Santri secara umum adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut Gus Mus santri adalah murid kyai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat. Santri juga kelompok yang mencintai negara, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya walaupun sudah tiada.Â
Santri adalah seseorang yang menyayangi sesama hamba Allah; yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar; yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah mendapat ridha tuhannya. Santri ialah hamba yang bersyukur.
Selama ini, istilah santri sudah tak asing lagi bagi kita. Namun, bagaimana asal usul istilah santri? Salah satu versi mengenai asal usul istilah "santri", seperti dikutip dari buku Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan (2001) karya M. Habib Mustopo, mengatakan kata "santri" berasal dari bahasa Sanskerta yaitu sastri yang artinya "melek huruf" atau "bisa membaca".Â
Versi ini terhubung dengan pendapat C.C. Berg yang menyebut istilah "santri" berasal dari kata "shastri" yang dalam bahasa India berarti "orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu".Â
Menurut K.H Abdullah Dimyathy kata santri terdiri dari 4 huruf hijaiyah yaitu sin, nun, ta, ro. Sin merujuk pada kata satrul al 'awroh atau "menutup aurat"; huruf nun berasal dari istilah na'ibul ulama yang berarti "wakil dari ulama"; huruf ta' dari tarkul al ma'ashi atau "meninggalkan kemaksiatan"; serta huruf 'ro dari ra'isul ummah alias "pemimpin umat".
Gus Reza Lirboyo dawuh bahwa santri disebut sebagai seorang yang intelektual, mengapa? Karena santri sudah menepati syarat-syarat intelektual. Menurut ulama dari Perancis syarat untuk bisa dikatakan intelektual ada tiga yaitu seseorang yang dapat berfikir dengan kritis, memiliki penelitian/pengalaman dan refleksi tentang masyarakat .Â
Tiga syarat ini sudah masuk ke dalam santri. Santri itu memiliki pemikiran yang kritis, ada sebuah kisah seorang kyai menghukum para santri karena melanggar peraturan dengan hukuman masuk ke dalam kolam ikan lele dan dilarang naik sebelum sang kyai memerintahkan naik.Â
Pada saat itu sang kyai lupa jika menghukum santrinya di kolam lele, setelah diingatkan oleh bu nyai, kyai tersebut memerintahkan santrinya untuk naik dan membersihkan diri. Tak berapa lama, di pondok terlihat asap membumbung tinggi, Â kyai bertanya-tanya, dan mengira itu adalah kebakaran. Ternyata asap tersebut berasal dari santri-santri yang sedang membakar ikan lele yang didapat saat dihukum tadi. Nah, dari cerita tersebut kita tahu bahwa santri itu dapat berfikir dengan kritis secara sederhana, bisa mengambil kesempatan di tengah-tengah kesempitan.
Santri memiliki pengalaman yang tak kalah dengan orang-orang diluar sana. Santri disebut juga miniaturnya bhineka tunggal ika. Suatu pondok pesantren pasti memiliki santri dari berbagai daerah, didalam pondok, santri-santri akan berinteraksi satu sama lain yang berasal dari berbagai daerah, nah disinilah letak bhineka tunnggal ika nya. Insyaallah seorang santri jika sudah terjun di masyarakat, akan dapat menerima dan bergabung dengan semua orang dengan latar belakang berbeda, beda dan
Santri harus dapat merefleksikan diri di masyarakat. Seorang santri pasti memiliki himmah yang luhur untuk membenahi masyarakatnya. Saat ini permaslahan di masyarakat sangat kompleks, seorang santri tidak boleh terbawa oleh profokasi yang menyeret untuk lepas dari aqidah ahlu sunnah wal jamah, santri tidak diperbolehkan terprofokasi hanya karena perbedaan pendapat. Seorang santri harus bisa mengayomi lingkungannya.Â
Sejatinya santri benar-benar siap mengahadapi berbagai aspek kehidupan, karena di dalam pondok pesantren santri di didik dengan perspektif bahwa seorang santri ketika keluar dari pondok dapat menghadapi kehidupan nyata, dan dalam keadaan seperti apapun.Â