Mohon tunggu...
Hazairin Rowiyan
Hazairin Rowiyan Mohon Tunggu... -

In Laatste en Hoogste Intantie

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitologi Konstitusi Indonesia, Sebuah Sketsa Politik

27 September 2017   04:17 Diperbarui: 27 September 2017   04:22 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada semacam kekaburan mitologis tentang konstitusi di Indonesia yang sulit ditembus. Mereka yang meyakini UUD 1945 awal bersikeras bahwa dengan itu akan berakhir semua kejelekan, dan akan terpancar segala macam kebajikan. Tapi entusiasme yang tak-kritis ini akan menyulitkan kita melihat secara jelas apa persoalan sesungguhnya.

Konstitusi sedianya, bagi James Bryce merupakan suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum (Strong, 2008:14). Dengan kata lain, terdapat instrumen-instrumen negara di bawahnya yang dibentuk dan diatur dalam konstitusi untuk mengorganisir kehidupan masyarakat guna tercapainya cita negara (Staatsidee), dalam Indonesia, cita negara ini sebagaimana tertuang dalam Preambule UUD 1945 dengan Panca Sila sebagai landasan filosofis (philosofische grondslag)-- nya.

Argumentasi dimuka sedikitnya menyoroti kondisi sosial republik konstitusionalisme dewasa ini. Belakangan, seruan kembali kepada UUD 18 Agustus 1945 menyeruak muncul ke permukaan, hukum dasar (Grundnorm) itu, menjadi satu hal yang kembali nyaris disakralkan. Bukan saya bersebrang pendapat dengan entusias yang mensinyalir UUD dirasa perlu kembali ke naskah awal, barangkali ini merupakan bentuk ekspresi yang bergejolak melihat terjadinya serangkaian krisis ekonomi - politik yang melanda Indonesia saat ini.

Kendati demikian, masih banyak seruan-seruan praktis yang kita temukan di lapangan. Katanya, "Kembali ke UUD 1945"merupakan rahmatnya bagi Indonesia. Ya, bisa jadi itu dapat dilakukan, jikalau rakyat menghendaki. Tetapi problem yang mendahuluinya adalah praktek penyerahan kedaulatan yang diberikan oleh rakyat (melalui hak pilih) kepada 'elite' golongan politik itu sendiri. Partai politik memiliki peran sentral dalam usulan perubahan konstitusi ini. Kiranya, dalam kajian ini, sistem multi partai menjadi suatu kenyataan yang memprihatinkan, implikasi ekstrem yang muncul kemudian adalah perebutan sumber daya material diantara anggota komunitas politik yang satu dengan yang lain. Alhasil, terciptanya praktek koalisi (semu) untuk meraup suara mayoritas guna menciptakan kekuasaan yang signifikan di ranah politik tersebut.

Dalam sementara waktu, parlemen (DPR bersama DPD) bisa dikatakan lebih tinggi (supreme) terhadap konstitusi, oleh karena praktek perubahan konstitusi merupakan wewenang sidang MPR. Namun perlu ditekankan bahwa rakyat lah yang memilih serta mengangkat anggota parlemen tadi. Maka, dengan begitu, yang berkedudukan lebih tinggi dari konstitusi adalah para pemilih (rakyat) dan bukannya legislatif. In de Laatste en Hoogste Intantie, "suatu keputusan terakhir dan tertinggi bergantung pada votum rakyat". Akan tetapi, dengan sistem hak pilih universal ini sebenarnya 'rakyat' atau 'semua rakyat' tidak banyak berperan. Mereka tidak pernah dan tidak bisa menyusun konstitusi, dan mereka tidak pernah menyusun konstitusi dengan suara bulat.

"Lantas untuk dan bersama siapa tuntutan reformasi konstitusi saat ini?

Jauh dari sifat tak terelakkan, tuntutan reformasi konstitusi Indonesia kerapkali bersinggungan dengan urusan rezeki, berurusan dengan perut, dan bisa dilacak dalam struktur ekonomi dan sosial, yang tentunya akan mendesakkan konsepsi-konsepsi baru mengenai kepentingan kelompok dan nilai-nilai politik. Sebut saja penggantian UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS, tahun 1949, sebagai upaya Belanda untuk kembali melakukan imperialisme di Indonesia yang didahului Agresi I tahun 1947 dan Agresi II tahun 1948 sehingga merubah bentuk Indonesia menjadi negara federal yang di monopoli oleh Belanda. Begitupun gelombang kemerosotan ekonomi sebagai buntut krisis moneter global yang berdampak pada Indonesia kala itu, membuat masyarakat kian terjerat rantai pemiskinan. Ketidak beresen mengatur rezeki rakyat ini, kemudian berdampak pada jatuhnya rezim Soeharto dan berhasil mematahkan semangat konservatisme terhadap UUD 1945 yang tidak boleh tersentuh oleh ide perubahan.

