“Akibat Mad Sondi melangkahi pagar orang.” Ucap Bi Juju yang menggelepar di kepalaku. Aroma kemurkaan yang meruap dari Dul Madi menggelayut di jiwaku. Mula-mula aku iba pada Dul Madi, tetapi seusai mendengar latar belakang perselingkuhan Rokiyah, istrinya, keduanya sama saja. Sama-sama saling menusuk. Ulah suami-istri itulah akibat Dul Madi asekep [1] celurit mendatangi Mad Sondi. Dan sebab kelaki-lakiannya, Mad Sondi menerima duel dari Dul Madi. Sejurus berikutnya Mad Sondi telah memegang celurit pula.
Sejatinya, selain karena rindu keluarga aku sekadar ingin memandang kedamaian desa seperti yang sudah-sudah. Menikmati suasana dan makanan khasnya. Tujuanku ke desa untuk menjernihkan hati dari kesumpekan suasana kota dan pelajaran di kampus.
Hari-hariku di kampus sudah membosankan. Demo pun tak semenarik kisah-kisah demo alumni beberapa tahun lalu pada masa Orde Baru. Aku pun sudah tak semangat menjadi aktivis sebagaimana saat menjadi mahasiswa baru. Aktivis pasca reformasi tak seheroik aktivis reformasi.
Malam itu, langkahku berpacu serupa lari kuda. Jujur saja, aku turut penasaran. Angin malam membelai-belai merinding sekujur kulitku. Aku membayangkan sesaat lagi ada darah yang tumpah, tubuh yang koyak, celurit yang menancap.
Sebagai mahasiswa, agen perubahan dan sosial kontrol, aku ingin sekali memisahkan Dul Madi dan Mad Sondi. Semua bisa diselesaikan lewat perundingan. Suami-istri tersebut sudah layu lalu gugur cinta masing-masing. Tetapi, kalau itu diperbuat, aku tak bisa mengetahui siapakah pemenang duel? Biarlah! Nyawa lebih berharga.
“Apa yang terjadi Bi Juju?” aku bertanya pada Bi Juju kronologi carok [2] itu.
“Akibat Mad Sondi melangkahi pagar orang,” sahutnya.
Bi Juju kembali berkata, “sebenarnya Rokiyah berbuat nista sebab Dul Madi suka bermain mata dan kepergok sering menggoda adiknya, Siti yang jadi janda.” Suami Siti, Lik Ridwan, wafat dalam kecelakaan kerja di kapal laut. Ketika menjadi TKI di Korea.
‘Alangka’a pagarra oreng’ orang kami menyebutnya. Diterjemahkan menjadi ‘melangkahi pagar orang’ yang punya makna merebut istri orang lain. “Tak sampai Rokiyah tidur dengan Mad Sondi. Tak ada buktinya. Tapi, Dul Madi yang dengar kabar kedekatan keduanya, langsung murka.” Sambung Bi Juju.
“Keduanya kepergok Bi?”
“Tidak. Dul Madi dengar kabar itu dari orang-orang gardu.”
Aku membayangkan kegeraman Dul Madi langsung tersirap. Jiwa heroik kelaki-lakiannya diinjak-injak. Tantangan duel itu bagiku bukan karena cintanya sebak pada Rokiyah. Aku yakin bukan soal itu. Aku yakin karena prinsip ‘ango’an pote tolang atembang pote mata’ yang terjemahnya ‘lebih baik putih tulang daripada putih mata’ adalah prinsip kejantanan. Mempertahankan harga diri. Istri yang direbut lelaki lain, artinya sang suami dibuat malu lelaki itu. Karenanya celurit harus diangkat. Dua lelaki harus berduel.
Sekonyong-konyong kala itu aku ingat Man Nandir, blater [3] di desaku. Hendaknya aku berlari lurus di pematang sawah. Senter di tangan sudah aku arahkan cahayanya ke depan. Tetapi tanpa tedeng aling-aling, aku lantas membelokkan badan. Bukan menuju muka rumah Mad Sondi, tempat Dul Madi dan Mad Sondi akan carok, tetapi menuju rumah Man Nandir.
Semoga saja tak terlambat! Semoga Dul Madi belum sampai di halaman rumah Mad Sondi!
Hanya Man Nandir yang mampu mencegah pertumpahan darah malam itu. Blater di desaku itu bukan preman. Lebih tepat disebut bagian keamanan. Beliau masih saudaraku, paman sepupuku. Bahkan di desa lain pun blater tak sebengis dan sekejam yang ditulis akademisi asal Belanda yang pernah aku baca bukunya soal Madura. Sialnya lagi, referensi-referensi tentang blater yang maksudnya sudah bergeser itu justru banyak dipakai para peneliti-peneliti sekarang ketika menulis karya ilmiah soal Madura.
Omong kosong! Padahal kebanyakan blater tak demikian: jagoan carok, pembuat onar, pemabuk, pemain sabung ayam, atau giat memalak demi kemanan seperti modus preman kota. Padahal ada kiai yang blater karena punya keberanian dan ilmu silat. Blater-blater itu punya undang-undang tata krama luhur. Mereka juga yang mengomandoi orang-orang untuk berperang melawan kesemena-menaan penjajah di masa lalu. Mereka keamanan di desa masing-masing. Kekeliruan besar saat blater dimaknai ibarat preman.
“Abah dapat undangan ceramah di Lombok. Abah berfirasat tak nyaman, mangkanya mengajak Pak Nandir. Beruntung waktu itu Pak Nandir turut mengawal. Mobil Abah yang melaju di jalan dicegat oleh komplotan bermuka seram. Nampaknya mereka preman. Di kawasan itu terkenal banyak preman. Dengan sigap dan ilmu beladirinya, Pak Nandir berhasil menghajar preman-preman itu. Jumlahnya enam.” Ra Maman, putra Kiai Subadar pernah bercerita soal Man Nandir. Sebutan ‘Abah’ merujuk pada Kiai Subadar.
Pernah seorang dari kecamatan sebelah melukai sapi karapan Pak Rusdan. Nama sapi itu Sang Naga. Menjadi jagoan penduduk desa dalam arena karapan. Tahun kemarin menyabet juara satu tingkat kabupaten dan juara dua tingkat Madura. Malam kejadian, seorang itu diperkirakan memakai ilmu sirep. Penghuni rumah Pak Rusdam terlelap serentak.
Beruntung Toifur menatap gelagat aneh seorang itu. Toifur mengikutinya. Mata Toifur menembak seorang itu menuangkan racun ke bak minum sapi Sang Naga. Serta-merta Toifur melesat ke gardu menemui orang-orang gardu. “Pembunuh Sang Naga!” kata Toifur. Kemurkaan menyala-menyala di wajah mereka. Beruntung Man Nandir mendengar kabar demikian. Dia mencegah amukan masa pada pemberi racun sapi Sang Naga.
“Biarkan jadi urusan polisi! Jangan dipukul! Jangan dibunuh! Jangan sampai desa ini menanggung dosa!” teriak Man Nandir malam itu. Seketika semua bergeming, tak ada yang berani bersuara dan bergerak barang senoktah. Kebetulan aku turut jadi saksi.
Aku buyarkan lamunan soal blater dan Man Nandir. Fokus berlari menembus pekat malam di pematang sawah kala itu. Rumah Man Nandir sudah tampak di depan sana. Aku sengaja lewat sawah begitu agar lebih lekas. Sekonyong-konyong kakiku terperosok. Salah satu sambungan urat mata kakiku bergeser. Tubuhku terjerembap lalu berguling ke sawah yang sudah masa tanam.
Aku kesulitan berlari lagi. Tetapi, aku punya tekad kokoh: hendak menjadi mahasiswa dan kelak sarjana yang benar-benar agen perubahan dan sosial kontrol. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri ketika hari penerimaan mahasiswa baru. Maka aku tetap berlari meski meringis.
“Bi Rima! Bi Rima!” aku sampai di balai-balai bambu depan rumah Man Nandir. Istri Man Nandir, Bi Rima keluar.
“Ada apa Mondir?”
“Paman ada Bi?”
“Pamanmu sedari selepas Isya keluar. Aku tak tahu ke mana. Dia tak bilang.”
Seketika kalut sudah diriku. Aku harus memisahkan sendiri duel mengerikan itu. Sebelum terlambat aku berlari menahan nyeri di kaki. Tentu saja ayunan langkah sebelah kakiku terpincang-pincang. Tak peduli rasa sakitnya, aku terus berlari secepatnya mengoyak jarak malam.
Dalam bayanganku darah sudah tumpah di halaman rumah Mad Sondi. Entah siapa yang menang. Barangkali imbang dan keduanya ditelan maut atau yang kalah saja dilahap maut sementara yang menang dibalut luka-luka. Aku terus memacu kaki. Beberapa orang desa ada di sana. Mereka pikir ini tontonan menarik? Bodoh! Upaya bunuh-bunuhan harus dituntaskan.
Ketika sampai, aku terlongong-longong. Jantungku yang mula-mula bergeletar menjadi lebih tentram. Tak ada bekas-bekas carok sejauh mata memandang. Aku menyeka keringat. Dul Madi dan Mad Sondi terlihat terduduk menunduk di hadapan Man Nandir yang membentak-bentak. Barulah kemudian Bi Juju yang menjadi saksi bercerita padaku kalau Man Nandir datang tepat waktu. Dua celurit itu sudah beradu, dua orang itu sudah saling mengibas dan menghindar, lalu Man Nandir berlari, melompat ke tengah-tengah keduanya. Man Nandir sempat tersabet celurit keduanya, tetapi tubuhnya kebal senjata. Kala itu berhentilah duel maut Dul Madi dan Mad Sondi.
Aku lega dengan kejadian malam itu. Malam kembali tenang. Angin berkesiur lembut. Aroma perdamaian semerbak. Oh, ya, sekarang aku sudah sarjana dan hendak bersiap-siap mengikuti rapat desa sore ini.
Surabaya, 11 Januari 2024
[1] Asekep: Membawa senjata tajam dengan cara disembunyikan, biasanya di balik pakaian
[2] Carok: Duel menggunakan celurit yang sudah disepakati kedua belah pihak (penantang dan penerima tantangan)
[3] Blater: Orang sakti yang merupakan tokoh masyarakat di Madura setelah kiai dan pejabat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H