Seorang gadis masuk salon. Mata lebar di bawah kerudung birunya mirip mata indah Lastri. Dia berhajat memendekkan rambutnya. Dia melepas kerudung lalu duduk di kursi. Bapak terperanjat! Melihat dia yang membuka masker di cermin. Ya, ampun! Itu benar kau!Â
Tidak salah lagi! Ternyata kau lebih cantik dari foto yang dikirim bibimu dan lebih cantik dari emakmu. Kau mirip sekali dengan emakmu. Bermata lebar, bermuka bulat, berkulit putih.Â
Bapak sangat kagum padamu, Nak. Terutama pada konten membaca kitab kuning yang kau upload di Tik Tok sebulan yang lalu. Bapak merasa sukses. Kerja keras bapak tak sia-sia memondokkanmu. Sekarang, tertakjub oleh paras indahmu.Â
Entah bapak sebut kesalahan atau bukan. Dulu, saat kau genap dua tahun, bapak merantau, jauh meninggalkanmu. Jauh sekali. Itu demi masa depan cerahmu, Nak. Seusai lulus pesantren nanti, bapak akan menguliahkanmu di UTM, Bangkalan. Ya, kau santriwati dan akan menjadi sarjana!Â
Kau harus sekolah tinggi. Tak boleh seperti bapak yang hanya lulusan SMP. Jangan menikah terlebih dulu di usia muda. Ya, meski banyak teman-temanmu pada usia di bawah 20 tahun telah menikah. Kau mesti berjuang menggapai cita-citamu, Nak. Menikmati masa muda. Kata bibimu, kau hendak menjadi dosen bukan? Bagus! Agar hidupmu bermanfaat untuk peradaban bangsa. Jangan seperti bapak.Â
Bapak menjual kapal. Kapal yang dipakai kakekmu melaut. Menjadi nelayan hanya akan cukup membiayai hidup. Bukan sekolahmu kelak. Kapal itu bapak jual, seusai berunding dan sedikit cekcok dengan nenekmu. Betul, bapak paham sekali kapal itu sangkolan (warisan) dari almarhum kakekmu. Tapi, nelayan bukan pekerjaan yang harus dipertahankan. Upahnya sedikit sekali.Â
"Jangan kau jual. Nanti kau tertimpa tulah. Cari modal yang lain saja!" Peringatan dari nenekmu. Tapi bapak bersikukuh. Tetap menjualnya. Demi hidup yang lebih cemerlang. Terang.Â
Uang menjual kapal, bapak pakai buat merantau ke Jakarta. Syukurlah, nenekmu merestui juga. Bapak pergi ke Jakarta. Syahdan, bekerja di metropolitan tidak semudah dugaan bapak, Nak. Bapak pernah berjualan nasi bebek tapi tak laku. Bapak tidak bakat memasak. Tak seperti emakmu, Lastri dan nenekmu.Â
Lalu bapak berjualan sate dan nihil hasilnya. Hanya sedikit uang yang bisa dikirim ke kampung. Bapak gulung tikar lagi. Lalu bapak kerja apapun, kuli panggul pasar, pemulung besi, tukang parkir Indomaret, kuli bangunan, pembersih kolam renang rumah orang kaya, lalu tukang cukur.Â
Boleh jadi ini tulah bapak. Sebab tak menuruti nenekmu. Menjual benda sangkolan kakekmu. Bapak tak bisa terus-menerus kerja untuk orang. Syahdan, bapak pun mendirikan pangkas rambut.