Hidup memang tak semudah membalikkan telapak tangan, hidup memang penuh perjuangan. Terlebih saat ini kita hidup di zaman yang terkenal dengan sebutan era milenial, era digital, era 4.0, dimana era ini merupakan era yang maju, era yang membutuhkan teknologi canggih, dan membutuhkan kelihaian dalam mengoperasikan alat-alat digital. Saat ini tenaga manusia dikalahkan oleh tenaga mesin, dimana banyak sekali perusahaan-perusahaan yang dulunya membutuhkan banyak tenaga manusia, sekarang hanya membutuhkan tenaga mesin. Selain canggih, mesin pun bekerja lebih cepat dan lebih efektif daripada tenaga manusia. Akibatnya pengangguran pun merajalela. Diluar sana banyak sekali manusia-manusia yang kelaparan, tak sedikit dari mereka, menggantungkan hidupnya kepada tetangga.
Kamis, 07 April 2022 sekitar pukul 10.11 WIB. Aku berkunjung ke rumah salah satu warga Kelurahan Sumbersari Kota Malang untuk bersilaturahmi. Aku pergi ke sana diantarkan oleh Bapak Imam selaku ketua RT di salah satu daerah di Kelurahan Sumbersari Kota Malang. Aku diantarkan ke rumah seorang warga yang telah berusia lanjut. Mbah Sanatun namanya, beliau kurang lebih berusia70 tahun. Dengan kondisi Kesehatan yang kurang baik, penglihatan beliau yang mulai berkurang, pendengaran beliau pun juga mulai berkurang, dan kaki beliau pun sudah susah untuk di ajak berjalan jauh. Â Beliau hidup seorang diri tanpa suami dan tanpa putra putri.
Ketika aku menginjakkan kaki kerumah beliau, aku sangat terkejut. Rumah Mbah Sanatun berukuran sangat kecil, gelap, sedikit berdebu dan sedikit pengap. Di usia Mbah Sanatun yang berkisar 70 tahun, menurutku tempat itu kurang sehat untuk beliau, dan tentunya kurang nyaman untuk beliau. Mbah Sanatun yang mengetahui kedatanganku sangat bahagia. Bapak Imam pun segera memperkenalkanku kepada Mbah Sanatun dan mempersilahkanku untuk berbincang dengan Mbah Sanatun. Mbah Sanatun pun dengan senang hati mempersilahkanku duduk disampingnya. Saat itu perasaanku bercampur aduk, antara sedih, senang dan bersyukur. Tak lama kemudian aku dan Mbah Sanatun berbincang-bincang santai. Beliau bercerita padaku bahwa sebenarnya beliau dahulu mempunyai seorang suami, tetapi suaminya telah meninggal dunia sekitar 5 tahun yang lalu. Mbah Sanatun dan suaminya memang tidak memiliki seorang putra maupun putri.
Mbah Sanatun juga bercerita, bahwa dahulu sang suami bekerja sebagai tukang becak, dan menunggu penumpang di pinggir jalan raya. Beliau mengatakan biasanya sang suami dahulu setiap hari setelah pulang dari bekerja memberi Mbah Sanatun uang sebesar 20 ribu. Setelah mendapatkan uang 20 ribu, Mbah Sanatun segera membeli beras dan lauk seadanya untuk makan bersama sang suami. Tetapi sepeninggalan suaminya, Mbah Sanatun hidup seorang diri dengan mengandalkan pemberian tetangga. Aku sangat senang mendengar bahwa tetangga dari Mbah Sanatun banyak sekali yang peduli kepada beliau, banyak tetangga beliau yang bergantian memberikan uang ataupun sedikit makanan yang dipunya untuk Mbah Sanatun. Tak jarang pula, ada tetangga yang memberikan beliau sembako. Tetapi sembako itu dijual kembali oleh Mbah Sanatun, karena beliau merasa tidak butuh sembako, beliau lebih membutuhkan uang.
Ibu Yuni selaku tetangga beliau juga bercerita, bahwa Mbah Sanatun ini suatu ketika pernah meminta-minta di jalanan sambil menari-nari. Apabila ada orang yang tidak memberinya, Mbah Sanatun merasa marah, hal tersebut dilakukan karena beliau benar-benar merasa kehabisan uang dan sangat membutuhkan uang. Ibu Yuli juga mengatakan, bahwa Mbah Sanatun terkadang menolak jika diberi makanan oleh tetangganya, karena merasa tersinggung, Tetapi apabila diberi sejumlah uang beliau selalu menerimanya, dengan memiliki uang beliau dengan mudah membeli makanan, karena dengan usia beliau yang sudah lanjut dan tenaga yang mulai melemah kemungkinan kecil untuk beliau memasak.
Ibu Yuli juga bercerita bahwa Mbah Sanatun ini terkadang merasa bosan, depresi dikarenakan hidup seorang diri dengan keterbatasan fisik dan ekonomi. Bahkan Mbah Sanatun pernah beberapa kali berteriak-teriak dan ingin mengakhiri hidupnya, ingin menyusul suaminya yang telah meninggal. Tetapi tetangganya selalu menenangkan beliau, dan memaklumi beliau karena usianya, dan karena keterbatasan fisik serta ekonominya.
Tetapi di balik perjalanan hidup Mbah Sanatun yang penuh dengan lika-liku, Mbah Sanatun masih sering beribadah, beliau terkadang juga menunaikan sholat di Masjid terdekat bersama tetangganya. Ketika aku berbincang dengan beliau, tak jarang pula beliau mengucapkan kalimah thoyyibah seperti "Alhamdulillah" dan "Astaghfirullah". Dengan keadaan yang ada, beliau tidak melupakan Tuhannya beliau juga selalu tersenyum ketika berbicara dengan orang lain. Tak hanya itu, beliau juga masih memiliki semangat walaupun terkadang ada kalanya beliau merasa tertekan dan merasa depresi karena keadaaannya. Dan dari kisah beliau yang meminta-minta karena kehabisan uang, kita dapat ambil pelajaran bahwa seorang Mbah Sanatun dengan usianya yang sudah lanjut, beliau masih berusaha semampu beliau untuk mendapatkan uang.
Bagaimana? Sudahkah kalian bersyukur hari ini?
Cerita diatas merupakan salah satu bukti nyata, bahwa masih banyak diantara kita orang yang hidupnya berada di bawah. Kita yang hidup serba berkecukupan, makan dengan lahap dan nikmat, bepergian dengan mudah, dan tidur dengan nyenyak, seharusnya lebih bersyukur dan lebih bisa mengungkapkan rasa syukur kita atas segala nikmat yang diberikan Tuhan. Dan jangan lupa, bahwa di dalam harta kita, terdapat hak-hak orang lain yang lebih membutuhkan. Jadi, jangan lupa untuk berbagi, karena berbagi yang disertai dengan rasa ikhlas tidak akan menguras harta kita, bahkan dapat menambah nikmat kita. Dan In Sya Allah menjadi ladang pahala bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H