Mohon tunggu...
Ronny Wijaya
Ronny Wijaya Mohon Tunggu... -

Coret-coretan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Off the Record"

20 Oktober 2014   17:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:23 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14137750251025835771

Kelemahan adalah hal yang menarik untuk ditelusuri, benarkah?

Kalau menurut saya cukup benar, karena kalau sudah kuat artinya sudah selesai, mau menjadi apa lagi? Yang ada tinggal menunggu waktu sampai kelemahan datang. Jadi alangkah baiknya jika kita tidak merasa kuat, dengan demikian selalu ada pertumbuhan terus menerus yang tidak akan diduga arahnya, bahkan tidak pernah terpikirkan.

Seperti halnya satu bidang yang kini mendominasi karena kita hidup pada zaman teknologi informasi, dunia Jurnalistik yang bergerak dalam bidang tentang "Kabar" berkembang pesat. Luasnya informasi yang tersedia untuk diteruskan kepada pembacanya menjadi peluang, dalam hal ini masyarakat sebagai khalayak ramainya.

Tapi satu-satunya hal yang saya ingat dan indentik dari dunia itu adalah kelemahannya, hal itu saya ketahui ketika masih berkuliah, kebetulan dosen yang mengajar mata kuliah dasar-dasar jurnalistik membeberkan faktanya, bahwa sistem mulia yang diemban punggawa berita tetap memiliki aturan main, jika ditelusuri dari sejarahnya sendiri.

Satu bagian pentingnya itu disebut "Off the record", yaitu suatu etika yang berlaku di kalangan pemberita atau wartawan, bahwa ada fakta-fakta yang disampaikan oleh narasumber, tetapi tidak boleh disiarkan kepada khayalaknya. Alasannya bisa karena belum waktunya, atau karena sifatnya rahasia sehingga masyarakat tidak perlu tahu.

Mungkin percabangan lainnya adalah fakta yang disembunyikan, karena masih dalam satu jalur yang sama. Bahwa sumber membeberkan data berita secara menyeluruh, tetapi yang boleh disiarkan dan dibahas hanya sebagiannya, artinya ada hal-hal lain masuk dalam kategori fakta "Off the record".

Belum lama ini kita mendengar kabar bahwa data yang bersifat rahasia itu coba dibeberkan, oleh seorang wartawan asing yang dalam alasannya hendak "menyelamatkan" bangsa ke depan, suatu hal yang tentunya didukung oleh pihak-pihak yang berseberangan dengan si narasumbernya yang sedang mendapat panggung kemarin. Tapi yang menjadi masalahnya, si wartawan sudah melanggar etika profesinya sendiri, tentu mulai ada kehati-hatian andai membeberkan fakta kepada orang yang bisa "bocor" tersebut.

Kalau menurut saya, mungkin akan sangat riskan membuka fakta kepada pihak lain, diluar dari lingkaran si sumber yang menutup rapat rahasianya. Apalagi kepada awak media yang juntrungannya kurang jelas, terlebih kerjaan mereka sebagai pembawa kabar, untuk keadaan sekarang, fakta aneh-aneh dan memalukan alias bersensasi akan semakin seksi untuk diberitakan.

Jadi kerahasiaan suatu fakta akan lebih aman untuk tidak diberitakan sekalipun, meski hal itu masih bisa diakali bagi narasumber yang menginginkan kebenaran terungkap, dengan cara lain melalui desas-desus misalnya karena tidak ada sumber jelasnya alias anonim, sebagai jalan lain mengangkatnya kepada khalayak di luar dari kemasan berita jurnalistik pada umumnya.

Tapi tentu ada fakta-fakta yang tidak perlu diketahui media, karena dapat menimbulkan kegaduhan bagi khayalaknya, karena media sekarang lebih condong pada situasi "heboh" sebagai makanannya. Hal yang semacam itu tidak pernah terbuka dan akan terurai dengan sendirinya, sampai pada akhirnya masyarakat akan menemui fakta akhir yang mencengangkan, langsung kepada endingnya karena bagian pertengahan yang riskan mengubah alur sengaja ditutup.

"Itu diberitakannya kita sudah belok kanan loh pak, semua media sudah mengangkatnya dan warga sudah pada tahu".
"Tidak apa, memang kita acting-nya seperti itu. Faktanya kan kita sengaja belok kiri dulu menurut kantong ajaib ini, supaya nanti bisa putar balik kesini lagi".
Percakapan ketika media dengan bangganya riuh menjadi salah satu pilar utama, tetapi kecele dengan permainan lain yang cantik, memanfaatkan kelemahannya yang hanya berdasarkan verifikasi sumber semata.

"Wah kok jadi putar balik?! Lawan! Bakar! Tidak sesuai aturannya, ayo bersatu koar-koar!"
"Eitss, ini loh aturan yang benarnya, ketentuannya kalau belok kanan harus injak gas sendiri, tetapi fakta yang belum kalian tahu itu kemarin jalannya didorong karena mogok, hitungannya jadi belok kiri dan itu harus putar balik, begitu loh".
Penonton yang tidak tahu apa-apa dan hanya mengikuti angin berhembus sok jadi pahlawan. Mungkin mau mengerahkan kekuatannya, tapi hanya mimpi di siang bolong, karena yang berteriak cuma tong kosong nyaring bunyinya, baru mengetahui ada pemain lain, tong berisi yang suaranya kecil seperti berbisik.

Kalau dalam kejuaraan lomba F1, juara setiap balapan dan juara dunianya pasti selalu tercatat. Bukan tidak mungkin ada nama yang dihapus, karena menyalahi aturan tetek bengeknya. Dan itu sebetulnya upaya meluruskan tinta sejarah yang salah gores.

"Off the record? Itu kudeta media atau mahkluk baru?"
"Hanya sebuah tanda, bahwa pembawa kabar ternyata memiliki lubang besar yang dapat dimanfaatkan celahnya".

Kalau kata pak SBY dulu, mungkin media dan warga itu punya kebebasan berpendapat, sebatas "Freedom of speech" termasuk mungkin mengabarkan fakta tidak terverifikasi, kalau mau agak jahil sedikit. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun