Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kematian adalah Mukjizat

15 Januari 2020   16:07 Diperbarui: 15 Januari 2020   16:40 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak mudah melepaskan bingkai tradisi yang sudah menyatu dalam kehidupan, saat orang lain yang mengalami ditinggal pergi oleh seseorang, mungkin dengan mudah kita dapat menggurui bahwa kehidupan antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup telah terpisah, sehingga tak ada hubungan lagi antara satu dengan yang lain (kontak satu sama lain).

Namun, saat kita sendiri yang mengalami ditinggal pergi oleh seseorang yang sangat kita cintai, mungkin kita akan berharap arwahnya dapat menyapa kita dalam rentang waktu empat puluh hari sejak hari kematian, karena dalam tradisi Jawa dan dalam banyak tradisi lain meyakini bahwa arwah dari seseorang yang telah meninggal dalam kurun waktu tersebut masih berada di sekitar orang-orang terdekatnya (berada di dalam rumah, dll.).

Perasaan seperti inilah yang saya rasakan selama empat puluh hari sejak kepergian Papa menuju keabadian (2/12/2019), setiap saat saya menantikan arwah Papa menyapa saya, minimal akan disapa melalui mimpi saat saya sedang tidur---bermimpi merupakan sesuatu yang langka untuk bisa saya alami, karena pengaruh dari kelelahan dan durasi tidur yang singkat, sehingga selalu tertidur pulas.

Meski sebenarnya setelah tiga hari kepergian Papa, untuk pertama kalinya ada kupu-kupu---kupu-kupu dalam tradisi Jawa menandakan akan datang tamu, dalam konteks kematian menandakan ada arwah yang datang---masuk ke dalam kamar kami yang tertutup rapat karena berpendingin udara (setelah kami perhatikan dari mana datangnya kupu-kupu itu, ternyata daun jendela kami yang berada di balik gorden sedikit terbuka), kupu-kupu dengan jenis serupa ini muncul beberapa kali pula dalam berbagai kesempatan, selain itu buah hati kami pun beberapa kali tampak berbincang dan bermain sendiri seolah sedang bersama dengan Opanya, tetapi saya masih belum merasakan disapa secara pribadi oleh arwah Papa.

Hingga tepat sebulan (2/1/2020) setelah kepergian Papa, saat menjelang subuh, saya terbangun oleh suara pin boling (mainan milik buah hati kami) yang menggelinding di lantai dapur---saya telah mencoba menggelindingkan pin boling ini dengan kekuatan yang mungkin dimiliki oleh kecoak atau cecak, untuk memperkirakan apakah dua hewan itu yang menyebabkan pin boling menggelinding, dan sepertinya dua hewan itu terlalu lemah untuk bisa menggelindingkannya, kemungkinan yang bisa menggelindingkan hanya tikus, tetapi bisa kami pastikan tidak ada tikus di dalam rumah kami, karena setiap lubang yang memungkinkan untuk tikus bisa masuk telah kami tutup rapat.

Tak lama setelahnya, istri pun menyusul saya bangun, dan menghampiri saya yang sedang mempersiapkan diri untuk hari pertama masuk kerja setelah melewati libur tahun baru. Istri saya mengawali harinya dengan menceritakan mimpi tentang Papa yang baru saja diawalinya, saya mendengarkan dengan saksama, tanpa menceritakan lebih dulu tentang suara pin boling yang menggelinding.

Dalam mimpi itu, Papa terlihat berada di tepian sungai sedang membantu mencari korban banjir, dan di sekitar Papa terdapat beberapa orang dari keluarga korban yang sedang menangis, saat istri saya berusaha mendekati Papa, Papa melarang dari kejauhan sembari berkata: "Jangan ke sini, kamu di situ aja, Opa lagi (bantu) cari orang."

Usai istri saya menceritakan mimpinya, saya pun berganti menceritakan tentang pin boling yang menggelinding---bersamaan dengan kesempatan saya menceritakan inilah, saya sembari menguji menggelindingkan pin boling. Dengan penuh kelegaan, meski masih menjadi misteri, kala itu saya menyimpulkan bahwa pin boling yang menggelinding tadi merupakan sapaan dari arwah Papa seperti yang saya harapkan, dan sapaan dari arwah Papa itu pun terkonfirmasi melalui mimpi istri saya. Kami berdua telah disapa oleh arwah Papa melalui cara yang berbeda, tetapi saling melengkapi.

Misteri selanjutnya tak berhenti sampai di situ, mimpi yang istri saya alami seolah mengonfirmasi pula peristiwa yang terjadi selama bulan Desember 2019. Sejak kepergian Papa menuju keabadian (2/12/2019), sebanyak tiga orang (dua laki-laki dan satu perempuan) yang berada dalam satu gang di rumah Papa, secara bergantian menyusul Papa pergi menuju keabadian.

Orang pertama yang menyusul Papa, letak rumahnya terpisahkan lima rumah yang berseberangan ke arah kiri dari rumah Papa. Kemudian orang kedua yang menyusul Papa, letak rumahnya terpisahkan dua rumah di samping kanan dari rumah Papa. Orang pertama dan kedua ini merupakan bapak-bapak yang telah lama sakit, sempat pula dirawat inap di rumah sakit, tetapi pada saat meninggal telah dirawat jalan di rumahnya masing-masing.

Selanjutnya orang ketiga yang menyusul Papa, letak rumahnya terpisahkan tiga rumah di samping kiri dari rumah Papa---sebenarnya ada satu orang lagi sebelum orang yang ketiga ini (jadi totalnya ada empat orang yang menyusul Papa), seorang bapak yang meninggal karena sakit di rumah anaknya, tetapi setelah meninggal dibawa pulang untuk disemayamkan, serta dimakamkan di tempat pemakaman dekat rumah Papa.

Orang ketiga yang menyusul Papa menuju keabadian ini merupakan seorang ibu yang telah sekian lama berjuang melawan kanker payudara. Pada saat menyelawat dan melihat jenazah Papa di dalam peti, ibu tersebut sempat memberikan kesaksian dengan berkata: "Enak ya meninggalnya Om (panggilan akrab Papa saya di rumah yaitu Om Max), tanpa sakit apa pun, seperti saya ini terus-terusan kemoterapi, sampai rambut rontok semua, tapi nggak sembuh-sembuh."

Tanpa perlu menunggu lebih lama lagi setelah memberikan kesaksian, seorang ibu ini pun menutup bulan Desember 2019, sekaligus menutup perjalanan dari para tetangga yang menyusul Papa menuju keabadian. Saat satu per satu tetangga menuju keabadian, tetangga sekitar yang lain kerap menyampaikan bercandaan sebagai penghiburan untuk Mama: "Orang-orang yang meninggal ini diajak semuanya sama Om, dan Om sebagai komandannya, karena yang paling sehat sendiri dibanding yang lain."

Pernyataan yang serupa sempat tersampaikan pula dari seorang bapak yang letak rumahnya terpisahkan satu rumah di samping kanan dari rumah Papa, namanya Om Yolik, seorang bapak yang kesehariannya duduk di kursi roda---berdasarkan penuturan Mama, saat pagi hari sebelum Papa meninggal, Papa sempat mengunjungi Om Yolik ini, mengajak bercanda supaya jangan terus di dalam rumah, lebih baik keluar untuk berjemur---dengan penuh pengharapan seolah ingin segera terbebas dari rasa sakit yang dialaminya sempat menyampaikan: "Om Max kok nggak ngajak aku sekalian ya!"

Kini masa empat puluh hari telah berlalu (11/1/2020). Puncak dari masa empat puluh hari ini ditandai oleh Mama dengan mengkijing kuburan Papa, sekaligus mempersiapkan kijing untuk Mama saat kelak menyusul Papa menuju keabadian. Mama menginginkan berada dalam satu liang lahad bersama dengan Papa, oleh sebab itu kijing yang dipersiapkan pun menggunakan desain dua tingkat.

Saya pribadi beserta istri dan buah hati, sehari setelahnya (12/1/2020) menandai berakhirnya masa empat puluh hari dengan mengunjungi makam Papa, mengucapkan selamat tinggal untuk yang kedua kalinya, setelah selamat tinggal yang pertama telah saya ucapkan saat akan menutup peti jenazah dengan mencium kuat-kuat wajah Papa.

Saat mengunjungi makam Papa ini, saya dengan sengaja menggunakan kaos berwarna hitam yang terakhir kali saya kenakan saat foto bersama Papa dalam kesempatan libur lebaran kami yang terakhir (kumpulan foto selengkapnya: bit.ly/2LlLlzj), tetapi kaos berwarna hitam itu tak tampak dalam foto, karena tersembunyi di balik jaket yang saya kenakan, dan tentu ada alasan kuat yang saya miliki untuk mengenakan jaket pada saat itu---alasan ini tak diketahui oleh siapa pun, istri saya pun baru mengetahuinya setelah kepergian Papa.

Alasan kuat yang saya miliki yakni pada lokasi kami akan mengambil foto terdapat banyak bunga, saat saya mengenakan kaos warna hitam, maka bunga-bunga yang berjumpa dengan warna hitam seolah (identik) sedang menunjukan kesan sedang berduka, teristimewa saat itu saya akan berfoto bersama dengan Papa, pikiran saya pun mengembara jauh tertuju kepada Papa. Itu sebabnya, saya memilih untuk mengenakan jaket, meski saat itu sama sekali tak terasa dingin, terbukti dari yang lain tak ada yang mengenakan jaket.

Pada akhirnya, sebelum berganti tahun, duka itu pun tersingkapkan. Sekeras mungkin saya berusaha menyangkal pikiran yang saya miliki tentang ketakutan kehilangan Papa untuk selamanya, hingga keluar melalui tindakan nyata yang terlihat dari usaha menyelubungi kaos warna hitam dengan jaket, tetapi pada akhirnya apa yang saya takutkan itulah yang terjadi.

Masa empat puluh hari yang sangat berarti telah terlalui, saya selalu memiliki keyakinan bahwa tak ada peristiwa yang terjadi karena suatu kebetulan, termasuk untuk semua peristiwa yang terjadi selama empat puluh hari bukanlah suatu kebetulan, hingga mampu memberikan kekuatan tersendiri.

Melalui berbagai peristiwa yang terjadi selama empat puluh hari sejak kepergian Papa telah menunjukan bahwa kematian adalah mukjizat. Banyak pihak yang selalu menginginkan senantiasa dalam keadaan sehat, dan Papa hingga waktu kepergiannya menuju keabadian tetap dalam keadaan sehat.

Beribu pertanyaan yang saya miliki karena tak menerimakan kepergian Papa, terjawab melalui sebuah pemahaman tentang mukjizat. Bukan duka yang seharusnya dimiliki, melainkan ucapan syukur atas mukjizat yang sebenarnya diinginkan oleh banyak pihak telah terjadi.

Begitu pula sebaliknya, banyak pihak yang dalam kesakitan menginginkan sebuah penyelesaian melalui kesembuhan, kematian pun menjadi jawaban atas semua kesakitan yang telah dirasakan, dan saat kematian itu tiba, maka saat itulah mukjizat kesembuhan terjadi.

Kota Surabaya, 15 Januari 2020

RAS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun