Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kematian adalah Mukjizat

15 Januari 2020   16:07 Diperbarui: 15 Januari 2020   16:40 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batu Flower Garden, 28 Juni 2019

Orang ketiga yang menyusul Papa menuju keabadian ini merupakan seorang ibu yang telah sekian lama berjuang melawan kanker payudara. Pada saat menyelawat dan melihat jenazah Papa di dalam peti, ibu tersebut sempat memberikan kesaksian dengan berkata: "Enak ya meninggalnya Om (panggilan akrab Papa saya di rumah yaitu Om Max), tanpa sakit apa pun, seperti saya ini terus-terusan kemoterapi, sampai rambut rontok semua, tapi nggak sembuh-sembuh."

Tanpa perlu menunggu lebih lama lagi setelah memberikan kesaksian, seorang ibu ini pun menutup bulan Desember 2019, sekaligus menutup perjalanan dari para tetangga yang menyusul Papa menuju keabadian. Saat satu per satu tetangga menuju keabadian, tetangga sekitar yang lain kerap menyampaikan bercandaan sebagai penghiburan untuk Mama: "Orang-orang yang meninggal ini diajak semuanya sama Om, dan Om sebagai komandannya, karena yang paling sehat sendiri dibanding yang lain."

Pernyataan yang serupa sempat tersampaikan pula dari seorang bapak yang letak rumahnya terpisahkan satu rumah di samping kanan dari rumah Papa, namanya Om Yolik, seorang bapak yang kesehariannya duduk di kursi roda---berdasarkan penuturan Mama, saat pagi hari sebelum Papa meninggal, Papa sempat mengunjungi Om Yolik ini, mengajak bercanda supaya jangan terus di dalam rumah, lebih baik keluar untuk berjemur---dengan penuh pengharapan seolah ingin segera terbebas dari rasa sakit yang dialaminya sempat menyampaikan: "Om Max kok nggak ngajak aku sekalian ya!"

Kini masa empat puluh hari telah berlalu (11/1/2020). Puncak dari masa empat puluh hari ini ditandai oleh Mama dengan mengkijing kuburan Papa, sekaligus mempersiapkan kijing untuk Mama saat kelak menyusul Papa menuju keabadian. Mama menginginkan berada dalam satu liang lahad bersama dengan Papa, oleh sebab itu kijing yang dipersiapkan pun menggunakan desain dua tingkat.

Saya pribadi beserta istri dan buah hati, sehari setelahnya (12/1/2020) menandai berakhirnya masa empat puluh hari dengan mengunjungi makam Papa, mengucapkan selamat tinggal untuk yang kedua kalinya, setelah selamat tinggal yang pertama telah saya ucapkan saat akan menutup peti jenazah dengan mencium kuat-kuat wajah Papa.

Saat mengunjungi makam Papa ini, saya dengan sengaja menggunakan kaos berwarna hitam yang terakhir kali saya kenakan saat foto bersama Papa dalam kesempatan libur lebaran kami yang terakhir (kumpulan foto selengkapnya: bit.ly/2LlLlzj), tetapi kaos berwarna hitam itu tak tampak dalam foto, karena tersembunyi di balik jaket yang saya kenakan, dan tentu ada alasan kuat yang saya miliki untuk mengenakan jaket pada saat itu---alasan ini tak diketahui oleh siapa pun, istri saya pun baru mengetahuinya setelah kepergian Papa.

Alasan kuat yang saya miliki yakni pada lokasi kami akan mengambil foto terdapat banyak bunga, saat saya mengenakan kaos warna hitam, maka bunga-bunga yang berjumpa dengan warna hitam seolah (identik) sedang menunjukan kesan sedang berduka, teristimewa saat itu saya akan berfoto bersama dengan Papa, pikiran saya pun mengembara jauh tertuju kepada Papa. Itu sebabnya, saya memilih untuk mengenakan jaket, meski saat itu sama sekali tak terasa dingin, terbukti dari yang lain tak ada yang mengenakan jaket.

Pada akhirnya, sebelum berganti tahun, duka itu pun tersingkapkan. Sekeras mungkin saya berusaha menyangkal pikiran yang saya miliki tentang ketakutan kehilangan Papa untuk selamanya, hingga keluar melalui tindakan nyata yang terlihat dari usaha menyelubungi kaos warna hitam dengan jaket, tetapi pada akhirnya apa yang saya takutkan itulah yang terjadi.

Masa empat puluh hari yang sangat berarti telah terlalui, saya selalu memiliki keyakinan bahwa tak ada peristiwa yang terjadi karena suatu kebetulan, termasuk untuk semua peristiwa yang terjadi selama empat puluh hari bukanlah suatu kebetulan, hingga mampu memberikan kekuatan tersendiri.

Melalui berbagai peristiwa yang terjadi selama empat puluh hari sejak kepergian Papa telah menunjukan bahwa kematian adalah mukjizat. Banyak pihak yang selalu menginginkan senantiasa dalam keadaan sehat, dan Papa hingga waktu kepergiannya menuju keabadian tetap dalam keadaan sehat.

Beribu pertanyaan yang saya miliki karena tak menerimakan kepergian Papa, terjawab melalui sebuah pemahaman tentang mukjizat. Bukan duka yang seharusnya dimiliki, melainkan ucapan syukur atas mukjizat yang sebenarnya diinginkan oleh banyak pihak telah terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun