Pada peperangan di Afghanistan Amerika Serikat menggunakan sebuah metode pendekatan baru yaitu Public Diplomacy atau dikenal dengan nama diplomasi publik untuk mencoba mengalahkan kekuatan Taliban. Dapat dikatakan langkah Amerika Serikat menggunakan diplomasi publik sebagai strategi meraih kemenangan merupakan metode baru yang diharapkan dapat membawa hasil baik pada proses penyelesaian perang. Penggunaan diplomasi publik ini dilatar belakangi oleh dua hal utama yaitu pertama untuk menghindari skenario kekalahan yang sama terjadi di Vietnam untuk terulang kembali. Kedua sebagai solusi alternatif untuk melihat sisi jalan keluar yang lebih baik akibat tekanan publik melihat konflik ini seakan tidak akan pernah selesai jika menggunakan kekerasan sebagai jalan utama.
Harapan dari pemerintah Amerika Serikat dengan pendekatan diplomasi publik yang lebih lembut dalam melawan kelompok Taliban akan menciptakan perdamaian jangka panjang tanpa perlu adanya eskalasi konflik, sehingga dengan ini diharapkan akan membawa konflik pada proses perdamaian yang bisa lebih jelas. Akan tetapi hasil akhir dari konflik ini cukup mengejutkan yaitu kegagalan Amerika Serikat dan koalisinya dalam perang 20 tahun, dan kelompok Taliban berhasil merebut kembali kekuasaan total di Afghanistan hanya dengan waktu singkat. Dapat dikatakan kasus ini menarik untuk diteliti lebih jauh sehingga dalam pemaparan kedepan akan ditunjukkan apa saja yang menjadi kesalahan dalam penggunaan konsep diplomasi publik oleh Amerika Serikat. Untuk mengawali penjelasan pertama dapat dimulai dengan memahami terlebih dahulu tentang apa itu diplomasi publik.
Diplomasi publik atau diplomasi masyarakat dapat dipahami sebagai semua upaya yang didukung oleh negara untuk membuka komunikasi, atau hubungan langsung ke publik asing. Bisa disimpulkan diplomasi ini tidak sama seperti diplomasi kenegaran yang resmi dan formal, tetapi berbentuk informal dan fleksibel karena mengutamakan komunikasi antar budaya untuk tujuan kepentingan negara.Â
Diplomasi publik yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Afghanistan pada dasarnya terbentuk melalui kerangka bentuk norma dan etika untuk membangun struktur sosial masyarakat. Dapat terlihat lebih jauh bentuk konkrit diplomasi publik Amerika Serikat menyasar kepada tiga sektor penting yaitu ekonomi, sosial, dan pendidikan. Langkah kebijakan yang terealisasi adalah pembangunan sekolah, infrastruktur jalan, bantuan biaya pendidikan untuk anak-anak Afghanistan, dan bantuan ekonomi untuk pembangunan, juga ada bantuan program pelatihan 700 perempuan tentang ilmu jurnalisme.Â
Semua hal ini dimaknai sebagai bentuk upaya untuk membangun masyarakat Afghanistan menjadi masyarakat dengan taraf kehidupan yang jauh lebih baik dan lebih modern untuk masa depan. Dilain sisi tujuan dari tindakan ini ialah mencoba merebut hati masyarakat melalui kerjasama yang diberikan oleh Amerika Serikat untuk upaya mendapat dukungan dari masyarakat Afghanistan dalam melawan Taliban, semua bantuan ini diharapkan akan membuat masyarakat senang dan berpaling dari mendukung Taliban kemudian mendukung Amerika Serikat.
 Dalam pemahamannya diplomasi publik dari Amerika Serikat direalisasi menjadi seperti program bantuan kemanusiaan biasa akan tetapi jika diperhatikan lebih dalam program ini memiliki nilai yang kental dengan budaya di Amerika Serikat. Bila kita lihat lebih jauh maka program ini erat dengan nilai dasar American Dream atau yang dikenal impian Amerika Serikat, nilai ini merupakan nilai filosofis dasar bangsa Amerika yang membentuk citra mereka dimata dunia internasional.Â
Nilai impian amerika ini sesungguhnya terdiri dari kepercayaan tinggi pada sistem pemerintah demokrasi yang bebas, hak kebebasan sipil, hak kebebasan bersuara, dan kesetaraan hak antara semua orang, secara singkat kebebasan mutlak untuk setiap individu. Bisa kita simpulkan melalui penjelasan diatas bahwa Amerika Serikat berniat untuk mengubah sistem negara dan struktur sosial Afghanistan menjadi lebih demokratis, tetapi apa yang kemudian membuat hal ini tidak terjadi setelah semua upaya tersebut dilakukan, Jawabannya adalah perbedaan budaya.
Kondisi struktur budaya masyarakat di Amerika Serikat berbanding terbalik dengan kondisi di Afghanistan dimana masyarakat masih dalam kondisi sosial kesukuan tertutup yang sangat jauh dari pandangan demokrasi dan jauh dari pandangan kebebasan individu. Pandangan serupa dikemukakan oleh mantan menteri luar negeri Amerika Serikat yaitu Henry Kissinger, dalam wawancaranya dengan media The Economist. Beliau mengatakan bahwa "Amerika Serikat sudah memiliki objektif militer yang jelas dalam melawan Taliban tetapi objektif politiknya sangat tidak jelas dan kacau, bisa dikatakan Amerika Serikat ingin membentuk negara demokrasi ditempat dimana demokrasi bahkan tidak bisa untuk bertumbuh".
