Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya: Bentuk Sebuah Barokah memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya: Putri Kuning memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya: Mengapa Perempuan Itu Melajang terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya: Hutan Larangan Cak Badrun terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Cerpennya Bintang Kehidupan dibukukan oleh Gramedia bersama cerpen pemenang sayembara lainnya. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melangkahi Pagar Orang

11 Januari 2025   19:26 Diperbarui: 11 Januari 2025   20:28 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tidak. Dul Madi dengar kabar itu dari orang-orang gardu.” 

Aku membayangkan kegeraman Dul Madi langsung tersirap. Jiwa heroik kelaki-lakiannya diinjak-injak. Tantangan duel itu bagiku bukan karena cintanya sebak pada Rokiyah. Aku yakin bukan soal itu. Aku yakin karena prinsip ‘ango’an pote tolang atembang pote mata’ yang terjemahnya ‘lebih baik putih tulang daripada putih mata’ adalah prinsip kejantanan. Mempertahankan harga diri. Istri yang direbut lelaki lain, artinya sang suami dibuat malu lelaki itu. Karenanya celurit harus diangkat. Dua lelaki harus berduel. 

Sekonyong-konyong kala itu aku ingat Man Nandir, blater [3] di desaku. Hendaknya aku berlari lurus di pematang sawah. Senter di tangan sudah aku arahkan cahayanya ke depan. Tetapi tanpa tedeng aling-aling, aku lantas membelokkan badan. Bukan menuju muka rumah Mad Sondi, tempat Dul Madi dan Mad Sondi akan carok, tetapi menuju rumah Man Nandir. 

Semoga saja tak terlambat! Semoga Dul Madi belum sampai di halaman rumah Mad Sondi!

Hanya Man Nandir yang mampu mencegah pertumpahan darah malam itu. Blater di desaku itu bukan preman. Lebih tepat disebut bagian keamanan. Beliau masih saudaraku, paman sepupuku. Bahkan di desa lain pun blater tak sebengis dan sekejam yang ditulis akademisi asal Belanda yang pernah aku baca bukunya soal Madura. Sialnya lagi, referensi-referensi tentang blater yang maksudnya sudah bergeser itu justru banyak dipakai para peneliti-peneliti sekarang ketika menulis karya ilmiah soal Madura.

Omong kosong! Padahal kebanyakan blater tak demikian: jagoan carok, pembuat onar, pemabuk, pemain sabung ayam, atau giat memalak demi kemanan seperti modus preman kota. Padahal ada kiai yang blater karena punya keberanian dan ilmu silat. Blater-blater itu punya undang-undang tata krama luhur. Mereka juga yang mengomandoi orang-orang untuk berperang melawan kesemena-menaan penjajah di masa lalu. Mereka keamanan di desa masing-masing. Kekeliruan besar saat blater dimaknai ibarat preman.

“Abah dapat undangan ceramah di Lombok. Abah berfirasat tak nyaman, mangkanya mengajak Pak Nandir. Beruntung waktu itu Pak Nandir turut mengawal. Mobil Abah yang melaju di jalan dicegat oleh komplotan bermuka seram. Nampaknya mereka preman. Di kawasan itu terkenal banyak preman. Dengan sigap dan ilmu beladirinya, Pak Nandir berhasil menghajar preman-preman itu. Jumlahnya enam.” Ra Maman, putra Kiai Subadar pernah bercerita soal Man Nandir. Sebutan ‘Abah’ merujuk pada Kiai Subadar.

Pernah seorang dari kecamatan sebelah melukai sapi karapan Pak Rusdan. Nama sapi itu Sang Naga. Menjadi jagoan penduduk desa dalam arena karapan. Tahun kemarin menyabet juara satu tingkat kabupaten dan juara dua tingkat Madura. Malam kejadian, seorang itu diperkirakan memakai ilmu sirep. Penghuni rumah Pak Rusdam terlelap serentak. 

Beruntung Toifur menatap gelagat aneh seorang itu. Toifur mengikutinya. Mata Toifur menembak seorang itu menuangkan racun ke bak minum sapi Sang Naga. Serta-merta Toifur melesat ke gardu menemui orang-orang gardu. “Pembunuh Sang Naga!” kata Toifur. Kemurkaan menyala-menyala di wajah mereka. Beruntung Man Nandir mendengar kabar demikian. Dia mencegah amukan masa pada pemberi racun sapi Sang Naga. 

“Biarkan jadi urusan polisi! Jangan dipukul! Jangan dibunuh! Jangan sampai desa ini menanggung dosa!” teriak Man Nandir malam itu. Seketika semua bergeming, tak ada yang berani bersuara dan bergerak barang senoktah. Kebetulan aku turut jadi saksi. 

Aku buyarkan lamunan soal blater dan Man Nandir. Fokus berlari menembus pekat malam di pematang sawah kala itu. Rumah Man Nandir sudah tampak di depan sana. Aku sengaja lewat sawah begitu agar lebih lekas. Sekonyong-konyong kakiku terperosok. Salah satu sambungan urat mata kakiku bergeser. Tubuhku terjerembap lalu berguling ke sawah yang sudah masa tanam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun