Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya: Bentuk Sebuah Barokah memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya: Putri Kuning memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya: Mengapa Perempuan Itu Melajang terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya: Hutan Larangan Cak Badrun terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Cerpennya Bintang Kehidupan dibukukan oleh Gramedia bersama cerpen pemenang sayembara lainnya. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melangkahi Pagar Orang

11 Januari 2025   19:26 Diperbarui: 11 Januari 2025   20:28 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku kesulitan berlari lagi. Tetapi, aku punya tekad kokoh: hendak menjadi mahasiswa dan kelak sarjana yang benar-benar agen perubahan dan sosial kontrol. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri ketika hari penerimaan mahasiswa baru. Maka aku tetap berlari meski meringis. 

“Bi Rima! Bi Rima!” aku sampai di balai-balai bambu depan rumah Man Nandir. Istri Man Nandir, Bi Rima keluar. 

“Ada apa Mondir?” 

“Paman ada Bi?” 

“Pamanmu sedari selepas Isya keluar. Aku tak tahu ke mana. Dia tak bilang.”

Seketika kalut sudah diriku. Aku harus memisahkan sendiri duel mengerikan itu. Sebelum terlambat aku berlari menahan nyeri di kaki. Tentu saja ayunan langkah sebelah kakiku terpincang-pincang. Tak peduli rasa sakitnya, aku terus berlari secepatnya mengoyak jarak malam.

Dalam bayanganku darah sudah tumpah di halaman rumah Mad Sondi. Entah siapa yang menang. Barangkali imbang dan keduanya ditelan maut atau yang kalah saja dilahap maut sementara yang menang dibalut luka-luka. Aku terus memacu kaki. Beberapa orang desa ada di sana. Mereka pikir ini tontonan menarik? Bodoh! Upaya bunuh-bunuhan harus dituntaskan. 

Ketika sampai, aku terlongong-longong. Jantungku yang mula-mula bergeletar menjadi lebih tentram. Tak ada bekas-bekas carok sejauh mata memandang. Aku menyeka keringat. Dul Madi dan Mad Sondi terlihat terduduk menunduk di hadapan Man Nandir yang membentak-bentak. Barulah kemudian Bi Juju yang menjadi saksi bercerita padaku kalau Man Nandir datang tepat waktu. Dua celurit itu sudah beradu, dua orang itu sudah saling mengibas dan menghindar, lalu Man Nandir berlari, melompat ke tengah-tengah keduanya. Man Nandir sempat tersabet celurit keduanya, tetapi tubuhnya kebal senjata. Kala itu berhentilah duel maut Dul Madi dan Mad Sondi. 

Aku lega dengan kejadian malam itu. Malam kembali tenang. Angin berkesiur lembut. Aroma perdamaian semerbak. Oh, ya, sekarang aku sudah sarjana dan hendak bersiap-siap mengikuti rapat desa sore ini.                        

Surabaya, 11 Januari 2024   

[1] Asekep: Membawa senjata tajam dengan cara disembunyikan, biasanya di balik pakaian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun