Hingga satu hari menjadi sekertaris suaminya pun telah usai. Pulang ke rumah suaminya tampak uring-uringan dari tadi, selepas makan siang bersama relasi perusahaannya. Rupanya, Akbar sangat cemburu melihat teman-teman relasinya yang kebanyakan kaum adam ini, mereka memandangi wajah istrinya dengan tatapan yang begitu intens, siapapun yang melihat wajah teduh seorang Aisha, seperti terbius mendapatkan ketenangan di dalamnya.Â
Padahal Akbar sangat tahu istrinya sangat menjaga pandangannya. Bahkan dia melihat ke arah lawan jenisnya tidak lebih dari tiga detik. "Bun, ayah kenapa sih, mukanya BeTe gitu?" tanya kakak pelan sambil menyenggol lengan bundanya yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. Hari ini karena tugas kuliahnya cukup banyak, akhirnya kakak ijin tidak ke kantor ayahnya. "Gak tau, dari tadi siang juga uring-uringan, tanya Ayah aja sana Kak! saran bundanya.
"Capek banget ya, Yah?" tanya kakak basa-basi. "Capek hati." Jawab ayah ketus sedikit melirik ke arah istrinya. Mendengar ucapan ayahnya, adik yang sedari tadi fokus dengan game di HPnya. Spontan melirik ke arah kakaknya. Mereka berdua menutup mulutnya menahan tawa, mereka sangat tahu ayahnya bucin akut pada bundanya sang bidadari surga. Adik kakak ini saling menatap, seolah berbicara pada matanya. Kakak memijit pundak ayahnya, dan adik memijit kaki ayahnya.
 "Yah, kalau menurut kakak sih, bunda itu ga cocok kerja di kantor ayah. Sayang banget istri secantik ayah banyak dilihat orang. Kebahagian bunda itu hanya satu yah... sekali ini aja, ijinkan bunda memiliki bayi lagi yah. Bukannya hidup dan mati itu hanya Allah yang tahu ya... Kenapa kita sering kali meragukannya? Kita minta pada Allah untuk menjaga bunda.Â
Bunda sehat dan debaynya tanpa kekurangan apapun." Kata-kata bijak anak pertamanya, seolah menusuk hati seorang ayah. "Bunda itu baik banget, Allah pasti kasih yang terbaik untuk bunda." timpal anak keduanya. Perlahan setetes air mata tampak mengalir di pipi bundanya, yang sedari tadi mendengarkannya di balik dinding ruang keluarga. Selepas makan malam, mereka menuju kamarnya masing-masing.
"Sayang, bunda janji jika ayah mengijinkan bunda hamil lagi, bunda akan jaga diri bunda dan dede bayinya. Bunda akan rajin minum vitamin, jaga kesehatan bunda, apa kata ayah, bunda nurut deh... bunda janji." Senyum lebar istri tercinta, binar mata kebahagian ketika suaminya mengiyakan keinginannya. Melepas kecemburuan, kesal, rasa uring-uringannya.Â
Solusinya menjadikan istrinya sebagai sekertarisnya, membuat hatinya gundah. Benar, solusi terbaik adalah mengijinkannya menghadirkan seorang anggota keluarga baru, menjadi penyejuk hati istrinya. "Ehm... kalau begitu, ayo kita shalat sunnah dulu bun, setelah itu kita lanjutkan sunnah berikutnya, agar bunda segera punya dede bayi perempuannya, love you bunda." bisik Akbar suaminya. "Love you too Ayahku, sayang." Cup... ayah mengecup kening bunda. Mereka berpelukan meluapkan kasih sayangnya.
Beberapa bulan berlalu, hingga akhirnya bunda dinyatakan positif hamil. Semua orang merasa sangat bahagia, mereka sangat bersyukur terlebih ketika beberapa bulan kemudian dokter mengatakan bayinya perempuan. Ibu mertuanya tentu saja, sangat bahagia mendengar akan lahir cucu perempuan yang telah dinantikannya.Â
Aisha seolah menjadi putri kesayangan untuk ibu mertuanya. Selama kehamilan, Aisha hampir tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan berat oleh ibu mertua dan suaminya yang sangat over protectif. Hingga menjelang kelahirannya, rasa cemas, takut, seolah monster yang menakutkan bagi Akbar, suaminya. Lintasan bayangan masa lalu, seolah menjadikan rekaman layar film yang berputar di pikirannya.
"Ayah, bunda baik-baik aja... ayah tenang ya... Bunda janji, bunda akan berjuang memberikan hadiah terindah untuk keluarga kita." Lirih bunda dengan lemasnya, menahan rasa sakitnya melahirkan. Anggukan yang lemah, dengan raut wajah yang begitu tegang tergambar jelas di wajah tampan seorang CEO ini. Air matanya tanpa terasa menetes tak tertahankan.Â
Situasi ini yang paling ditakutkan dalam hidupnya, ternyata harus terulang lagi. Tapi sekarang Akbar bersama kedua anaknya yang mendampingi, juga keluarga besarnya menemaninya di rumah sakit, juga kedua orangtuanya yang tahu persis traumanya.