Sistem kurs mata uang global mengacu pada cara nilai tukar antara berbagai mata uang diatur dan ditentukan. Ada beberapa jenis sistem kurs mata uang global, termasuk:
1. Sistem Kurs Tetap: Di mana nilai tukar mata uang ditetapkan oleh pemerintah atau bank sentral dan dipertahankan melalui intervensi pasar. Contohnya adalah Standar Emas yang sudah tidak digunakan lagi secara luas.
2. Sistem Kurs Mengambang: Di mana nilai tukar mata uang ditentukan oleh kekuatan pasar, dengan intervensi pemerintah atau bank sentral yang minimal. Nilai tukar ini dapat berfluktuasi berdasarkan permintaan dan penawaran pasar.
3. Sistem Kurs Terkendali: Di mana pemerintah atau bank sentral membiarkan nilai tukar mengambang dalam kisaran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan intervensi terbatas untuk menjaga nilai tukar tetap dalam kisaran tersebut.
4. Sistem Kurs Mengambang Terkendali: Ini merupakan campuran dari kedua sistem sebelumnya, di mana nilai tukar mata uang dapat mengambang, tetapi pemerintah atau bank sentral tetap terlibat dalam intervensi pasar untuk mencegah fluktuasi yang terlalu besar.
Pada dasarnya, sistem kurs mata uang global mencerminkan upaya untuk mengatur nilai tukar antara mata uang untuk memfasilitasi perdagangan internasional dan stabilitas ekonomi global.
Salah satu contoh konflik kurs mata uang yang terkenal adalah Krisis Keuangan Asia tahun 1997. Pada saat itu, sejumlah negara di Asia Tenggara mengalami tekanan besar pada mata uang mereka karena spekulasi pasar dan ketidakstabilan ekonomi internal.
Beberapa faktor yang menyebabkan konflik kurs mata uang ini antara lain:
1. Spekulasi pasar: Para spekulan pasar melakukan serangan spekulatif terhadap mata uang negara-negara Asia Tenggara, memaksa devaluasi mata uang dan memicu tekanan lebih lanjut.
2. Ketidakseimbangan neraca pembayaran: Banyak negara di kawasan tersebut mengalami defisit neraca pembayaran yang tinggi, yang meningkatkan kerentanan terhadap serangan spekulatif dan tekanan pada mata uang.
3. Tingginya ketergantungan pada modal asing: Banyak negara di Asia Tenggara bergantung pada modal asing untuk mendanai pertumbuhan ekonomi mereka. Ketika investor asing menarik modal mereka kembali, hal ini dapat menyebabkan depresiasi mata uang.