Setiap makhluk yang tercipta di alam semesta hanyalah tokoh yang diberi peran. Jadi ingat, seorang bijak pernah mengibaratkan manusia itu layaknya wayang. Ia berperan sesuai lakon yang telah digariskan dalang. Lucunya, setiap tokoh punya lakonnya masing-masing, dan dalang, tak pernah kehabisan akal untuk memperlama pertunjukannya. Semua wayang mendapat perannya, tidak semua menjadi ksatria, bukan? Tidak pula, semua menjadi rakyat biasa. Mereka mendapat peran sesuai porsi dan kembali ke peti saat mereka tak diperlukan lagi. Tak perlu menunggu pertunjukannya selesai.
Namun, jangan sekali-kali mencoba untuk pulang sendiri. Jangan merusak jalan ceritanya. Jangan. Seberat apapun cerita yang telah digaris, pulang tanpa dijemput adalah hal yang buruk. Rupanya, dalang bisa ngamuk.
_
Begitulah kiranya aku menafsirkan kematian hari ini. Berduka terlalu lama hanya akan membuat luka semakin menganga. Harusnya minggu lalu sudah kering, tapi hari ini luka itu seperti terkena air cuka. Lebih perih dari hari pertama. Tak kuat melangkah, tak kuat bicara, bahkan menghirup udara, terlalu berat untuk kulakukan. Badan pun lebih layak disebut zombie, kurus, tremor, mata sayu, dan kulit pucat.
Sebelum benar-benar enyah, kusempatkan untuk mengelilingi tempat-tempat masa kecil yang indah. Masjid depan TPU, tempatku dulu mulai mengenal cinta pertamaku. Berlari-lari dari rumah hanya ingin melihat gadis kecil anak pak kyai Burhanuddin tengah menyapu masjid. Untuk persiapan mengaji sore, katanya. Entah apa kabar gadis itu, sudah 19 tahun aku tak bertemu dengannya. Orang bilang, ia dibawa saudagar kaya dari Brunei untuk dipersunting. Entahlah, dia memang lebih pantas dengan orang itu.
Selepas memutari bibir masjid, langkahku menuju kantor perusahaan minyak kelapa, tempatku bekerja. Saat ini masih sepi, tampak dari jauh hanya 10 orang satpam yang sedang apel pagi. Pemandangan yang normal. Begitu pula kala aku menaiki tangga, tertangkap olehku seorang perempuan muda berhijab merah jambu telah duduk manis di kursi yang telah lama kupesan. Entah kenapa, kursi itu tak kunjung datang hingga hari dimana aku memutuskan pergi.
Sebelas detik kemudian, datang segerombolan teman kerjaku. Bercanda tawa, dan sedikit menggoda dua orang teman kami yang baru melangsungkan pernikahan, lima hari lalu. Mereka tampak normal dan baik baik saja. Tidakkah mereka merasa kehilangan aku?
Segera kutinggalkan kantor dan menuju tempat selanjutnya. Waktuku tidak banyak. Langkah selanjutnya adalah menuju rumah tunanganku. Ya, Perempuan yang terakhir kulihat sedang menggunakan gaun putih dan pita merah di sebagian rambut yang terikat. Mengingatnya lagi, membuatku tersenyum.
Rumah itu terlihat ramai. Beberapa orang menenteng piring-piring berisi nasi dan lauk-pauk khas minang yang membuatku turut merasakan lapar. Yang pertama kali kutuju adalah jalan belakang rumahnya yang langsung menghadap ke jendela kamar. Jendela itu dibiarkannya terbuka. Kelambu kasur juga tersingkap rapat ke arah kanan kiri. Tunanganku sedang duduk dengan pakaian adat khas pernikahan. Adapula, disisinya perempuan tua yang telah bersolek ria, mengoleskan warna-warna di kelopak mata, ibu mertua. Mengapa tunanganku tak pernah membicarakan akan ada perayaan sebesar ini?
Rupanya dugaanku hari ini benar. Tak habis pikir pada perempuan yang sudah kurela-relakan kerja banting tulang hingga jauh ke perantauan demi meminangnya, kini dengan jiwa lapang menerima pinangan dari lelaki lain. Tak sabarkah ia menungguku? Berlinang sudah air mata menangisi keputusan yang telah ia buat. Terkejut aku, saat seseorang yang gagah nan tampan rupawan keluar dari mobil mewah yang berjajar 10 rombongan. Bangsawan Johor. Baru kusadari, lelaki-lelaki negeri sebrang banyak menaruh minat pada perempuan-perempuan ranah minang.
Tak ingin memperlama sakit, kuputuskan segera pulang. Luka di tangan kiriku telah mencapai puncaknya. Harus segera kubawa ke dokter. Jika tidak, mungkin nyawa ini akan benar-benar melayang.