Saya bukan caleg ataupun paslon presiden tapi saya entah kenapa juga ketar ketir membayangkan jika seandainya yang duduk menjabat di negera ini besok adalah orang yang salah. Orang yang akhirnya hanya akan dihujat sana sini oleh masyarakat dan warganya sendiri.
Dimana mana ada demo lagi.
Di setiap sudut rakyat kecil menangis kelaparan dan menyorakkan pemerintah untuk :
"Turunkan harga bawang"
"Turunkan bbm"
"Turunkan Harga sembako!, dan bahan pangan"
"pak kami butuh pekerjaan".. bla..bla..bla"
Teringat saya tadi di tempat kerja. Nadya seorang pekerja yang baru bergabung di kantor nyeletuk.
"Nanti kita tunggu serangan fajar saja".
"Hahh,, apa? saya membelalakkan mata. " masaa sii?
Saya berkali kali pemilu tidak pernah mengalami hal tersebut" tutur saya kepada Nadya.
" Iya, kemarin saya dapat. "lumayan buat beli jajan, dan makanan kesukaan". begitu Nadya menjawab diplomatis.
Fiza, teman lain datang menyamperi. " benar, saya juga dapat!, ya terima donk!
"Subanallah, kiamat ini, saya setengah terperanjat. Lalu dengan ketus saya berkata " apaguna di sekolah belajar pancasila?, undang undang dasar, hukum dan ham?, kalau masih menerima uang suap dan suara diperjualbelikan?" saya tak habis pikir.
"Apalah daya kak, orang butuh uang belanja, MAK-mak dikampung kalau dikasih uang ya terima" Fiza menjawab tidak kalah diplomatisnya dengan Nadya.
Saya hanya diam. Habis akal. Kemudian saya menjawab " kalau saya tidak akan terima, karena saya tahu hidup tidak hanya sampai di sini. Masih adalah lagi tahapan kehidupan selanjutnya yang kita akan diminta mempertanggungjawabkan semua keputusan, perbuatan dan sikap kita selama di dunia.Â
"Bagaimana bisa seseorang itu mengaku nantinya jika dia adalah seorang hamba yang baik, warga yang baik, pemimpin yang baik atau seorang pribadi yang baik, hanya ketika mereka dihadapkan dengan uang, mereka akan menjadi berbagi muka atau berbadan dua, ehh.."Â