama kali ke luar negeri.
Momen penyangkalan diri ini terjadi saat duduk diam seorang diri di kawasan Alexanderplatz, Berlin. Dengan penuh kesungguhan hati, saya mencopot mahkota sendiri dan meletakannya di atas kepala Sang Mulia, karena semua yang terjadi dalam kehidupan ini, termasuk salah satunya dalam keterlibatan saya menjadi bagian dari Kontingen Indonesia di Jerman, sepenuhnya murni bukan karena jasa dan kelayakan atas apa pun yang telah saya lakukan, melainkan hanya karena anugerah, dan anugerah itu pula yang memampukan diri saya untuk memberikan supremasi (kekuasaan/penghormatan tertinggi) kepada Sang Mulia di dalam hati, pikiran, hasrat, dan perkataan.
Saat tengah malam (26/6/2023) hingga berganti hari (27/6/2023), saya bagaikan seekor burung kecil, burung kecil yang sedang meneguk air minum, dan setiap teguk air tidak pernah terlewatkan untuk mengangkat kepala ke atas seolah sedang bersyukur. Tengah malam itu, saat sedang berada di belahan benua lain yang tidak pernah saya pijak sebelumnya, saya memang sedang menaikan syukur atas setiap tetes anugerah-Nya---tak ada doa yang saya naikan dalam momen ini, selain hanya bersyukur dan memuji kebesaran-Nya, karena memang jauh lebih perlu memuji-Nya daripada berdoa, karena kelak saat di surga tak akan ada lagi doa-doa, selain puji-pujian belaka.
Nilai-nilai yang ada ini begitu mulia, bisa menjadi bagian dari Kontingen Indonesia tak terukur oleh materi apa pun di dunia. Terlebih menjadi bagian dari Kontingen Indonesia bukan sekadar menjadi penumpang yang paling rewel saat keadaan tidak sesuai dengan harapan, bukan pula menjadi penumpang yang haus dahaga akan kepopuleran, bahkan bukan menjadi penumpang gelap yang miskin kontribusi, namun menjadi yang paling lantang berteriak mengharapkan bonus yang bisa didapatkan.
Mendapatkan anugerah demi anugerah dalam kehidupan merupakan kesempatan yang mulia dari Sang Mulia, tidak ada cara lain untuk mendapatkan lebih banyak anugerah selain menjadi pribadi yang bersyukur atas setiap anugerah sekecil apa pun. Dengan membuka mulut lebar-lebar untuk memuji Sang Mulia, hati kita akan dipenuhi dengan banyak anugerah. Demikian juga sebaliknya, pribadi yang tidak bersyukur akan menyumbat telinga dan menutup tangan Sang Mulia, serta menjauhkan hati Sang Mulia yang beranugerah.