Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya: Bentuk Sebuah Barokah memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya: Putri Kuning memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya: Mengapa Perempuan Itu Melajang terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya: Hutan Larangan Cak Badrun terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Apakah Kata Berulang-ulang dalam Cerpen Itu Jelek?

21 Juli 2024   09:47 Diperbarui: 21 Juli 2024   09:51 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nytimes.com

Cerpen-cerpen yang saya baca kebanyakan mengandung kalimat efektif tanpa kata berulang-ulang. Jarang ada kata pengulangan yang mengganggu. Mulanya saya berpikir kalau cerpen yang baik itu ditulis menggunakan paragraf dengan kata tanpa pengulangan, tapi setelah saya bertabrakan dengan kenyataan pemenang Nobel Sastra 2023 bernama Jon Fosse dari Norwegia yang banyak menulis dengan susunan kata bertele-tele memakai beberapa pengulangan, membuat pikiran saya kacau soal apakah kata berulang-ulang dalam karya sastra khususnya cerpen itu jelek? 

Saya belum mengakses buku Jon Fosse sama sekali, tapi saya membaca beberapa ulasan dari blog The New York Times soal karya-karyanya dan kutipan tulisannya dari novel The Other Name. Septology I-II dari blog The Nobel Prize. 

Kemudian saya akan membicarakan kaitan tulisan ini dengan ucapan Adam Z. Levy dari penerbit Transit Books yang menerbitkan karya prosa Jon Fosse sebagai berikut: "Buku-bukunya (Jon Fosse) memiliki kualitas yang sangat menyentuh. Kalimat-kalimatnya berulang, bertele-tele, dimulai di satu tempat lalu kembali ke tempat itu di beberapa titik, seperti berputar keluar."   

Akan saya tuliskan tiga kutipan novel The Other Name. Septology I-II berikut: 

I think, it's time to put it away, I don't want to stand here at the easel any more, I don't want to look at it any more, I think, and I think today's Monday and I think I have to put this picture away with the other ones I'm working on but am not done with,

say, and he says, a little embarassed, yes I do do that, fair's fair, he says, and I think I shouldn't have said that, sleik doesn't want to accept money or anything else from me,

right at the midline I can see waves out there in the darkness and I see myself sitting there looking at the waves and I see myself walking over to my car where it's parked in front of The Beyer Gallery,

Lebih lengkap bisa dibaca di sini: https://www.nobelprize.org/prizes/literature/2023/fosse/prose/

Banyak penulis mengulang-ngulang kata yang sama dalam satu paragraf karena minim kosakata atau tidak pandai menyusun kalimat. Lantas apakah kita katakan kalau Jon Fosse (yang sudah menulis sejak umur 12 tahun dan sudah 10 tahun masuk nominasi Nobel Sastra) minim kosakata atau tidak pandai menyusun kalimat? Tentu saja tidak! Model tulisan dengan kata berulang-ulang seperti itu adalah ciri khas dari Jon Fosse. 

Jon Fosse tetap bisa meneror mental dan membangun kekuatan psikologis dengan menarasikan suara-suara samar, meski ditulis berulang-ulang sampai bertele-tele. Apakah kita mampu ke posisi itu? belum tentu dan barangkali tak akan mampu! Tapi apakah seseorang tidak boleh meniru gaya kepenulisan dengan kata berulang-ulang dalam sastra khususnya cerpen? Tentu boleh-boleh saja.  

Kembali lagi saya tanyakan, apakah kalimat berulang-ulang dalam cerpen itu jelek? 

Saya akan menjawab dengan: tergantung! Tidak semua cerpen dengan kata yang diulang-ulang dalam paragraf itu terkategori cerpen jelek. Adakalanya seorang penulis harus memilih kata yang berulang-ulang untuk lebih membangun kekuatan psikologis cerita, dan adakalanya tidak harus, tergantung model cerpen yang dikarang. 

Coba bayangkan apa yang dirasakan seseorang saat bimbang? Orang bimbang akan mondar-mandir, melakukan suatu pekerjaan dengan berulang-ulang. Di pikirannya ada masalah yang terus-menerus dipikirkan dengan berulang-ulang. Lantas apakah dalam menuliskan kondisi orang yang sedang bimbang dalam cerpen kita tidak boleh memakai kalimat berulang-ulang? Padahal kondisi bimbang membuat tingkah laku berulang-ulang dan masalah yang dipikirkan datang berulang-ulang. 

Kadang ada beberapa kata yang sering kita ucapkan berulang-ulang, suatu peristiwa penting yang membuat senang sehingga terus diceritakan, suatu itu selalu berulang-ulang kita pikirkan. Atau kadang kala untuk menguatkan satu kata diperlukan pengulangan kata misalnya: "Hari ini aku sedih. Sedih. Sangat sedih." Sebagai cara penulis meneror mental pembaca (meski ada cara lain tanpa memakai kata berulang-ulang, dan hal itu hanya masalah pilihan).

Satu-satunya hal yang membuat kata berulang-ulang dalam cerpen tampak jelek bukan karena penulis ingin membangun kekuatan psikologis, tapi karena penulis minim kosakata atau kurang pandai menyusun kalimat atau tanpa maksud apapun seperti Jon Fosse menulis.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun