produk yang diciptakan oleh "kelas menengah (kelas produksi)" sebagai bagian yang berupaya menata kembali negara dan masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan mereka sendiri, terhadap perebutan sumber rezeki yang baginya tidak ada jalan lain selain merebut kekuasaan (revolusi). Ketika kekuasaan ini sudah digenggamannya, keleluasaan untuk membentuk dan menerapkan hukum mencapai tingkat efektivitasnya. Dengan begitu ia leluasa untuk menentukan porsi konstitusi sebagai basis pijakan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Berkaca dari pengalaman, perihal penerapan hukum dimasa kolonial Belanda, kepentingan yang timbul dalam penerapan hukum itu, semata-mata mengeruk mata dagangan hasil pertanian secepat mungkin, hukum digunakan sebagai satu tujuan untuk eksploitasi ekonomi secara besar-besaran. Hal ini beriringan dengan cara yang yang diterapkan oleh Belanda untuk pengerukan kekayaan secara efisien, maka pemerintahan lah secara tidak langsung merupakan cara yang berbiaya murah untuk mencapai tujuan ini (Lihat Lev, 1990:440).
Kedua
keterlibatan kelompok bersenjata yang berambisi kembali tampil mengambil bagian dalam demokrasi. Tidak selesai di situ, bahwa bagi Harold Crouch, tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Peristiwa 1965 merupakan tonggak sejarah paling penting, Angkatan Darat mendapatkan tempat utama, disamping membuka peluang tentara masuk dalam pemerintahan juga meningkatkan peran militer dalam bidang ekonomi. Pelan tapi pasti, setelah terwujud dominasi Angkatan Darat dalam politik, mereka dengan leluasa merambah ke dunia bisnis dengan konsolidasinya yang senyap (Lihat Adam, 2009:119). Kecenderungan kelompok bersenjata menjadi suatu hal yang sulit ditampik, hal ini akrab dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, penyimpangan pengertian utusan golongan dalam parlemen yang sempat terjadi pada masa lampau hendak kembali dimunculkan, dengan menggunakan formasi "ABG" dalam tiga jalur kekuasaan, yaitu: (A) Abri, (B) Birokrat, dan (G) Golongan Karya. Dengan begitu, kelompok ini akan kembali mencoba menguasai struktur parlemen, dan menciptakan kekuasaan yang signifikan namun tetap efektif.
Membaca fenomena saat ini, sedikit menggambarkan perdebatan konstitusionalisme masa lalu (deja vu), memunculkan ingatan kembali tentang sebuah karya yang sempat membuat gempar diskursus mengenai konstitusi di Amerika Serikat saat dasawarsa kedua pada awal abad 20, tepatnya tahun 1913, ialah Dr. Charles A. Beard yang menerbitkan karyanya An Economic Interpretation of the Constitution of the United States. Dalam karya itu ia menyatakan bahwa, alih-alih dibuat oleh semua rakyat, konstitusi adalah hasil kerja dari sekelompok orang yang kepentingan ekonominya dirugikan oleh sistem pemerintah yang berlaku saat itu, dan yang bertekad menyusun konstitusi yang akan melindungi dan melanggengkan kepentingan mereka (Wheare, 2005:105).
Perdebatan di atas cukup mendasar untuk dibangkitkan lagi, bukan karena kita mengkhawatirkan Belanda kembali menjajah Indonesia. Tentu perdebatan konstitusionalisme kerap mengemuka setiap kali tumbuh krisis kebijaksanaan yang berakhir dengan dilakukannya perombakan hukum besar-besaran. Hanya saja, reformasi konstitusi ini akan mengarah kepada siapa? Kepada segelintir kekuatan produksi atau kembali kepada semangat demokrasi sosial Indonesia, yaitu rakyat yang 'bermahkota'. Ironisnya, kedua produk tadi cenderung menggunakan pendekatan yang bisa membenarkan apa saja yang ada, bertransformasi sebagai tokoh protagonis yang akan menumpas antagonisme penguasa, mencampuradukkan kepentingan pribadi atas nama negara.
Perlu diperhatikan, jika ingin bertahan dalam kompetisi dengan tipe pemerintahan yang lebih revolusioner, reformasi konstitusi di negara manapun merupakan kebutuhan atas perkembangan gerak zaman, paham ini harus bersedia terus-menerus beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang selalu berubah-ubah, yang di dalamnya juga mengatur bukan saja mengenai demokrasi politik, tetapi, konstitusi juga mencatat (secara harfiah) struktur negara dan memberikan gambaran pembagian keuntungan politik, sosial, dan ekonomi.
Untuk itulah, sedikit pembahasan kita mengenai konstitusionalisme Indonesia ini mengarah pada tiga hal: [1] Patutlah kiranya kita, menelaah lebih lanjut terhadap relasi ekonomi dan politik yang mengitari terhadap munculnya gagasan reformasi konstitusi saat ini, [2] Penekanan terhadap gagasan reformasi konstitusi yang sejatinya bukan saja mengatur ihwal pembagian kekuasaan tetapi harus berorientasi pada kemakmuran rakyat, dan [3] berhentilah bermasa bodoh terhadap upaya pelanggengan status quo para penguasa yang tamak, dan oleh karena itu pula mulailah membuka mata dengan juga tidak 'bermain mata' kepada serdadu-serdadu kapitalisme bangsa sendiri.
Akhirnya, perlulah diingat tanpa harus mengatakan dan menulis tagar "Kembali ke UUD 1945", bahwa kalimat tersebut bukanlah solusi yang jelas bagi banyak masalah serius yang mendesak yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Ia tidak bisa menghapuskan masalah pemiskinan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan politik, dan kesenjangan sosial. Terhadap semua isu semacam ini, solusi yang paling tepat adalah pengetahuan yang relevan, militansi ideologi yang diartikulasikan secara jelas, dan kekuasaan yang dikelola secara efektif dalam jenis struktur politik yang tersedia.Â
Ibnu Hazairin Rowiyan
(DPC GMNI Yogyakarta Periode 2016/2018)
Jl. Taman Siswa, Yogyakarta