Sekarang, saat ini, masa reformasi yang dulunya meledak dalam semangat untuk menghabisi kekuasaan yang absolut dalam segala jenisnya, tidak ubahnya menjadi tempat bagi kapitalisme untuk tumbuh subur berkembang di Indonesia. Parahnya, UUD 1945 dibelokkan secara paksa, ditafsirkan dengan bebas demi melegitimasi penguasa yang mengabdi pada monopoli-monopoli raksasa beserta struktur imperialisnya hingga jauh mengesampingkan rakyat. Maka, rakyat lah yang harus menanggung derita, kehilangan lahan produksi dan konflik agraria yang berkepanjangan ialah contoh sahih dari sekian banyak kasus kelaliman oligark di Indonesia.

Oleh karena itu, kita perlu melihat dengan lebih cermat problema serius yang dihadapi saat ini. Jika tidak, bisa-bisa kita hanya terjebak pada romantika belaka dan mungkin bisa menyimpangi sejarahnya itu sendiri. Mengapa demikian? Dahulu, UUD 1945 sejatinya hanyalah benar-benar dijadikan sebagai alat untuk sesegera mungkin membentuk negara yang merdeka. Ia (UUD 1945), memang dimaksudkan sebagai UUD sementara, atau jika mengutip istilah yang Bung Karno gunakan, merupakan suatu revolutie-grondwet atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang nantinya jika keadaan negara sudah memungkinkan dan stabil, barulah diganti dengan yang baru.

Disadari atau tidak, peta agenda reformasi konstitusi ini mengarah pada 2 (dua) analisa yang menarik untuk didiskusikan:

Pertama

produk yang diciptakan oleh "kelas menengah (kelas produksi)" sebagai bagian yang berupaya menata kembali negara dan masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan mereka sendiri, terhadap perebutan sumber rezeki yang baginya tidak ada jalan lain selain merebut kekuasaan (revolusi). Ketika kekuasaan ini sudah digenggamannya, keleluasaan untuk membentuk dan menerapkan hukum mencapai tingkat efektivitasnya. Dengan begitu ia leluasa untuk menentukan porsi konstitusi sebagai basis pijakan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Berkaca dari pengalaman, perihal penerapan hukum dimasa kolonial Belanda, kepentingan yang timbul dalam penerapan hukum itu, semata-mata mengeruk mata dagangan hasil pertanian secepat mungkin, hukum digunakan sebagai satu tujuan untuk eksploitasi ekonomi secara besar-besaran. Hal ini beriringan dengan cara yang yang diterapkan oleh Belanda untuk pengerukan kekayaan secara efisien, maka pemerintahan lah secara tidak langsung merupakan cara yang berbiaya murah untuk mencapai tujuan ini (Lihat Lev, 1990:440).

Kedua

keterlibatan kelompok bersenjata yang berambisi kembali tampil mengambil bagian dalam demokrasi. Tidak selesai di situ, bahwa bagi Harold Crouch, tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Peristiwa 1965 merupakan tonggak sejarah paling penting, Angkatan Darat mendapatkan tempat utama, disamping membuka peluang tentara masuk dalam pemerintahan juga meningkatkan peran militer dalam bidang ekonomi. Pelan tapi pasti, setelah terwujud dominasi Angkatan Darat dalam politik, mereka dengan leluasa merambah ke dunia bisnis dengan konsolidasinya yang senyap (Lihat Adam, 2009:119). Kecenderungan kelompok bersenjata menjadi suatu hal yang sulit ditampik, hal ini akrab dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, penyimpangan pengertian utusan golongan dalam parlemen yang sempat terjadi pada masa lampau hendak kembali dimunculkan, dengan menggunakan formasi "ABG" dalam tiga jalur kekuasaan, yaitu: (A) Abri, (B) Birokrat, dan (G) Golongan Karya. Dengan begitu, kelompok ini akan kembali mencoba menguasai struktur parlemen, dan menciptakan kekuasaan yang signifikan namun tetap efektif.

Membaca fenomena saat ini, sedikit menggambarkan perdebatan konstitusionalisme masa lalu (deja vu), memunculkan ingatan kembali tentang sebuah karya yang sempat membuat gempar diskursus mengenai konstitusi di Amerika Serikat saat dasawarsa kedua pada awal abad 20, tepatnya tahun 1913, ialah Dr. Charles A. Beard yang menerbitkan karyanya An Economic Interpretation of the Constitution of the United States. Dalam karya itu ia menyatakan bahwa, alih-alih dibuat oleh semua rakyat, konstitusi adalah hasil kerja dari sekelompok orang yang kepentingan ekonominya dirugikan oleh sistem pemerintah yang berlaku saat itu, dan yang bertekad menyusun konstitusi yang akan melindungi dan melanggengkan kepentingan mereka (Wheare, 2005:105).

Perdebatan di atas cukup mendasar untuk dibangkitkan lagi, bukan karena kita mengkhawatirkan Belanda kembali menjajah Indonesia. Tentu perdebatan konstitusionalisme kerap mengemuka setiap kali tumbuh krisis kebijaksanaan yang berakhir dengan dilakukannya perombakan hukum besar-besaran. Hanya saja, reformasi konstitusi ini akan mengarah kepada siapa? Kepada segelintir kekuatan produksi atau kembali kepada semangat demokrasi sosial Indonesia, yaitu rakyat yang 'bermahkota'. Ironisnya, kedua produk tadi cenderung menggunakan pendekatan yang bisa membenarkan apa saja yang ada, bertransformasi sebagai tokoh protagonis yang akan menumpas antagonisme penguasa, mencampuradukkan kepentingan pribadi atas nama negara.

Perlu diperhatikan, jika ingin bertahan dalam kompetisi dengan tipe pemerintahan yang lebih revolusioner, reformasi konstitusi di negara manapun merupakan kebutuhan atas perkembangan gerak zaman, paham ini harus bersedia terus-menerus beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang selalu berubah-ubah, yang di dalamnya juga mengatur bukan saja mengenai demokrasi politik, tetapi, konstitusi juga mencatat (secara harfiah) struktur negara dan memberikan gambaran pembagian keuntungan politik, sosial, dan ekonomi.

Untuk itulah, sedikit pembahasan kita mengenai konstitusionalisme Indonesia ini mengarah pada tiga hal: [1] Patutlah kiranya kita, menelaah lebih lanjut terhadap relasi ekonomi dan politik yang mengitari terhadap munculnya gagasan reformasi konstitusi saat ini, [2] Penekanan terhadap gagasan reformasi konstitusi yang sejatinya bukan saja mengatur ihwal pembagian kekuasaan tetapi harus berorientasi pada kemakmuran rakyat, dan [3] berhentilah bermasa bodoh terhadap upaya pelanggengan status quo para penguasa yang tamak, dan oleh karena itu pula mulailah membuka mata dengan juga tidak 'bermain mata' kepada serdadu-serdadu kapitalisme bangsa sendiri.

Akhirnya, perlulah diingat tanpa harus mengatakan dan menulis tagar "Kembali ke UUD 1945", bahwa kalimat tersebut bukanlah solusi yang jelas bagi banyak masalah serius yang mendesak yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Ia tidak bisa menghapuskan masalah pemiskinan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan politik, dan kesenjangan sosial. Terhadap semua isu semacam ini, solusi yang paling tepat adalah pengetahuan yang relevan, militansi ideologi yang diartikulasikan secara jelas, dan kekuasaan yang dikelola secara efektif dalam jenis struktur politik yang tersedia. 

Ibnu Hazairin Rowiyan

(DPC GMNI Yogyakarta Periode 2016/2018)

Jl. Taman Siswa, Yogyakarta

Email: hazairin_rowiyan@yahoo.com.au

 

STUDI PUSTAKA:

  • Adam, Asvi Warman. 2009. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
  • Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES.
  • Strong, C.F. 2008. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk. Bandung: Nusa Media. Diterjemahkan dari karya C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form (The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966).
  • Wheare, K.C. 2005. Konstitusi-Konstitusi Modern. Surabaya: Eureka. Diterjemahkan dari karya K.C. Wheare, Modern Constitutions, (Oxford University Press, 1996).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun