Cengkraman yang menghimpit itu selalu berhasil membuat saya bertahan. Saya benar-benar tak berdaya mengusirnya, sama halnya ketika saya tak berdaya mengusir "gelap" dalam hidup saya. Hanya dengan jalan memohon "terang" untuk datang, maka "gelap" akan terusir dengan sendirinya. Hingga suatu waktu saya memiliki keberdayaan menentukan pilihan, cengkraman yang menghimpit terlepas seketika, kewarasan mulai timbul dalam kehendak dan perasaan. Melalui kehendak dan perasaan itulah lahirlah keputusan yang memerdekakan.
Setelah empat hari dalam perenungan, saya menemukan jawaban dari apa yang saya alami di waktu yang lalu. Lepasnya diri dari cengkraman sandiwara yang menjijikan dan lahirnya keputusan yang memerdekakan, karena ada tangan Mama yang selalu terlipat untuk saya, karena ada air mata Mama yang menetes untuk saya. Doa dan air mata Mama-lah yang telah menyelamatkan. Sebelum-sebelumnya "spesifikasi" itu tak pernah sekalipun terungkapkan, Mama hanya menyimpannya dalam hati dan menaikannya dalam doa-doanya, pasti akan beda cerita bila Mama pernah menungkapkannya, karena alur ceritanya (saya) jadi memenuhi harapan Mama, bukan "karya keselamatan" yang sedang dikerjakan bagi saya.
Akhir kata, melalui kisah Monika dan Agustinus (dan sedikit kisah seorang Mama yang telah mengadopsi nama Agustinus untuk diletakan pada nama tengah saya), kiranya bisa menginspirasi setiap Ibu di manapun sedang berada untuk mendedikasikan doa dan air matanya bagi "keselamatan" anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H