Oleh: Rosyidah Purwo*)
Suatu pagi yang cerah. Seorang kawan bercerita kepada saya tentang anak-anak didiknya yang konon ceritanya, anak-anak di sekolahnya sangat susah diatur. Saking susahnya, sampai-sampai kepala sekolahnya menangis. Saya terdiam mendengar ceritanya.
"Masa sampai sebegitunya?" tanya saya sedikit guyonan.
"Benar sekali. Saya yang merasakan sendiri," katanya menggebu-gebu. Saya tersenyum.
"Saya senang sekali melihat anak-anak di sini. Enak diatur," katanya (sepertinya si terkagum-kagum).
Sebagai guru dari anak-anak yang konon mudah diatur, tentu saja saya cukup bangga. Meskipun dalam hati berkata (masa se? Apa tidak salah penilaiannya?). Sepertinya tak ada salahnya juga, apabila rasa bangga itu muncul. Bukankah benar atau tidaknya, baik atau buruknya sesuatu adalah orang lain yang menilai? Mudah-mudahan apa yang dikatakan kawan saya ini tidak dibuat-buat.
"Jangan begitu. Jenengan berlebih-lebihan menilainya. Mungkin ini hari pertama, jadi belum ketahuan aslinya," kata saya menanggapi.
"Oh tidak. Ini benar, Bu. Saya kalau mengajar di sana mbok, sampai membawa gitik," katanya masih menggebu-gebu. Ingin tertawa rasanya saya melihat ekspresi wajahnya.
(Syukur Alhamdulillah kalau betul demikian, batin saya barkata).
Kaitannya dengan kasusnya kawan saya ini adalah pengalaman saat 11 tahun silam. Saat saya masih menuntut ilmu di bangku SMA.
Masih terekam dengan baik di memori ingatan saya. Saat itu, saya nyambi belajar agama di sebuah pesantren di wilayah Purwokerto. Di pesantren itu saya termasuk salah satu murid yang paling tidak bias membaca Al Quran. Di antara teman-teman di sana, saya adalah murid paling tidak bias. Bagaimana tidak, teman-teman saya yang masih duduk di bangku SD sudah mencapai hafalan surat Yasin, sementara saya masih hafalan surat Al Fatehah.