Mohon tunggu...
Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Teruntuk dan Karena CintaNYA

pelajar yang belum juga terpelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai-Nilai Sufisme untuk Menangani Kasus Korupsi di Negara Indonesia

24 Agustus 2022   16:44 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:44 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Zuhud secara umum difahami berarti meninggalkan dunia dan meninggalkan cinta kepada dunia artinya mengosongkan hati dari cinta kepada dunia, terutama pada masa modern saat ini. Zuhud adalah persoalan hati, bukan fisik, yakni membersihkan diri dan hati dari sifat tamak, rakus dan cinta harta serta cinta dunia. Zuhud juga sering diartikan dengan asketisme, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan kemewahan material.[4] Zuhud juga dipahami sebagai sikap melepaskan diri dari ketergantungan duniawi dan semua hal yang bersifat bendawi dan segala atributnya, dengan mengutamakan kepentingan ukhrawi. Al-Qushairi berpendapat bahwa zuhud adalah sikap tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangan dan tidak merasa sedih jika kemewahan itu hilang dari tangannya. Jelasnya, zuhud menekankan keutamaan mengurangi keinginan terhadap kehidupan dunia yang sifatnya sementara, jika seseorang tergoda dengan kehidupan yang sementara ini dia akan jauh dari Allah Swt. 

 Imam al-Ghazali memberikan pendapat bahwa zuhud itu terdapat dua kategori, yaitu zuhud yang berada dalam kapabiltas manusia dan zuhud yang diluar kapabilitas tersebut. Jika seseorang sudah tidak lagi mengejar kesenangan dunia yang luput darinya dan mau berbagi kesenangan dunia yang ia miliki kepada sesama, kemudaian hatinya tidak memiliki hasrat untuk meraih kesenangan dunia, tetapi segalanya hanya dimaksudkan untuk meraih ridla Allah dan pahala-Nya yang agung dengan banyak mengingat madharat-madharatnya, maka ketika itu berarti ia telah dikaruniai rasa ketidak-inginan terhadap dunia.

 Revitalisasi sikap zuhud dalam kehidupan para pejabat menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, pengambilan keputusan yang tidak berpihak pada rakyat serta orientasi kekayaan pribadi, kelompok dan golongan dalam setiap program pemerintah. Jika kesalehan sosial dimiliki oleh para pengambil kebijakan dan pelaksana keputusan (legislatif dan eksekutif) maka kesejahteraan rakyat akan dapat diwujudkan dalam setiap program kerja pemerintah. Setelah memiliki sifat zuhud manusia akan sadar bahwa tiada guna dan manfaatnya ia melakukan korupsi. Sebab, pada kenyataannya hal paling diinginkan setiap orang adalah ketenangan batin. Walaupun hasil korupsi itu ia gunakan untuk beribadah haji berulang-ulang, namun ibarat mandi dengan air kotor, maka kebersihan hati pasti tidak akan didapatkan. Dengan kesadaran seperti itu orang akan berpikir seribu kali untuk menjadi koruptor. Karena itu, zuhud menuntun orang menjauhi hal-hal yang sekiranya tidak akan memberi manfaat bagi kehidupannya kelak di akhirat.

[1] Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Cet. 5. Jakarta, Penerbit Erlangga, 2009, h.

[2]  Supian Sauri, Maqomat Tasawuf dalam terapi Korupsi, Jurnal Studi Quran, Jambi University, Vol. 13, No. 2, 2017

[3] Abu Nasr al-Sarraj, Kitab al-luma' fi al-Tasawwuf, ditahqiq oleh Dr. Abdul Halim Mahmud. (Mesir & Baghdad: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960),hh, 82- 104

[4] Ali Akbar bin Aqil, "Hidup Sederhana Dengan Zuhud" dalam Cahaya Nabawiy Majalah Dakwah Islam Menuju Ridho Ilahi, Edisi No. 147 Th. IX, hlm. 105

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun