Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Leluhur Datang Berkunjung

2 Desember 2022   17:41 Diperbarui: 3 Desember 2022   22:39 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang hari saat akhir pekan sepulang kerja (3/9/2022), saya terbangun setelah tanpa sengaja tidur. Saya terbangun dalam keadaan batin seolah habis dikunjungi oleh mendiang Papa, perasaan yang sama seperti yang saya rasakan saat Papa masih hidup datang mengunjungi kediaman kami. Perasaan ini terus bertahan hingga petang hari (3/9/2022), saya bisa memastikan bahwa perasaan ini bukan karena mimpi saat sedang tertidur, tetapi keadaan batin yang terjadi secara natural, bebas dari pengaruh mimpi.

Keesokan harinya (4/9/2022), sepanjang hari saya terbayang wajah mendiang Papa, hingga sehari kemudian (5/9/2022) saat saya sedang mengajar ada dorongan yang kuat dalam hati untuk mengetahui kapan waktunya peringatan seribu hari kepergian mendiang Papa. Seusai mengajar, saya bergegas untuk membuka aplikasi penghitungan hari peringatan orang meninggal, dan betapa terkejutnya saat menyaksikan dalam aplikasi bahwa ternyata peringatan seribu hari kepergian mendiang Papa jatuh pada tanggal 27 Agustus 2022.

Tanpa berpikir panjang, dan menunggu waktu yang lama, saat itu juga saya menelepon Mama menyampaikan permohonan izin untuk melakukan peringatan atas seribu hari kepergian Papa dengan memesankan sejumlah nasi kotak dan makanan ringan guna dibagikan kepada rekan kerja saya, dan sebagian tetangga di rumah Mama---rumah yang ditinggali pula oleh Papa hingga akhir hayat---pada tanggal 7 September 2022, karena untuk proses pengerjaan nasi kotak dan makanan ringan membutuhkan waktu sehari (6/9/2022).

Semula Mama sempat menolak dengan halus permohonan izin tersebut, karena Mama telah melakukan penghitungan untuk memperingati kepergian Papa pada tiga tahun kepergiannya (2/12/2022)---menggunakan penghitungan tahun, bukan penghitungan hari. Namun, karena saya sedikit memaksa dalam menyampaikan permohonan yang disertai sejumlah pertimbangan, maka Mama pun merestui permohonan saya. Sebenarnya tanpa Mama ketahui, langkah ini saya tempuh karena ada alasan yang kuat di baliknya, salah satunya karena saya teringat dengan pertanyaan Mama saat permulaan Papa meninggal: "Kalau nanti Mama meninggal, siapa ya yang akan mengadakan selamatan (perjamuan makan untuk memperingati peristiwa) untuk Mama?" Dengan saya menempuh langkah ini, Mama dapat menyaksikan jawaban atas pertanyaannya selagi beliau masih hidup, bahwa kelak anak-anaknya yang akan mengadakan selamatan untuk Mama.

Alasan kuat lainnya saya mengadakan selamatan, bukan hanya sebagai bentuk penghormatan dan penghiburan kepada Mama yang masih hidup, akan tetapi sebagai bentuk penghormatan pula kepada mendiang Papa yang telah datang mengunjungi saya selama tiga hari berturut-turut (3-5/9/2022), karena kali ini saya harus menanggalkan keyakinan yang menyatakan bahwa dunia antara orang hidup dengan orang mati telah terpisah. Saya memiliki keyakinan yang kuat bahwa mendiang Papa telah hadir mengunjungi saya, bahkan bukan hanya mengunjungi saya seorang diri, Papa yang kami muliakan, Papa yang kami luhurkan, telah datang berkunjung pula kepada keturunannya yang lain.

Setelah merasakan mendiang Papa yang datang berkunjung, benak saya pun melambung jauh pada pemahaman masyarakat pada masa kini tentang roh para leluhur di Pulau Nusalaut (asal leluhur kami) sesuai yang tertuang dalam buku berjudul Teologi Laut: Mendialogkan Makna Laut dalam Keluaran 14-15 Berdasarkan Kosmologi Masyarakat Titawaai di Pulau Nusalaut -- Maluku dengan Kosmologi Israel Kuno (catatan terkait: https://bit.ly/3SP4hWx). Dalam wawancara---hanya saya kutip sebagian---dengan beberapa informan tampak secara jelas bahwa Lesinusa Amalatu bukan sekadar nama teon atau nama kehormatan, melainkan juga merupakan sebuah falsafah hidup.

AT sebagai salah satu informan menceritakan bahwa ketika perang, anak-anak negeri memanggil Lesinusa Amalatu (roh para leluhur) untuk menolong mereka, dan panggilan itu menyebabkan para leluhur datang, para leluhur itu adalah orang-orang besar seperti serdadu-serdadu. Jadi menurutnya Lesinusa Amalatu adalah sesuatu yang hidup, yang menyerupai orang-orang berbadan besar dan hadir untuk menolong, baik ketika dipanggil atau diingat oleh keturunannya untuk ditolong dalam situasi tertentu. Di dalamnya juga tercermin pengakuan bahwa roh para leluhur adalah sesuatu yang tetap hidup dan peka terhadap pergumulan keturunannya. Bahkan menurut AT, para leluhur tidak hanya hadir seperti orang-orang berbadan besar, tetapi juga dalam bentuk ikan lumba-lumba yang menghalangi rencana para perusuh yang menggunakan KM. Feri untuk menyerang Pulau Nusalaut pada masa konflik 1999.

Dalam kesempatan lain, ST (informan lainnya) mengatakan bahwa saat melihat ke arah matahari naik ketika berhadapan dengan situasi perkelahian, secara tidak sadar telah menghadirkan tete nene moyang (roh para leluhur) yang datang untuk melindungi anak cucunya, hal ini dialami ketika berhadapan dengan kerusuhan 1999 di Kei. Namun, sekalipun leluhur bisa menolong mereka dalam situasi tertentu, tetapi pemanggilannya harus seizin Tuhan, dan setelah itu pun harus dikembalikan melalui doa kepada Tuhan, jika tidak dikembalikan, maka dampaknya akan fatal.

Menurut YH (informan lainnya), konsekuensi dengan dampak fatal itu diperoleh karena sebagai anak cucu mereka tidak menghormati leluhurnya, jika para leluhur  itu telah menolong mereka, harusnya dikembalikan lagi dan bukannya dibiarkan begitu saja. Jadi, bagi masyarakat Pulau Nusalaut, roh-roh leluhur tidak hanya hidup, tetapi keberadaannya juga dalam kontrol Tuhan sebagai pemiliknya. Mereka tidak bebas, tetapi terikat dengan kehendak-Nya. Mereka bergerak untuk melakukan sesuatu jika diizinkan oleh Tuhan.

Dengan menggunakan titik pijak pada falsafah hidup masyarakat Pulau Nusalaut tentang keberadaan roh para leluhur, maka bertepatan dengan tiga tahun kepergian Papa menuju keabadian (2/12/2019 -- 2/12/2022) dapat memberikan penghiburan tersendiri, penghiburan yang memberikan pandangan bahwa Papa tetap ada dekat bersama dengan kami, setidaknya falsafah-falsafah hidup yang baik yang telah Papa tanamkan kepada kami tetap hidup dan akan terus kami hidupi hingga kesudahan.


Kota Surabaya, 2 Desember 2022

RAS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun