Saya mengamati tak sedikit penulis cerpen yang menulis lokalitas dan kondisi sosial masyarakatnya sendiri. Muna Masyari selaku orang Madura, menulis lokalitas dan orang-orang Madura dalam cerpen-cerpennya. Silvester Petara Hurit menulis dalam cerpen-cerpennya tentang orang-orang Timor. Dan banyak contoh lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu di sini.Â
Pertanyaan besar saya dalam catatan ini adalah: mungkinkah penulis Madura menulis tentang Papua? Mungkinkah penulis Sumatera menulis tentang Jawa? Mungkinkah menulis liyan dalam cerpen?Â
Sejujurnya catatan ini hendak saya tulis dari beberapa minggu yang lalu, seusai membaca esai Mahfud Ikhwan yang pernah terbit di kolom Halte Jawapos (Minggu, 26 November 2023), berjudul "Tentang Menulis Liyan." Tetapi, karena saya percaya bahwa menulis adalah panggilan takdir, maka saya menunggu kapan panggilan takdir itu menjemput saya. Ternyata terealisasi beberapa minggu ke depan, yaitu sekarang.Â
Berikut linknya: https://www.jawapos.com/halte/013325567/tentang-menulis-liyan
Dalam esai itu Mahfud Ikhwan menyampaikan suatu inti persoalan dalam penggalan paragraf: "Saya sering menyebut, saya menulis hal-hal yang lebih dekat karena saya malas untuk melakukan riset. Namun, barangkali, ketakutan yang lebih besar adalah karena menulis apa-apa yang di luar diri kita adalah tindakan yang sangat berisiko."
Dalam paragraf sebelumnya ada penggalan begini: "Saya mengidealkan kisah tentang seseorang/kelompok/bangsa seharusnya ditulis oleh mereka sendiri. Dengan idealisasi semacam itulah saya menciptakan karakter semacam Ulid, Mat Dawuk, hingga Anwar Tohari." Dan, tentu saja pada paragraf-paragraf sebelumnya Mahfud Ikhwan membeberkan banyak contoh yang memperkuat argumentasinya.Â
Kemudian, saya ingin menyajikan beberapa contoh lain dari yang dituliskan Mahfud Ikhwan:
Saya pernah membaca suatu kritik sastra (saya lupa pernah membacanya di media mana tetapi saya mengingatnya) atas novelnya Faisal Oddang yang menceritakan tradisi masyarakat Toraja, berjudul "Puya ke Puya." Esais itu menyatakan bahwa novel itu tidak mewakili orang-orang Toraja yang sesungguhnya karena penulisnya bukan orang Toraja.Â
Pada saat yang sama, saya teringat novel "Lengking Burung Kasuari" karya Nunuk Y. Kusmiana, yang menceritakan soal perantau Jawa yang tinggal di Papua. Dalam novel itu, Nunuk tidak mewakili masyarakat Papua meski berlatar Papua, tetapi menyajikan Papua melalui sudut pandang orang Jawa yang merantau di Papua. Hanya meminjam latar.Â
Sebagaimana argumen Mahfud Ikhwan, saya akan menyampaikan contoh di luar sastra dan lebih personal. Banyak media memberitakan ketika orang Madura yang saling bunuh-bunuhan dengan celurit disebut carok, padahal carok sesuai tradisi yang pasti, sudah hampir bahkan punah di era ini. Tetapi, mereka yang bukan orang Madura, yang barangkali karena tuntutan keperluan media untuk menulis berita yang heboh, sekonyong-konyong menuliskan serampangan masyarakat Madura, dan sialnya justru berita itulah yang menyebar.