Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Pembaca sastra (novel; cerpen; esai), pendengar kajian filsafat dan musik, penonton kearifan lokal; sepak bola timnas Indonesia; kartun, pemain game Mobile Legends. Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Advokat dan Kasus Adrian

23 April 2023   22:31 Diperbarui: 16 Mei 2023   18:52 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://penasihathukum.com/

Sepi. Hiburanku di rumah ini hanya piano, handphone, dan laptop. Aku tidak hendak mengakrabi tiga anak yang usianya di bawahku di kamar sebelah apalagi wanita berumur 39 tahun yang telah merenggut cinta ayah untuk ibu.

Kepalaku bagai dikerubungi kerumunan lebah jikalau mendengar suara ribut-ribut tiga anak itu dari balik pintu kamarku yang selalu tertutup rapat. Kadang-kadang mereka berteriak-teriak lalu bertengkar lalu ada yang menangis. Dan akhirnya wanita itu mendamaikan mereka.

Yang paling menyebalkan ketika aku keluar dari kamar sepi ini, entah pergi ke kamar mandi, kolam renang, ruang makan, halaman, dan di mana pun di sekitar rumah ini, bertemu tiga anak itu bermain-main lalu si sulung---berusia 15 tahun---menatapku lantas mengajakku tapi selalu kutolak. Sementara si bungsu---berusia 7 tahun---seperti sengaja menabrakkan diri padaku ketika berlari. Dan anak nomor dua---berusia 10 tahun--- nampaknya membenciku.

Pergi keluar dengan kawan-kawan pun malas rasanya. Mereka hanya menginginkan uangku bukan bersamaku, dasar munafik! Lebih baik di kamar terus-menerus. Mentuts piano, main game di handphone atau laptop, sedikit dapat menggilas sepiku.

"Tok, tok, tok, Adrian! Makan dulu Nak."

Bertahun-tahun setiap hari suatu suara selalu terucap padahal aku tak ingin mendengarnya. Wanita itu tak ada bosannya! Dahulu dia mengganggu hidup ayah dan bodohnya ayah malah terpincut wanita jalang itu. Karena wanita itu, ibuku gantung diri. Dia pikir semua perbuatan baiknya selama ini bisa menembus kejahatannya pada ibuku. Dasar pelakor!

"Jangan menangis Dri. Ini bukan salah ayahmu. Ini salah ibu. Biar hari ini saja kau kehilangan ibu. Kalaupun ibu terus hidup, suatu saat kau juga akan kehilangan ibu."

"Dri" panggilan khas dari ibu yang terakhir kali ia ucapkan mengusutkan benang-benang kebahagiaanku. Ibu tidak mengusap rembesan air mataku. "Ibu!" ibu menggeliat-geliat lalu tali yang menggantung lehernya berwarna merah darah. Aku terus menangis. Ibu selamanya meninggalkanku sendiri.

Tak ada yang berani masuk kamar kosong itu selain aku, kamar yang dulunya ibu dan ayah tidur di sana. Kamar saksi bisu yang melenyapkan ibu itu, juga menghadirkannya ke dunia ini kembali. Aku masuk ke sana untuk bertemu ibu. Aku masih bisa merasakan usapan lembut ibu.

Bahkan di pagi buta, ibu sering datang ke kamarku lalu membangunkanku dari tidur. Dan ibu selalu kembali ke kamar itu---aku mengikutinya dari belakang---lalu menggantungkan diri dan kata-kata terakhir itu terus diucapkan. Bahkan di malam buta, ibu sering mendongengiku sebelum tidur seperti saat usiaku 7 tahun. Dan ibu selalu kembali ke kamar itu....

Semua nampak begitu nyata. Omong kosong! Ibu tak pernah kembali lagi. Ibu tak pernah datang ke dunia ini lagi. Semua halusinasi! Mengapa aku tidak bisa membedakan kenyataan dan khayalan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun