Mohon tunggu...
Roudhotul Jannah
Roudhotul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Reformasi Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik

7 Juli 2021   19:05 Diperbarui: 7 Juli 2021   19:19 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Birokrasi selalu menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia. Setiap mendengarkan kata “birokrasi”, masyarakat  langsung berpikir mengenai berbagai urusan yang mandek dan memiliki berbagai prosedur serta formalitas yang kaku. 

Masyarakat pun memandang birokrasi dengan sesuatu yang menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulir-formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai, aturan-aturan ketat yang mengharuskan masyarakat melewati banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya. 

Oleh karena itu tak jarang masyarakat berusaha menghindar dari urusan birokrasi. Untuk mewujudkan birokrasi dalam pelayanan publik maka pemerintah memerlukan reformasi birokrasi sebagai salah satu upaya yang dilakukan secara terencana. 

Secara sederhana reformasi dapat dipahami sebagai perubahan menuju tatanan yang lebih baik, dan bukan sekedar perubahan. Sehingga, tidak semua perubahan dapat dikategorikan sebagai reformasi. Hanya perubahan sistematis dan terencana (systematic and planned change) yang diarahkan untuk melakukan transformasi secara mendasar dengan outcomes yang lebih baik yang dapat disebut sebagai reformasi. 

Harapan masyarakat dengan adanya gerakan reformasi diharapkan dapat menemukan ide dan cara baru dalam menata pelaksanaan pemerintahan ke arah yang lebih baik untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien.

Program Reformasi Birokrasi sudah dimulai sejak tahun 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB) 2010-2025, dimana tujuan reformasi birokrasi ini untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) dengan birokrasi pemerintahan yang profesional, berintegritas tinggi, bebas dan bersih dari KKN, mampu melayani publik, bersifat netral, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Meskipun Reformasi Birokrasi Indonesia sudah masuk pada fase ke-3 sejak tahun 2020-2024, namun nyatanya belum semua daerah di Indonesia menunjukan perkembangan yang baik dalam reformasi birokrasi di pemerintahannya.

Saat ini permasalahan yang masih terjadi di daerah meskipun sudah adanya kebijakan reformasi birokrasi seperti rendahnya kualitas sumber daya aparatur daerah yang masih setengah hati untuk mereformasi birokrasi. Budaya “asal bapak senang”, pungli, setoran, beli jabatan, cari selamat, dan lain-lain masih melekat kuat di tubuh birokrasi. 

Birokrasi di pemerintahan daerah masih gemuk karena harus menampung sanak saudara dan keluarga para penguasa dalam birokrasi, akibatnya kualitas pelayanan publik belum meningkat signifikan. Sering kali pola pikir birokrat pemerintah daerah masih berpikiran ditempatkan sebagai penguasa bukan pelayan publik sehingga perubahan sulit dilakukan demi meningkatkan kualitas pelayanan publik.  

Di sisi lain masih maraknya terjadi praktik KKN dan pungli, hingga akhirnya pemerintah pusat membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar melalui Perpres Nomor 87 Tahun 2016. Selain itu, penggunaan anggaran belum sepenuhnya berorientasi pada hasil, standar kinerja serta monitoring dan evaluasi kurang diperhatikan. Di sisi lain, reward dan punishment belum berjalan baik, masih rendahnya tingkat akuntabilitas dan transparansi, belum adanya standar pelayanan publik, serta sebagian besar pegawai pemerintah daerah tidak memahami visi dan misi organisasi pemerintah daerah.

Saat ini capaian reformasi birokrasi pemerintah daerah seringkali ditandai dengan adanya sistem remunerasi, yaitu diberikannya kompensasi kepada pegawai atas imbalan jasa yang telah dikerjakan, biasanya diberikan dalam bentuk tunjangan kinerja. Namun reformasi birokrasi dalam bentuk remunerasi kurang memberikan pengaruh yang besar terhadap outcomes pemerintah daerah. Seharusnya pemberian remunerasi tidak hanya berdasarkan penilaian admninistrasi semata, tetapi pada penilaian publik juga. 

Selama ini masyarakat tidak mengetahui seperti apa penerapan sanki terhadap pegawai ASN yang terlibat penyimpangan. Selain itu sistem merit dalam birokrasi pemerintahan daerah belum berjalan dengan baik. Sistem merit yang seharusnya dilakukan atas dasar kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang tinggi belum sepenuhnya di terapkan di pemerintahan daerah. Bahkan sering sekali terjadi praktik jual beli jabatan yang dilakukan kepala daerah dibantu staf khususnya, selain itu pembentukan panitia seleksi pada pemilu maupun pilkada sering kali direkayasa sesuai dengan selera, sehingga hasil akhirnya telah dikantongi sebelumnya. 

Selain capaian reformasi birokrasi tersebut, hal lainnya ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi oleh pemerintah daerah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, namun masih banyak pemerintah daerah baik tingkat provinsi/kabupaten/kota yang belum mampu membuat suatu website pemerintahannya, dengan alasan terkendala dalam anggaran, jaringan untuk mengakses website, dan rendahnya pengetahuan SDM terkait teknologi informasi. Sedangkan, pembinaan dari pemerintah pusat juga kurang.

Pelayanan publik seringkali dijadikan ukuran paling mudah dipahami oleh masyarakt sejauh mana kinerja pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan. Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati oleh masyarakat, hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, kurang responsif, dan lain-lain. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah. 

Menurut Mohamad dalam Bappenas (2004), untuk mewujudkan birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik dibutuhkan beberapa kriteria seperti:

1) Memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat; 2)Memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan di daerahnya; 3)Menerapkan sistem kompetisi dalam penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas; 4)Berfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil; 5)Mengutamakan kebutuhan masyarakat; 6)Pemerintah berperan untuk memperoleh saran dan masukan dari masyarakat terkait pelayanan yang telah diberikan; 7)Mengutamakan antisipasi terhadap permsalahan pelayanan; 8) Mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan; 9)Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.

Nama : Roudhotul Jannah 

Prodi : Administrasi Publik 

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun