Mohon tunggu...
Rosni Lim
Rosni Lim Mohon Tunggu... -

Seorang cerpenis kota Medan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pisau Hati (25)-Tamat

26 April 2012   22:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Aku membunuh Kyle. Aku membunuhnya. Aku ini seorang pembunuh...," Claire menggeleng-geleng melihat tangannya yang sedang memegang pistol. Dengan gemetar, Claire melepaskan genggamannya, dan pistol itu pun jatuh ke lantai menimbulkan suara berdebum.

"Kenapa kau bunuh dia, Claire?" tanya Raven setelah ia memeriksa nafas Kyle yang sudah tidak ada lagi.

"Kalau aku tidak membunuhnya, maka dialah yang akan membunuhmu."

"Kau tidak perlu lakukan itu untukku, Claire. Aku tidak berterima kasih kepadamu, setelah dua pembunuhan keji terhadap Rachel dan Vanessa yang kaurencanakan."

"Aku memang tidak meminta kau untuk untuk memaafkanku, Raven," kata Claire dengan bibir bergetar. "Dan kau memang tidak usah memaafkanku maupun papaku, yang telah menyebabkan kematian kedua orangtuamu."

"Apa maksudmu, Claire?" tanya Raven tak mengerti.

Claire tersenyum hambar. "Ada suatu rahasia besar yang tidak kauketahui, Raven. Suatu rahasia yang diceritakan papaku kepadaku menjelang ajalnya. Kau pasti tidak tahu, kalau papaku adalah orang yang harus bertanggung  jawab atas kematian kedua orangtuanmu."

"Aku sama sekali tidak mengerti kata-katamu," kata Raven. "Papaku meninggal karena kecelakaan, dan mamaku bunuh diri karenanya. Itulah yang kuingat. Jadi apa maksudmu, mengatakan kalau papamulah yang bertanggung  jawab atas kematian mereka?"

"Memang papamu meninggal karena kecelakaan mobil, Raven. Tapi itu karena papaku telah mengakali mobil papamu sebelumnya dan sengaja mengirim papamu bertugas ke luar kota. Karena itulah terjadi kecelakaan," terang Claire.

"Tapi untuk apa? Untuk apa papamu melakukan hal itu?" Raven masih tak mengerti.

Claire mulai bercerita, "Sebenarnya, sebelum mamamu menikah dengan dengan papamu, dia adalah kekasih dari papaku. Tetapi kakekku memaksa papaku untuk menikah dengan gadis lain, yaitu mamaku. Setelah mamaku tiada, papaku kembali menjalin hubungan dengan mamamu secara diam-diam. Lalu papaku merencanakan untuk melenyapkan papamu, karena itulah dia mengakali mobil papamu sampai terjadi kecelakaan. Tetapi papaku ternyata salah sangka, karena mamamu tidak bisa terima perbuatan papaku, lalu ia pun bunuh diri. Karena itulah aku katakan kalau kematian mereka, disebabkan oleh perbuatan papaku," Claire mengakhiri ceritanya.

Raven menggeleng-geleng tak percaya. "Aku tidak pernah tahu hal ini sebelumnya. Tak kusangka, Tuan Harrington yang telah membesarkanku dan sudah kuanggap sebagai orangtuaku selama ini, berbuat hal sekeji itu kepada keluargaku. Aku sungguh tidak dapat menerimanya," Raven berucap sedih.

"Aku juga tidak," Claire menimpali. "Karena itulah aku marah kepada papaku dan berteriak-teriak di depannya, sampai dia terkena serangan jantung. Sebenarnya, aku masih dapat menyelamatkan papaku saat itu, dengan cara mengambilkan obatnya yang ada di lemari makan. Tetapi aku tidak lakukan hal itu, karena aku merasa marah sekali. Ia berpesan kepadaku, tidak boleh menikah denganmu, walaupun kau boleh mendampingiku seumur hidup ini. Tidak mungkin kita menikah, Raven. Karena kematian kedua orangtuamu disebabkan oleh perbuatan papaku. Maafkan aku, Raven...," Claire menunduk dan menangis terisak. Dadanya terasa sesak oleh berbagai macam masalah yang menimpanya akhir-akhir ini.

Biasanya, bila Claire sedang menangis, maka Raven akan datang menghiburnya, memeluknya, dan membenamkan kepalanya ke dadanya yang bidang. Lalu mengelus kepalanya dengan lembut dan penuh kasih sayang, sambil membisikkan kata-kata yang menyenangkan di telinganya.

Tetapi kali ini Raven tidak berbuat demikian. Raven tiba-tiba merasa gadis itu asing baginya. Gadis itu seolah menyimpan sebilah pisau di dalam hatinya, dan pisau itu amatlah tajam! Pisau itu telah melukai hati Raven,  melukai hati Kyle, dan bahkkan pisau itu telah membunuh tiga wanita sekaligus. Pisau itu adalah pisau hati! Bila tidak disentuh, pisau itu tidak akan menyebabkan petaka. Tetapi bila sudah disentuh dan tidak hati-hati mempergunakannya, pisau itu bisa melukai siapa saja! Bukan saja melukai hati orang lain, tetapi juga bisa membunuh mereka! Itulah yang terjadi pada Claire. Pisau di hatinya telah melukai banyak orang, bahkan membunuh mereka!"

"Raven, maafkan aku..., juga maafkanlah perbuatan papaku...," sekali lagi Claire memohon. Nada suaranya terdengar amat memprihatinkan. Tampaknya, ia benar-benar menyesal, juga menyesali perbuatan papanya. Karena perubatan papanya itu pulalah, Claire selalu tidak berani untuk mengutarakan cinta di hadapan Raven. Ia tidak pernah berani meminta Raven untuk menjadi kekasihnya, atau bahkan  menikahinya. Ia berada di dalam posisi yang serba sulit, karena di sisi lain ia tidak ingin melihat Raven bersama dengan wanita lain selain dirinya. Kalau bukan karena Raven yang duluan mengutarakan niatnya untuk menikah dengan Claire, pastilah seumur hidup ini Claire tidak akan berani mengungkapkannya. Dan untuk selamanya mereka tidak akan pernah bersatu!

Raven tidak menjawab. hatinya serasa dingin dan membeku. Demikian juga aliran darah di tubuhnya. Ia tidak mampu berpikir lagi, kepalanya terasa mau pecah memikirkan kejadian demi kejadian belakangan ini yang tidak disangkanya sama sekali. Bahkan cerita Claire tentang perbuatan papanya terhadap kedua orangtua Raven, membuatnya makin tidak bisa  berpikir lagi. Biarlah semuanya berjalan apa adanya.

Sirene mobil polisi terdengar meraung-raung di bawah sana. Tapak-tapak kaki yang masuk ke dalam rumah itu, berjalan menaiki tangga, menyusuri koridor, dan berhenti di ruang kerja Kyle. Polisi-polisi itu menemukan ada orang yang tewas di ruangan itu dan dua pucuk senjata pistol berlaras pendek tergeletak di lantai. Dua orang yang ada di sana, yaitu Raven dan Claire, diamankan oleh mereka. Claire dan Raven sama-sama dibawa ke kantor polisi, menunggu interogasi.

Sebelumnya, para tetangga mendengar suara ribut-ribut dan suara tembakan di rumah bercat kuning itu. Mereka yakin telah terjadi sesuatu di dalam rumah itu, karena itulah mereka menghubungi polisi. Dan dalam waktu singkat, polisi telah datang mengamankan semuanya. Korban, barang-barang bukti, dan juga para tersangka.

* * *

Bab 20

"Ada tamu untuk Anda, Nona Claire," seruan dari sipir penjara itu menyadarkan Claire dari lamunan panjangnya.

Claire bangkit dari duduknya di lantai yang ada di balik jeruji besi itu. Sipir penjara itu membuka jeruji besi itu, dan Claire pun berjalan keluar dari sana. Ia berjalan terus sampai langkahnya tiba di depan, di tempat para tahanan biasanya bicara dengan para penjenguk.

Claire melihat Raven dan Caroline datang menjenguknya. Mereka sedang menunggu kedatangannya. Claire duduk di salah satu kursi yang berjejer dan mengambil telepon untuk bicara dengan Raven. Ia tidak bisa bersentuhan dengan Raven maupun Caroline, karena posisi berhadapan mereka dipisahkan oleh kaca pembatas yang tinggi. Dan telepon itu adalah alat untuk menghubungkan mereka.

"Kau baik-baik saja?" tanya Raven melalui alat itu.

"Iya," jawab Claire balik.

Aku sudah ceritakan semuanya kepada Caroline," Raven bicara lagi.

Claire melirik sejenak kepada Caroline yang duduk di sebelah Raven.

Raven melanjutkan. "Dengan berlapang hati, Caroline menyuruhku untuk menjengukmu. Dia tidak menaruh dendam kepadamu, walaupun karena rencanamu, hampir saja nyawanya melayang. Bukan itu saja, Claire. Asal kau tahu,  atas usul Caroline pulalah, aku akan mencarikan seorang pengacara yang paling handal supaya bisa membelamu nanti di pengadilan."

"Tidak usah, Raven," Claire menggeleng. "Aku tidak mau dibela. biarkan saja jaksa menuntutku dan aku siap menerima hukuman yang dijatuhkan, berapa pun lamanya. Bahkan bila itu adalah hukuman mati, aku juga sudah siap. Karena aku pantas menerimanya."

"Claire...," Raven menyebut nama gadis itu. Sesaat, perasaan iba muncul di hatinya, menggantikan kebencian yang timbul sejak ia tahu Claire berbuat keji, demikian juga kekejian yang dilakukan oleh papanya Claire, yang menyebabkan kedua orang tua Raven meninggal.

"Aku tidak apa-apa, Raven," kata Claire. "Sekarang, semua urusan perusahaan kuserahkan kepadamu. Di tanganmulah, perusahaan akan berjalan dengan baik dan lancar. Ohya, boleh aku bicara dengan Caroline sebentar?" tanya Claire sambil melihat Caroline yang sedari tadi hanya diam memerhatikan mereka.

Raven menyerahkan alat itu kepada Caroline.

"Caroline, maafkan perbuatanku ya? Karena aku, kau hampir saja dibunuh Kyle. Semoga kau mau memaafkanku," pinta Claire tulus.

"Sudah kumaafkan sejak dari tempo hari, Nona," Caroline berlapang dada.

"Kalau begitu, terima kasih ya? Kau harus bekerja kembali di perusahaan. Bantulah Raven untuk mengurus dan memajukan perusahaan. Jagnan pernah menyerah. Aku percayakan perusahaan papaku di tangan kalian berdua."

"Akan aku laksanakan," jawab Caroline.

"Teetttt...!" Bel di ruangan itu berbunyi, pertanda waktu kunjungan sudah habis.

Claire meletakkan teleponnya dan berdiri. Sesaat, ia menatap Raven dan Caroline. Lalu saat berikutnya ia menundukkan kepalanya, dan berjalan pergi. Meninggalkan Raven dan Caroline yang masih menatapnya dengan iba.

* * *

Raven meletakan karangan bunga itu di atas kedua makam orangtuanya yang letaknya berdampingan. Ia memanjatkan doa sebentar. Setelah siap berdoa, ia pun berkata-kata sendiri, seperti sedang berbicara dengan kedua orangtuanya yang sudah beristirahat dengan tenang.

Tak lama kemudian, ia berjalan beberapa meter jauhnya dari situ, menyinggahi makam yang satu lagi. Ini adalah makam papanya Claire. Raven meletakkan karangan bunga yang tersisa di tangannya ke atas makam itu.

"Maafkan aku, Paman," Raven berkata-kata sendiri di depan makam itu. Ia biasa menyebut papanya Claire dengan sebutan Paman. "Maafkan aku karena aku tidak bisa menjaga Claire dengan baik. Bahkan karena diriku pulalah, dia telah mencelakakan banyak orang. Maafkan aku. Aku juga sudah memaafkan perbuatanmu terhadap mama dan papaku."

Ia menarik nafas panjang. Sekarang, hatinya terasa lega. Aliran darah di tubuhnya mengalir lancar. Jantungnya memompa dengan cepat, terasa bersemangat. Pikirannya pun sudah kembali tenang.

Raven membalikkan tubuhnya, berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Matanya menatap lurus ke depan, ke banyak hal yang masih harus diselesaikan. Ia terus berjalan dan berjalan, tak menghiraukan segala rintangan yang akan menghalang. Karena di dalam hatinya, ia ingin menyongsong hari esok yang dipercayainya, pasti akan lebih cerah. (Tamat).

* * *

*"Pisau hati" tamat di episode ke-25. Selanjutnya, bagi para pembaca yang ingin mengetahui bagaimana kelanjutan pertikaian antara keturunan Claire-Kyle, dengan keturunan Raven-Angela, berupa kisah cinta segiempat yang penuh intrik juga rencana pembalasan dendam, boleh mengikutinya di novel "Sebuah Pembalasan" karya Rosni Lim setebal 266 halaman. Kunjungi www.leutikaprio.com, atau inbox langsung ke akun penulis ini. Terimakasih atas perhatian dari para pembaca di Kompasiana selama ini, yang telah dengan setia mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir. Salam sukses dan sejahtera selalu buat Anda semua! GBU...!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun