Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan

Membaca adalah bagian dari hidup saya, terutama karya-karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malam Kelam, Penuh Dendam, 1993

12 Mei 2024   20:04 Diperbarui: 12 Mei 2024   21:31 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari yang lalu, pada terik siang 25 September 1993 yang menyengatkan panas dan kemalangan, orang-orang bermuka ambisi, separuhnya berseragam proyek mengukur tanah teramat luas, lainnya berjaga dengan berseragam loreng-loreng dan coklat muda, berompi anti peluru serta bersenapan di tangan, tak akan pernah tahu arti dari kesakralan tanah sangkolan[1] bagi kami.

Kau tak akan pernah tahu, saya, Simuki, telah sampai di depan markasmu. Saya melihat gerak-gerikmu, Letnan Jenderal Soecipto, di malam kelam ini. Bulan tak ada di langit. Hari-hari tanggal tua bulan Madura.[2] Lebih gelap dari malam-malam sebelumnya.

Tentu saja kalian bukan orang sini. Kalian tak paham arti tanah sangkolan yang diwariskan turun-temurun leluhur. Kalian hanya paham siap gerak, melangkah serentak, mematuhi titah atasan. Menurut kalian ini pekerjaan mulia? Kalian makan enak malam ini lalu berkelakar di meja makan, tanpa kalian tahu orang-orang desa susah makan.

"Kami ingin hidup! Allahu Akbar!"

"Kami ingin hidup!"

"Kami ingin hidup!"

Terik siang bolong September membakar jiwa kami. Kami bukan hanya mempertahankan tanah sangkolan tetapi pula tempat kami hidup mendapat makan.

Melalui sungai yang sesaat lagi akan kita lalui serempak. Berbondong-bondong meniti jalan sukar. Kalian tahu? Kami telah bergotong-royong mengairi sawah dengan sungai yang membentang dari barat ke timur ini. Air yang melimpah hendak kalian berikan bukan! Kami tak perlu itu. Tuhan Yang Maha Segalanya sudah sangat menghujani kami air, dari dalam tanah, dari sungai, dan dari langit.

Tentu sebelum berangkat bersama mereka saya mencium telapak tangan emak, Nur Aini, yang bermuka syahdu. Memohon restu. Pada malam itu sebelum esoknya saya ikut rombongan, burung gagak berkoak-koak di atas bubungan, dan emak yang menenteng petromaks dari kakus di belakang rumah, tatkala tiba di halaman rumah, emak tersungkur. Entah tersandung apa, padahal tak ada batu besar di sana.

"Ikutkah kamu esok, Nak?"

"Ya, Mak. Saya harus mempertahankan tanah sangkolan tempat kita mendapat makan."

"Jangan pergi, Nak. Firasat emak tak enak."

"Tenang saja, Mak. Kalau saya tak kembali, mati berkalang tanah maka sudah jalannya takdir, begitu pun sebaliknya."

Emak merelakan kepergian saya dengan air mata. Sementara kalian membangun waduk yang megah itu tanpa kerelaan justru di atas air mata kami. Kalian sangat tuli mendengar teriakan kami. Kalian tutup telinga, dari teriakan mahasiswa, aktifis lembaga kemasyarakatan, dan kiai. Dasar rèng-orèng rajâ![3] Kepala kalian batu!

Kau, Letnan Jenderal Soecipto, keluar pintu belakang. Saya melangkah mengikutimu. Kau berpelesir ke kakus yang terletak di belakang markas kalian ini. Kau memuntahkan isi perutmu melalui lubang pantat. Ya, kau kekenyangan tanpa tahu orang-orang desa kelaparan. Begitu lega pembawaanmu seusai menarik napas menghembuskannya, bagai orang tanpa dosa.

Kemudian kau pergi ke sumur. Saya semakin geram melihat tingkahmu. Kau jauh dari sanak keluarga dan istri bukan? Entah dari daerah mana kau berasal, yang jelas kau ditugaskan ke sini, membantu merampas tanah kami. Tangan kananmu bertamasya, memainkan kemaluanmu. Kau punya kemaluan tetapi tak punya malu. Kau menikmatinya, tanpa tahu orang-orang desa yang bercinta tak menikmati pergumulannya.

Memandangmu yang bermuka kotak, berambut tiga senti, bereskspresi culas, dan sukar tersenyum, mengembarakan selalu ingatan saya pada pemberedelan senapan yang membabi buta. Membuat kami kocar-kacir. Berhamburan tunggang-langgang.

Apa kalian bergidik pada kami? Hanya rèng-orèng kènè,[4] para petani desa, yang berjumlah ratusan mengepalkan tangan kosong, mengangkat-ngangkatnya ke udara, berteriak meraung penuh kobaran mempertahankan tanah kami. Sebagian besar dari kami tak membawa senjata. Kami hanya membawa nyali. Kami berharap berakhir dengan tanpa keributan tetapi yang terjadi sebaliknya.

Kami menyusuri pinggir sungai. Melangkah bersama tak gentar. Hendak menyeberang. Tetapi sebelum semuanya terjadi, kalian sudah ketakutan. Apa kalian berpikir orang Madura itu bengis-bengis? Tentu tidak! Kalau kalian berkawan dengan kami, kalian akan merasakan kami itu lembut-lembut dan bermoral. Tetapi kalau sudah urusan begini, kami tak takut mati melawannya!

Ketakutan kalian terbaca dari penembakan bertalu-talu yang langsung kalian arahkan pada kami. Tak ada tembakan peringatan ke udara. Kalian langsung mengarahkan peluru jahanam itu pada kami. Sungguh siang 25 September 1993 itu menyengatkan panas juga kemalangan.

Di tengah desingan peluru, saya bisa saja menghindarinya dengan memacu kaki dari gelanggang itu sejauh mungkin, tetapi langkah saya tertancap, memandang nestapa bocah tanggung yang terjerembab sebab terombang-ambing badan orang-orang dewasa. Peluru-peluru deras meluncur ke arah kami.

Sungguh bocah itu mirip anak saya, Mad Nasir. Dinasehati tutur hati, saya mendekati bocah itu lalu membentenginya pakai tubuh saya, khawatir peluru melesat ke arah sini. Saya bangunkan dia, cerlang kakinya terkilir, tetapi saya paksa dia berlari secepatnya. Dia bangkit mulai berlari dengan air mata.

Sesaat sebelum saya bangkit, mata saya berkunang-kunang lalu gelap yang tiada tara menyelimutinya. Sesaat sebelumnya, suara nyaring laju pelurumu menembus punggung saya. Darah menyembul deras dari punggung dan dada saya. Tetapi sesaat sebelumnya pula saya sempat tersenyum. Sakit sekali kejadian mendadak itu, tetapi saya gembira sebab bocah itu selamat.

Karena semua ketidakadilan yang telah saya dapatkan. Saya tetap berada di atas bumi sampai detik ini, di malam tanpa rembulan ini. Kalian hendak membangun waduk besar untuk mengairi berhektar-hektar sawah yang tandus kami, tetapi kalian membangunnya di atas tanah sebagian dari kami. Sehingga kalian menuntut pelepasan berhektar-hektar lahan tanah pertanian yang menjadi penghidupan kami. Apakah ini tak berujung sengketa? Apakah kalian tak memikirkan dampaknya bagi kami?

Dari ujung kemaluanmu sudah keluar hasratmu, cairan putih. Kau tersenyum, menikmatinya. Kemudian kau, Letnan Jenderal Soecipto, mengerek timba dari dasar sumur, hendak mandi. Nantinya saat kau berbalik badan, saya sudah berada di belakangmu. Mencekik lehermu lalu mendorongmu ke dalam sumur. Dengan benturan lorong-lorong sumur kau akan hancur bermandi darah, tetapi kalau kau selamat tercebur ke dalam sana, saya akan turun lantas menghabisimu di bawah sana.

Ini saatnya! Tetapi desir hati saya mendorong ingatan pada mantan istri, Sri Astutik, yang meninggalkan saya dan Mad Nasir, anak tunggal kita yang berusia tanggung. Karena berbedaan status sosial, dan saya bersikukuh tak mau meninggalkan desa untuk ikut bersamanya ke Jawa, karena saya harus mengurus sawah, sangkolan dari almarhum bapak, Suhaimi, dan leluhur. Tetapi justru sangkolan itu hendak dirampas kalian dengan bayaran tak seberapa. Dibayar mahal pun saya tak akan melepasnya, keparat!

Bimbang sudah niat saya. Saya tak boleh dendam pada Sri Astutik dan siapa saja. Emak dan bapak senantiasa menasehati.

"Jangan pernah kamu mempersilahkan dendam mengetuk pintu hatimu," kata bapak.

"Kamu boleh benci pada orang yang tak kamu senangi, tetapi jangan membalas dendam padanya, Nak. Itu artinya kamu sama saja dengan dia," kata emak.

Syahdan, saya urungkan niat membunuhmu, Letnan Jenderal Soecipto. Saya berbalik meninggalkan markasmu. Saya ikuti kata hati. Kemarin malaikat membukakan tabir masa depan bahwa Waduk Nipah, Sampang akan tetap terbangun megah dan kokoh, lalu besar sekali manfaatnya, termasuk mengairi beribu-ribu hektar sawah rèng-orèng kènè . Tetapi tetap saja, kalian membangunnya di atas air mata kami.

Sejak kematian saya tertembak pelurumu, dua bidadari yang turun dari langit hendak menjemput saya, membawa saya meninggalkan dunia tak adil ini. Tetapi saya tak mau karena dendam kesumat, dan setelah dua hari kemudian, dendam saya sudah padam. Malam kelam ini berubah terang-benderang setelah langit disinari cahaya membentang dari sayap dua bidadari yang hendak menjemput saya.

Waduk Nipah, Sampang Madura, 9 Mei 2024

[1] sangkolan: barang warisan turun-temurun dari leluhur yang pantang dilepas kepemilikan sebab dapat bertulah, seperti lahan tanah
[2] bulan Madura: bulan Hijriyah tetapi orang Madura biasa menyebutnya "tanggal (bulan) Madura"
[3] rèng-orèng rajâ: orang-orang besar, seperti aparat keamanan dan pemerintah
[4] rèng-orèng kènè': orang-orang kecil, seperti para petani

Rosul Jaya Raya, kelahiran Bekasi, keturunan Madura, bermukim di Surabaya. Orang yang rajin bertadarus cerpen para sastrawan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun