(Seri buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penulis membuat review ini dengan harapan menarik minat penerbit Indonesia untuk merilis mahakarya ini dalam bahasa Indonesia.)
Judul Buku : Name of The Wind, Wise Man’s Fear, beberapa novella terpisah
Penerbit : DAW Books
Tebal buku : 800-1000 halaman per buku
Genre : Fantasi, bildungsroman, filosofi, romansa
Rating : 10/10
“I want to show these flowers how pretty you are.”
Para penggemar literatur fantasi yang mulai muak dengan kebrutalan milieu realistisciptaan George R.R. Martin atau Joe Abercrombie, bersukacitalah! Mereka yang membutuhkan media eskapisme yang tak dangkal, diisi humor cerdas dan misteri yang menggelitik otak, bersoraklah! Telah tiba mahakarya tidak konvensional yang luput dari radar pembaca mainstream.
Buku ini begitu menggairahkan minat saya dalam literatur fantasi, yang selama ini bagi saya telah lama berkubang di dua lubang tanpa tangga naik : lubang fantasi realistis, yang kebanyakan menyelami isu politik dan sosial, lalu lubang fantasi hardcore, yangberkutat di dunia penuh sihir dan keajaiban. Patrick Rothfuss, selaku penulis Kingkiller Chronicle, meramu kedua unsur tersebut dengan cerdas, ditambahkan pula dengan banyak unsur menarik lain dalam literatur.
Mengusung tatanan cerita maupun gaya penceritaan yang merobek setiap lapisan pembatas antar genre, seri Kingkiller Chronicle adalah sebuah konflasi unik yang menggabungkan romansa puitis ditambah perjuangan wanita menyisipkan diri dalam dunia tak bersahaja ala Bronte bersaudari, perjuangan akademik penuh konflik ala Harry Potter, diskursus filosofis tentang eksplorasi kesadaran ala Robert Monroe. Tentu saja, ini adalah satu paket menarik yang sayang sekali untuk dilewatkan.
Seri ini menceritakan tentang seorang legenda bernama Kvothe. Setiap orang mengenal namanya, namun tidak tahu kebenaran mengenai hidupnya. Yang mereka tahu, ia adalah seorang penakluk naga, pembunuh raja, politikus muda yang berhasil memperoleh tempat sebagai tangan kanan raja, pemercik api perang dan pemusik yang telah menumpahkan air mata para putri.
Pada usia yang tergolong masih muda, Kvothe menghilang tanpa jejak. Ada yang beranggapan bahwa ia telah tewas karena obsesi tidak natural yang dimilikinya, ada yang beranggapan bahwa ia tertangkap oleh musuh lama.
Seorang penulis sejarah yang disebut sebagai Chronicler dirampok oleh pasukan korup bawahan raja dalam perjalanan. Deretan kemalangan yang menimpa mengarahkannya pada sebuah penginapan terpencil. Analisis sederhana mendorongnya pada sebuah kesimpulan bahwa penginapan terpencil itu dimiliki oleh Kvothe yang menyamar demi menjalani hidup normal sebagai manusia biasa.
Desakan Chronicler untuk memiliki rekam sejarah kehidupan nyata Kvothe mengawali kisah kelam peretak jiwa ini. Kvothe menumpahkan kisah hidupnya dari sudut pandangnya sendiri, mulai dari awal kehidupannya sebagai pemusik jalanan hingga menjadi seorang legenda yang dibenci maupun dicintai.
Penceritaan kisah ini dilakukan dengan sajian pace cepat namun tidak seperti novel cepat lainnya yang terjebak dalam kungkungan pengkotakan genre. Patrick Rothfuss tidak lupa menyisipkan pandangan cerdas Kvothe terhadap isu-isu yang berputar di sekelilingnya, entah itu persahabatan, politik, lingkungan, kesehatan dan seksual. Humor-humor cerdas maupun kalimat prosaik membuat ratusan ribu kata yang beredar dalam seri buku ini terkesan tak satupun sia-sia.
Sistem sihir dalam kisah ini begitu tertata dengan baik. Begitu melekat dalam universe yang ditampilkan, hingga terkesan tidak dipaksakan. Tak seperti novel fantasi lain kebanyakan, Rothfuss bahkan mencoba menjelaskan mekanisme sihir dalam kisah ini dengan penjelasan fisikawi yang cukup simpel.
Pendalaman kultur dilakukan dengan begitu serius. Setiap folklore, budaya, peradaban, sistem pemerintahan sebuah kerajaan dikupas tuntas hingga kita akan merasa dunia ciptaan Rothfuss ini benar nyata. Kekayaan sejarah juga menjadi nilai plus. Setiap kejadian masa lampau dalam kisah ini menjadi batu pijakan bagi cara berpikir maupun berperilaku setiap karakter.
Chiaroscuro kondisi kejiwaan Kvothe adalah salah satu unsur terbaik dalam novel ini. Kita bisa melihat kekelaman, kegelisahan maupun gairah karakter utama kita melalui rangkaian kata yang dibuat dengan begitu indah oleh Patrick Rothfuss.
Satu unsur yang pantas mendapat plaudit paling besar dalam kisah ini adalah romansa. Setiap dialog antar dua insan begitu cerdas, terkadang menggelitik, terkadang polos, terkadang menyisipkan innuendo seksual. Meskipun bersettingkan di dunia fantasi, romansa di sini begitu terkesan natural, hingga pada momen tertentu mungkin kita akan terkenang sendiri kisah asmara masa lalu.
Tentu saja saya ingin melayangkan kredit terbesar pada arsitek kisah ini, Patrick Rothfuss. Keberhasilannya menciptakan sebuah mahakarya prosaik ini pantas mendapat sorotan lebih. Pendalaman psikologi yang dilakukannya sangat berpengaruh dalam penciptaan karakter penuh warna namun realistis dalam kisah ini.
Sebagai pembaca yang berpengalaman membaca puluhan karya fantasi, saya berani menetapkan seri ini sebagai seri fantasi terbaik melebihi banyak karya legendaris. Apabila Patrick Rothfuss berhasil mempertahankan kualitas dalam novel-novel berikut yang akan diterbitkannya, pantaslah ia bersanding dengan nama-nama seperti J.R.R Tolkien, William Tad, Robert Jordan, Eric Rucker Eddison dalam pantheon fantasis legendaris.
Quote Favorit
1.“You see, women are like fires, like flames. Some women are like candles, bright and friendly. Some are like single sparks, or embers, like fireflies for chasing on summer nights. Some are like camprfires, all light and heat for a night and willing to be left after. But some women are like hearthfires, not much to look at but underneath they are al warm red coal that burns a long, long while.”
2.“Words are pale shadows of forgotten names, words have power. Words can light fires in the minds of men. Words can wring tears from the hardest hearts.”
3.“Perhaps the greatest faculty our minds possess is the ability to cope wth pain.”
4.“You lack the requisite spine and testicular fortitude to study under me.”
5.“Anyone can love a thing because. That’s as easy as putting a penny in your pocket. But to love something despite. To know the flaws and love them too. That is rare and pure and perfect.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H