Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan

Membaca adalah bagian dari hidup saya, terutama karya-karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Musabab Membunuh Muntaha

13 Juli 2024   18:45 Diperbarui: 13 Juli 2024   19:11 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima belas tahun saya akan mendekam di balik jeruji ini. Umur saya masih dua sembilan. Saya akan bebas di umur empat dua. Sebab sudah setahun saya di sini. Saya satu sel dengan Pak Ganjar. Umurnya lebih dari setengah abad. Wajahnya menenangkan, orangnya baik, dan berbudi juga. 

Pernah saya tanyai, "atas kesalahan apa bapak di penjara?" 

Jawabnya, "saya kepergok mencuri setandan pisang lalu dilaporkan. Pemilik toko buah itu orang kaya, sebabnya saya dijebloskan ke sini."

Kami para napi dikumpulkan ketika jam kerja, mandi, makan, dan upacara. Hingga saya banyak mengenal mereka dan kejahatan yang mereka perbuat. Saya memang pandai bersosial. Mencari kawan banyak-banyak. Di desa pun saya bergaul dengan yang muda dan yang tua. Saya heran betul, ini penjara satu-satunya di kota ini, tapi tak saya temukan dua pejabat kota yang diberitakan korupsi dua bulan lalu---kabar ini saya dapat dari Badriyah yang Minggu lalu berkunjung bersama ayah mertua. Entah berada di penjara mana dua koruptor itu. Barangkali penjara di kota lain yang lebih seram, atau ... Entahlah saya tak ingin buruk sangka. Semoga mereka menerima hukuman setimpal. 

Saat saya berkomunikasi dengan beberapa napi, memang betul mereka bertindak kriminal karena melarat, terhimpit kebutuhan. Barangkali rata-rata napi di penjara ini pun melarat. Merampas dan mencuri, tetap kejahatan, tapi perut yang laparlah jadi musabab. Saya tak setuju dengan kejahatan tapi sisi lain hati saya teriris mengetahui musababnya. 

Lebih besar dosa saya daripada dosa mereka. Saya membunuh murni rencana saya sendiri. Barang siapa membunuh sesama muslim, ibarat membunuh seluruh umat muslim, demikian tutur Nabi Muhammad. Saya nian menyesalinya. Andai waktu bisa saya putar kembali. Andai saja.... 

Di penjara saya tetap meneruskan hobi membaca dan menulis. Badriyah dan keluarga kala membesuk saya, tentu membawa buku. Mereka tahu saya suka buku. Oh, iya, terbersit ide. Saya akan mengarang cerpen dan akan saya kirimkan ke media masa seperti yang sudah-sudah. Kali ini kisah saya sendiri yang akan saya tulis. Hari Minggu mendatang, ketika Badriyah dan keluarga menjenguk, akan saya serahkan naskahnya agar diketik oleh Badriyah lalu dikirimkan ke media masa lewat email. 

Seutas senyum di bibir saya. Saya mulai menulis begini:

Toa masjid mengudarakan kematian Muntaha di pagi yang masih basah, di akhir Januari. Beberapa menit sebelumnya, Abdul Malik mendapati seonggok mayat terkapar, di depan kuburan desa.... 

****

Saya menenteng celurit. Malam kelam tanpa rembulan. Angin berkesiur merinding. Suara binatang malam bersahut-sahutan. Muntaha melangkah di jalan setapak, depan kuburan desa, ke arah barat. Saya mengendap-ngendap. Saya sudah tahu akan ke mana dia melangkah dan kekejian apa yang akan dia perbuat di masa mendatang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun