Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mental yang Bo(b)rok?

17 Januari 2015   19:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

IP tanpa menatap mata saya, menundukan kepala dan menggerutu tidak jelas (berusaha membela dirinya), sembari memasukan data tagihan PDAM milik pria yang antri di belakang saya. Sementara dua pria yang antri di belakang saya hanya tertegun melihat kejadian yang ada. Saya pun memundurkan langkah kaki saya menjauh dari loket menuju tempat parkir yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari loket (kantor pos tersebut terletak di tepi jalan raya) dan berkata: “Apa karena saya naik motor (sambil menunjuk motor saya), dan orang barusan naik mobil (sambil menunjuk mobil yang masih ada di parkiran, entah orang tadi melihat kejadian tersebut dari dalam mobilnya atau tidak), lalu Ibu layani mereka gitu? Itu namanya pembedaan.”

Dengan jelas saya mendengar kilahan yang makin konyol dari IP tersebut (berkilah entah karena sadar kalau tindakannya salah, atau “isi hatinya” terbongkar, atau karena takut karena terkait dengan kelangsungan pekerjaannya): “Loh, nggak ada saya melakukan pembedaan, saya kan tadi bilang silakan menunggu, setelah saya layani pembayaran tagihan air ini, baru saya layani pengiriman suratnya.” Saya pun menyahutnya (tetap) dengan nada tinggi: “Ah, nggak ada tadi Ibu bilang seperti itu.” Saya pun menolak kilahannya yang makin konyol dengan kalimat selanjutnya: “Silakan lanjutkan pekerjaan Ibu, dan jangan ulangi hal ini sama yang lain.” Selesai mengucapkan kalimat tersebut, saya berusaha mengendalikan diri saya untuk tidak berbuat dosa dalam kemarahan saya dengan beranjak pergi. Seandainya saja pegawai tersebut bukan seorang wanita, mungkin saja saya bisa lepas kendali (berbuat dosa), minimal lepas kendalinya adalah memaki dengan kasar menggunakan makian khas Surabaya.

Kemarahan (emosi) saya dalam hal ini cukup beralasan, selama ini saya benar-benar muak menjumpai mentalitas semacam ini. Mental? Ya, mental. Saya tidak salah menulis kata mental di sini, mental yang dalam KBBI memiliki arti: bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Karena mentalitas semacam inilah, tanpa disadari bisa merusak banyak hal dalam diri kita sebagai makhluk sosial.

Dua minggu lalu pun, saya (ketika makan bersama dengan isteri) sempat menegur penjual soto ayam yang cukup terkenal di Kota Surabaya, yang menjadi langganan kami selama ini. Saat itu isteri sempat terkejut ketika saya datang menghampiri penjualnya, karena dipikir saya akan marah. Tak ada marah sama sekali dalam peristiwa tersebut, meski sebenarnya dalam hati cukup marah. Saya hanya berkata dalam bahasa Jawa kepada mereka (penjual dan pramusaji-nya): “Yak opo iki, aku wis teko ket mau, gak didoli-doli. Iku sing lagek teko, langsung didoli (Gimana nih, saya sudah datang dari tadi, nggak segera dilayani. Itu yang baru datang, langsung dilayani).

Mengapa saya menegur penjual tersebut? Karena beberapa kali sebelumnya saat kami makan di tempat tersebut, beberapa kali itu pula saya melihat kejadian yang menimpa kami, terjadi juga pada pembeli lainnya. Bahkan kala itu saya sempat mengingatkan kepada pembeli lain yang tidak segera dilayani (suami isteri yang duduknya di hadapan kami): “Pak, coba ingatkan penjualnya, yang baru berdatangan terus dilayani, sementara bapak yang dari tadi pesan, tidak segera dilayani.” Penjual dan pramusaji di tempat ini selalu membedakan pembeli berdasarkan warna kulit (maaf, fakta tersebut saya tulis tanpa tendensi membenci atau menyudutkan warna kulit tertentu, karena secara pribadi saya telah tuntas dengan isu SARA), apabila yang pesan warna kulit tertentu, meski datangnya belakangan, pasti akan dilayani lebih dulu.

Saya benar-benar muak dengan mentalitas seperti ini, dalam konteks pendidikan yang saya geluti setiap harinya (sebagai tenaga pendidik yang memberikan pelayanan belajar mengajar bagi anak-anak didik), apabila mentalitas seperti ini dimiliki oleh tenaga pendidik, maka maafkan saya harus mengatakan bahwa mental yang kita miliki adalah mental yang bo(b)rok. Terserah mau dibaca bobrok (rusak sama sekali; bejat) atau borok (luka bernanah dan busuk). Bagaimana tidak bo(b)rok, bila dalam memberikan pelayanan kepada anak-anak didik didasarkan pada status sosialnya (kaya atau miskin), warna kulitnya (merah, putih, kuning dan hitam), bau badannya (wangi atau apek), tampangnya (menawan atau ancur-ancuran), dan lain sebagainya. Lebih bo(b)rok lagi apabila pembedaannya didasarkan pada status kelas yang “normal” atau “inklusi”.

Dalam konteks pelayanan umat oleh pemuka agama-nya pun, terkadang hal yang demikian juga terjadi. Pemuka agama (dari organisasi agama/rumah ibadah) dalam melakukan pelayanan kepada umatnya, ada juga yang melakukan pembedaan. Apabila umatnya memiliki status sosial, warna kulit, bau badan, tampang, dan lain sebagainya sesuai dengan yang diharapkan oleh pemuka agama, maka pelayanan yang diberikan pun (total) habis-habisan. Sementara bagi umat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka pelayanan yang diberikan pun hanya setengah hati, bahkan ada yang mau melayani umat dengan model yang tidak sesuai dengan yang diharapkan saja, sudah untung-untungan, tidak perlu mengharapkan yang lebih dari yang bisa diberikan.

Akhir kata, yang ingin saya sampaikan di sini, yuk bareng-bareng kita miliki mentalitas yang tidak bo(b)rok. Saya pribadi melatih untuk tidak memiliki mentalitas yang bo(b)rok itu melalui perkara yang sederhana. Perkara yang sederhana itu saat berjabat tangan dengan siapa pun, baik saat berjabat tangan dengan orang yang memiliki kedudukan, maupun saat berjabat tangan dengan atlet-atlet kami yang berkebutuhan khusus, tidak ada pembedaan sikap hati dan gesture tubuh di dalamnya. Karena terkadang, dari cara berjabat tangan bisa dilihat mentalitas seperti apa yang kita miliki, saat bersalaman dengan orang yang dianggap penting (memiliki kedudukan, dsb.), gesture tubuh yang nampak membungkukan badan hingga kepala hampir terbentur tanah. Namun apabila berjabat tangan dengan orang yang dianggap biasa-biasa saja (tidak memiliki kedudukan, dsb.), gesture tubuh yang nampak ogah-ogahan (dalam keadaan tidak suka dan agak malas, orang Jawa bilang: anyi-anyi). Dengan kita setia dalam perkara yang sederhana (kebiasaan-kebiasaan kecil), maka kita akan dimampukan untuk melakukan perkara yang lebih berharga (mentalitas).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun