Mohon tunggu...
Roudhotul Esa Maharani
Roudhotul Esa Maharani Mohon Tunggu... Lainnya - Social Worker

Welcome to our platform for sharing meaningful information.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tren Kasus Perkawinan Anak di Indonesia: Faktor Penyebab, Dampak, dan Solusi

17 Juni 2022   03:13 Diperbarui: 17 Juni 2022   03:18 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan anak merupakan perkawinan yang salah satu atau kedua mempelainya masih berusia anak. Anak dilarang untuk melakukan perkawinan karena dinilai belum memiliki kematangan fisik, fisiologis, dan psikologis untuk mempertanggung jawabkan pernikahan dan anak hasil pernikahan tersebut. 

Hal ini dikuatkan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin menikah di bawah usia 19 tahun maka harus mengajukan dispensasi kawin. 

Dispensasi kawin adalah sebuah upaya bagi seseorang yang ingin menikah namun belum mencukupi batas usia untuk menikah, sehingga harus mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama melalui proses persidangan.

Berdasarkan data Badang Peradilan (Badilag) pada 2019 terdapat 25.280 kasus pengajuan dispensasi kawin. Pada 2020 angka melonjak hingga 65.301 kasus dan 2021 masih tinggi dengan jumlah 63.350 kasus. Artinya terdapat peningkatan sekitar 300 persen. Selain itu, menurut Yulina Eva Riany (Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University) bahwa kasus pernikahan anak di Indonesia menempati peringkat ketujuh sedunia.

Berdasarkan modul informasi kesehatan reproduksi sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan (Yayasan Kesehatan Perempuan). Bahwa beberapa penyebab terjadinya kasus perkawinan adalah sebagai berikut :

  1. Budaya : pada beberapa wilayah di Indonesia masih meyakini bahwa perempuan akan lebih terhormat jika menjadi seorang janda daripada perawan tua. Oleh karena itu, masyarakat mendorong setiap individu utamanya perempuan untuk segera menikah, bahwa melakukannya di usia anak-anak.
  2. Kemiskinan : pada wilayah-wilayah miskin yang ada di Indonesia memiliki praktik eksploitasi terhadap anak. Anak perempuan di desa dijadikan komoditas agar mendapatkan manfaat ekonomis dari anak perempuan tersebut, orang tua memilih menikahkan anak mereka pada usia anak. Hal ini biasanya anak perempuan tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tua yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini.
  3. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi : hal ini dapat menyebabkan remaja terjebak dalam pergaulan berisiko, hingga melakukan seks berisiko, kehamilan tidak diinginkan, dan terpaksa diakhiri dengan pernikahan anak.
  4. Penafsiran agama yang tidak kontekstual dapat menyebabkan perkawinan anak dianggap biasa. Anak yang sudah "dewasa" dalam pengertian agama biasanya ditandai dengan datangnya haid pada anak perempuan dan mimpi basah pada anak laki-laki. Perkawinan yang seperti ini dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan rawan perceraian.
  5. Pengalihan tanggung jawab : menikahkan anak melepaskan tanggung jawab orang tua untuk menjaga anak perempuannya dari dampak negatif pergaulan.

Perkawinan anak memberikan dampak yang negatif terhadap anak-anak. Dengan melakukan perkawinan di usia anak maka mereka akan mengakhiri masa remajanya dan fokus untuk mengurus rumah tangga. Apabila seorang anak menjadi istri atau suami pada usia anak maka akan berdampak pada kondisi kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan psikologi  

Dampak perkawinan anak dari segi kesehatan : 

Apabila seorang anak hamil dan melakukan persalinan dini maka akan rawan terjadinya kematian ibu ataupun anak. Karena anak perempuan yang berusia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar meninggal saat persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun. 

Selain itu, pada usia anak, mereka dikhawatirkan belum dapat mengomunikasi seks aman, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap penyakit infeksi menular seksual (IMS) serta rawan terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Dampak perkawinan anak pada pendidikan dan ekonomi : 

Ketika seorang anak melakukan perkawinan, maka mereka dapat terancam untuk berhenti mengenyam bangku sekolah, karena mereka memiliki tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga mereka. Ketika anak dan remaja harus putus sekolah maka dikhawatirkan mereka belum memiliki keterampilan untuk bekerja, sehingga akan berdampak pada pendapatan yang rendah.

Dampak perkawinan anak pada aspek psikologi : 

Saat anak-anak memasuki bahtera rumah tangga tentunya bukan hal yang mudah. Remaja cenderung belum mampu untuk mengelola emosi dan mengambil keputusan dengan baik. Akibatnya saat mengalami konflik rumah tangga maka sebagian pasangan suami-istri remaja menggunakan jalan kekerasan, karena hal ini adalah manifestasi dari gangguan mental seperti depresi.

Setelah mengetahui terkait dengan penjelasan perkawinan anak di atas yang meliputi kasus perkawinan anak di Indonesia, faktor penyebab, dan dampak dari adanya kasus perkawinan anak. 

Maka selanjutnya adalah penting untuk menemukan solusi terkait dengan masalah tersebut. Masalah perkawinan anak harus mendapatkan intervensi dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, komunitas sosial, lembaga pendidikan, keluarga, dan anak. Pemerintah harus berupaya untuk menguatkan peraturan tentang pencegahan perkawinan anak di Indonesia, 

komunitas sosial diharapkan dapat menyebar luaskan informasi terkait dengan dampak negatif perkawinan anak dan memberikan pengetahuan kesehatan reproduksi kepada para anak serta remaja, 

lembaga pendidikan juga diharapkan dapat mendukung pencegahan perkawinan anak dengan memberikan edukasi terhadap para murid di sekolah, keluarga juga memiliki peranan yang sangat penting untuk membina dan menjaga anak agar tidak melakukan perkawinan anak, serta anak harus mampu memutuskan untuk tidak melakukan perkawinan anak melalui informasi kesehatan reproduksi yang didapatkan dari sosialisasi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun