"Jangan biarin orang bilang kamu tidak boleh bersuara"
Tema besar film "Yuni" garapan sutradara Kamila Andini, adalah perlawanan terhadap budaya patriarki. Warna ungu yang selalu dimunculkan karena menjadi warna favorit Yuni (Arawinda Kirana) merupakan simbol perlawanan.Â
Saya suka cara sineas mengangkat tema patriarki yang dikemas dengan adegan-adegan realistis dan sangat dekat sekali dengan kehidupan beberapa masyarakat di Indonesia. Naratif cerita dalam film tersebut sederhana, mengalir, dengan konflik yang tidak tampak memaksakan dan mengada-ada.Â
Film Yuni ber-setting di Banten serta berbahasa Jawa Banten dan Sunda Banten. Jarang sekali ada film Indonesia yang kental dengan bahasa daerah seperti film Yuni. Nuansa Banten yang mewakili kehidupan lokalitas Indonesia dalam film tersebut sangat lekat dengan menampilkan lokasi scene yang bervariatif, kondisi lingkungan, properti yang mendukung, bahasa daerah, interaksi antar tokoh, status sosial tokoh-tokohnya.Â
Isu patriarki dalam film tersebut dikomparasikan dengan isu-isu sosial lainnya. Kemelut isu-isu sosial yang sedang atau bahkan pernah kita alami dalam film Yuni ialah sebagai berikut:
1. Isu Keremajaan
Sikap serba ingin mengetahui apapun dan mencobanya tercermin dalam diri Yuni. Itulah alasan ia menolak lamaran yang pertama.Â
Yuni juga masih bersikap labil untuk menentukan pilihan. Sikap itu juga tampak pada Tika (Anne Yasmine), teman Yuni yang sudah menikah dan bingung menghadapi kehidupan rumah tangganya.Â
Sikap remaja kekinian yang narsis di media sosial sangat tercermin pada diri Sarah (Neneng Wulandari) dan Suci (Asmara Abigail).Â
Uniknya, film yang berkisah seorang perempuan remaja cantik itu, tidak santer menampilkan adegan pacaran. Saya pun awalnya bingung, apakah hubungan Yuni dan Yoga (Kevin Ardilova) pacaran atau hanya sebatas sahabat?