Kesalahan dalam tidak bisanya nilai impian amerika untuk masuk ke Afghanistan disebabkan oleh masyakat memiliki nilai budaya yang jauh berbeda. Masyarakat Afghanistan cenderung terbagi dengan suku dan pemimpin yang berbeda, di beberapa wilayah kekuasaan pemerintah pusat tidak dapat menghilangkan pengaruh panglima perang lokal yang menguasai daerah tersebut.Â
Masyarakat yang tinggal disana juga cenderung lebih percaya kepada sosok panglima perang tersebut akibat latar kesukuan dan kedekatan budaya yang sama dengan mereka, sehingga mengakibatkan terbentuknya pemerintahan federal otoriter dalam skala kecil yang tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun karena sudah memiliki hubungan saling membutuhkan.
Kesalahan kedua adalah Amerika Serikat gagal memahami struktur budaya lokal Afghanistan dalam mencoba memahami akar masalah. Negara Afghanistan seperti sudah disinggung sebelumnya masyarakatnya masih sangat tradisional oleh karenanya pengambilan keputusan dalam suatu kelompok masyarakat masih sangat kuat dikendalikan oleh tokoh adat dan tokoh agama, beberapa contohnya seperti malik, arbab, dan wakil. Orang-orang yang menjadi tokoh masyarakat tersebut memiliki pandangan konservatif dan cenderung tertutup, karena itu ide akan kebebasan berpendapat atau ide hak kesetaraan perempuan kepada  para tokoh masyarakat tersebut sangatlah terdengar asing dan sulit diterima.
Masyarakat dengan kondisi seperti ini sangat sulit untuk diubah dari faktor luar karena dalam struktur budayanya merasa sudah tercipta stabilitas keamanan melalui pola adab dan norma sosial yang sudah berjalan dari jaman dulu, pola ini dipandang oleh masyarakat sebagai solusi dari dunia mereka untuk tidak terjerumus dalam kekacauan sehingga wajib untuk dilindungi.Â
Masyarakat Afghanistan berpikir bahwa yang membuat mereka bisa hidup sampai saat ini karena budaya kolektif kesukuan tersebut dipandang mulia, dan karena budaya ini bersifat konservatif tertutup maka pengambilan keputusan tidak pernah melibatkan kebebasan berbicara, hasilnya adalah keputusan bersifat final dan tidak bisa dibantah serta berbentuk kaku. Sangat masuk akal kemudian jika keputusan tokoh masyarakat mempengaruhi kuat opini masyarakat menolak diplomasi publik Amerika Serikat karena mereka memiliki peran mulia di mata masyarakat semacam pelindung budaya. Kesalahan ketiga dan terakhir datang dari pemerintah pusat Afghanistan sendiri melalui presiden Ashraf Ghani yang menjadi presiden terakhir periode 2014-2021.
Kesalahan yang dibuat oleh Presiden Ghani adalah pemerintahan yang dibentuk olehnya sangat bernuansa otoriter dan tidak menggambarkan demokrasi, pemerintah Amerika Serikat melalui banyak jalur memberikan bantuan finansial dan ekonomi tetapi data menunjukkan banyak yang tidak jatuh tepat sasaran karena di korupsi oleh petinggi negara. Presiden Ghani juga terlihat banyak melakukan manuver kekuasaan yang mengkonsolidasikan kekuatan pemerintahan terpusat hanya kepadanya dan beberapa menteri loyalis terdekat, sehingga banyak proses pengambilan keputusan tidak diketahui oleh masyarakat. Hal ini menurut pandangan beberapa ahli merupakan warisan budaya kepemimpinan dari presiden Afghanistan sebelum-sebelumnya, dimana semua presiden selalu terlibat dengan ambisi kekuasaan semu yang dicirikan dari negara dengan latar tidak memili konsep landasan demokrasi modern.
Semua faktor ini akhirnya menunjukkan peran Amerika Serikat dalam diplomasi publiknya tidak bisa meraih simpati masyarakat, karena setiap elemen masyarakat mulai yang tertinggi sampai terendah di Afghanistan secara struktural tidak melihat ide kebebasan individu ini penting bagi mereka. Dengan demikian Taliban dapat dengan mudah mengambil kemenangan karena disebabkan oleh kacaunya pemerintahan Afghanistan dan hilangnya rasa legitimasi pemerintah dimata masyarakat, dari sisi Amerika Serikat sendiri semua usaha dan upaya mereka hampir 20 tahun terbuang secara percuma dengan hasil akhir yaitu kekalahan
Kesimpulan sekaligus penutup dari karya tulis ini ialah Amerika Serikat sebagai negara super power gagal melihat banyak faktor yang bisa menghalangi kebijakan diplomasinya di Afghanistan, sehingga memunculkan hasil akhir yang fatal yaitu kekalahan telak meskipun berperang dengan jangka waktu cukup lama. Penting untuk memahami kondisi dimana kita berperang tetapi jauh lebih penting memahami filosofi bagaimana kita berperang, seperti kata Sun Tzu "Kenalilah lawanmu dan kenalilah dirimu sendiri, niscaya dalam seratus pertempuran kemenanganmu tidak akan dalam bahaya" sekian dan terima kasih.
Sumber:
https://www.journalofdemocracy.org/articles/the-collapse-of-afghanistan/
https://www.britannica.com/topic/public-diplomacy
https://www.foxnews.com/media/henry-kissinger-america-failed-afghanistan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H