Mohon tunggu...
Rouli Triana Munthe
Rouli Triana Munthe Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Saya adalah mahasiswa aktif Hubungan Internasional. Hobi saya adalah membaca dan menonton. Saya memiliki kepribadian yang simple.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketegangan Laut Cina Selatan, Pertarungan Geopolitik di Kawasan Strategis

7 Desember 2024   12:39 Diperbarui: 7 Desember 2024   13:19 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut Cina Selatan adalah salah satu kawasan strategis di dunia yang menjadi pusat perebutan pengaruh geopolitik antara negara-negara kawasan dan kekuatan besar global. Kawasan ini memiliki nilai ekonomi dan strategis yang sangat tinggi karena menjadi jalur utama perdagangan internasional, dengan lebih dari sepertiga perdagangan global melintas di wilayah tersebut. 

Selain iru, potensi sumber daya alam, seperti cadangan minyak dan gas, menjadikannya area dengan kepentingan ekonomi besar. Ketegangan di Laut Cina Selatan (LCS) memiliki akar sejarah yang panjang dan melibatkan klaim teritorial oleh berbagai negara pesisir, termasuk Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. 

Tiongkok mengklaim sekitar 90% wilayah LCS berdasarkan konsep "kedaulatan maritim" yang dikukuhkan melalui peta historis "Nine-Dash Line" sejak 1947. Klaim ini berlawanan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang mengatur batasan-batasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara.

Ketegangan di Laut Cina Selatan (LCS) memiliki akar sejarah yang panjang dan melibatkan klaim teritorial oleh sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok. Perselisihan ini dimulai dari klaim historis Tiongkok yang merujuk pada peta Nine Dash Line yang pertama kali dipublikasikan pada 1947 oleh Republik Tiongkok, sebelum dilanjutkan oleh Republik Rakyat Tiongkok setelah komunis berkuasa. 

Klaim ini mencakup hampir 90% wilayah Lait Cina Selatan, yang bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara lain, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. 

Kalim ini didasarkan pada bukti historis berupa catatan kuno tentang kehadiran penjajah dan nelayan Tiongkok di pulau-pulau kecil di LCS. Namun, peta tersebut dan klaim historisnya bertentangan dengan prinsip-prinsip UNCLOS yang diakui internasional, yang menyatakan bahwa batas ZEE diukur hingga 200 mil laut dari garis pantai.

Laut Cina Selatan adalah wilayah yang sangat strategis, menghubungkan rute perdagangan laut penting dan mengandung sumber daya alam seperti minyak dan gas. Tiongkok telah memperkuat kehadirannya dengan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi militer di terumbu karang.

 Langkah ini telah memicu kekhawatiran dari negara-negara tetangga dan Amerika Serikat, yang mengadvokasi kebebasan navigasi dan hukum internasional. Persaingan kekuatan ini menjadi bagian dari upaya Tiongkok untuk memperluas pengaruh dan mengamankan kedalaman strategis bagi infrastruktur di wilayah pesisir, sementara Amerika Serikat memperkuat aliansi militernya di kawasan tersebut.

Tiongkok memandang LCS sebagai elemen penting dalam strategi pertahanan dan ekspansi pengaruhnya. Sejak awal 2000-an, Beijing secara aktif memperluas kendali di wilayah tersebut dengan membangun pulau-pulau buatan dan fasilitas militer di terumbu karang seperti Fiery Cross, Subi, dan Mischief Reefs di Kepulauan Spratly. Instalasi ini mencakup landasan pacu, pelabuhan, dan fasilitas radar serta sensor yang digunakan untuk memantau aktivitas di wilayah tersebut. 

Dengan mendirikan pos-pos militer, Tiongkok berupaya meningkatkan "kapasitas anti-akses/penolakan wilayah" (A2/AD) yang membatasi kebebasan operasi militer negara lain, terutama AS. 

Geopolitik di LCS tidak hanya memengaruhi negara-negara di kawasan, tetapi juga memiliki dampak global. Jalur perdagangan laut yang melewati LCS adalah salah satu rute perdagangan tersibuk di dunia, dengan lebih dari 5 triliun dolar AS perdagangan internasional melewatinya setiap tahun. Gangguan atau konflik di wilayah ini dapat mengganggu rantai pasokan global dan menimbulkan dampak ekonomi yang luas. 

Negara-negara Eropa, seperti Jerman, memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas dan keamanan jalur perdagangan ini, dan beberapa telah mengambil langkah-langkah simbolis, seperti pengiriman kapal angkatan laut, untuk menunjukkan dukungan pada prinsip-prinsip kebebasan navigasi.

Laut Cina Selatan berperan penting dalam perdagangan global, dengan lebih dari sepertiga ekspor minya mentah dunia melewati wilayah ini. Situasi konflik atau blokade di Laut Cina Selatan berpotensi menimbulkan dampak besar bagi perekonomian global, khususnya negara-negara Asia dan Eropa. 

Persaingan ini diperparah oleh pembangunan dan pengelolaan, sumber daya oleh Tiongkok, termasuk rencana penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir apung untuk mendukung infrastruktur di pulau-pulau buatan. 

Krisis perdagangan di LCS dapat muncul ketika terjadi ketegangan militer atau konflik terbuka di wilayah tersebut. Pembangunan militer oleh Tiongkok, termasuk pemasangan fasilitas radar, pelabuhan, dan landasan pacu di pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly dan Paracel, menimbulkan kekhawatiran bahwa stabilitas kawasan dapat terancam. 

AS dan sekutu-sekutunya, yang mengadvokasi kebebasan navigasi, sering melakukan patroli untuk menegaskan prinsip-prinsip hukum laut internasional dan menentang klaim sepihak Tiongkok

Potensi gangguan pada jalur perdagangan ini dapat memicu dampak ekonomi yang luas. Jika jalur perdagangan di LCS ter-blokade atau terganggu akibat konflik militer, rantai pasokan global akan terganggu, menyebabkan kenaikan harga komoditas, kelangkaan energi, dan dampak buruk pada ekonomi global. 

Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, yang sangat bergantung pada impor energi dari Timur Tengah melalui LCS, akan sangat terpengaruh. Selain itu, lebih dari separuh dari sepuluh pelabuhan peti kemas terbesar di dunia berada di kawasan Asia Timur, yang semakin menunjukkan pentingnya stabilitas di LCS.

Laut Cina Selatan (LCS) memiliki peran vital dalam geopolitik dan ekonomi global, dengan kepentingan besar pada jalur perdagangan dan sumber daya alamnya. Ketegangan yang disebabkan oleh klaim teritorial Tiongkok dan respons negara-negara tetangga serta kekuatan global, seperti AS, menciptakan situasi kompleks yang mempengaruhi stabilitas kawasan. 

Konflik potensial di LCS tidak hanya berdampak pada keamanan regional tetapi juga mengancam rantai pasokan global yang berpotensi memicu krisis ekonomi besar, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada jalur perdagangan ini. Dalam menghadapi ketegangan ini, persaingan kekuatan besar untuk mempertahankan atau memperluas pengaruhnya di LCS semakin mengintensifkan dinamika geopolitik kawasan. 

Upaya Tiongkok untuk membangun pos militer dan memperkuat klaimnya bertentangan dengan kepentingan negara-negara tetangga dan prinsip kebebasan navigasi yang diadvokasi oleh AS dan sekutunya. Hasilnya adalah situasi yang sangat dinamis dan rawan konflik, yang memerlukan pendekatan diplomasi dan kerja sama internasional untuk menjaga stabilitas dan mencegah eskalasi lebih lanjut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun