8 Januari 1642 adalah tanggal menyedihkan yang juga membahagiakan. Terdengar ambigu memang, tapi inilah kenyataannya. Seorang ilmuwan hebat bernama Galileo Galilei meninggal di umurnya yang ke-77.
Di Arcetri, Grand Duchy of Tuscany, ia dieksekusi hukuman mati oleh Gereja karena pandangannya yang bersebrangan dengan pihak Gereja kala itu, yang mana mereka memercayai bahwa Bumi adalah pusat Tata Surya/ Geosentris.
Sementara itu, Galileo Galilei bersikeras berpendapat bahwa Gereja salah. Matahari adalah pusat Tata Surya/ Heliosenstris, dan Bumi turut mengorbit Matahari.
Sekarang, banyak dari teori dan hipotesis Galileo Galilei yang dikembangkan. Kematiannya lima ratus tahum yang lalu membawa banyak pelajaran dan menyadarkan kita bahwa apa yang "belum" sejalan dengan nalar kita, belum tentu salah untuk selamanya. Sistem kepercayaan bersifat fleksibel pada dasarnya, karena ilmu pengetahuan bergerak dari masa ke masa.
Negara-negara Barat beruntung memiliki sepak terjang sejarah yang panjang, mereka menjadi lebih bijaksana. Mereka adalah sejarawan yang baik, oleh karenanya paham-paham kemanusiaan lahir di sana.
Di kala masyarakat Indonesia sibuk dengan masalah stereotip yang seperti tiada habisnya, Amerika Serikat sudah mengusut masalah ini sejak masa kepemimpinan Abraham Lincoln pada tahun 1861-1865. Begitu pula beberapa negara lainnya.
Bangsa kita kurang menghargai sebuah ide, kita (termasuk saya) masih sering meremehkan pekerjaan yang tak zahir. Jadi jangan terkejut jika pekerja kasar banyak sekali jumlahnya di Indonesia. Sedangkan brain drain atau migrasi kalangan intelektual Indonesia ke negara-negara lain marak terjadi.
Mereka lahir di Indonesia? Ya. Dicantumkan sebagai warga Indonesia? Tidak. Mereka lebih memilih berkontribusi di negara yang lebih menghargai sebuah ide dan gagasan.
Mungkin bangsa kita lebih seperti sedang bunuh diri perlahan.
Ada banyak cerita yang sejarah catat tentang nilai sebuah ide, bahwa ide sangatlah mahal dan tidak bisa seenaknya saja kita buang tanpa diobserve terlebih dahulu. Salah satunya adalah Bapak Genetika, Gregor Johann Mendel.
Pada 8 Februari 1865 ia mempresentasikan hasil percobaan 7 tahunnya meneliti kacang ercis di depan ilmuwan-ilmuwan di Brnn, namun hasil percobaannya kurang diminati dan dicetak hanya untuk pajangan perpustakaan di beberapa kota tahun1866 karena dianggap buruk dan semacamnya,
Hingga akhirnya ia wafat di hari Minggu, 6 Januari 1884 karena kanker. Yang miris adalah, walaupun penemuannya tak berbuah hasil yang besar, ia tetap memeliti hingga akhir hayatnya.
Kejutan besar pun datang pada 34 tahun setelah kematiannya, pada 1900 tiga ahli botani dari Negara berbeda dan bekerja secara terpisah menemukan kembali prinsip pemisahan dan pemilikan gen Mendel yang menjadi prinsip fumdamental dalam ilmu genetika.
Masih tak percaya dengan kekuatan ide?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H