Dalam beberapa rilis gunung Manglayang adalah sebuah gunung bertipe Stratovolcano yang terletak di antara Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Indonesia dan memiliki ketinggian sekitar 1818 mdpl.
Nenek Ijah, sesungguhnya ingin bersama dengan Zahra dan cucu -- cucunya namun  rumah peninggalan Almarhum suaminya harus beliau rawat agar kelak bisa dijadikan markas untuk perjumpaan anak, mantu dan cucu.
Menjelang Malam Lebaran
Iqbal mempersiapkan ransel berisi botol air minum, Â satu bungkus roti sobek isi keju dan separoh batang coklat kegemarannya saat -- saat ia memberi kuliah daring pada murid -- muridnya di beberapa wilayah, Â lebih praktis dan nikmat bagi dia cemilan coklat.
Nenek Ijah bertanya pada Zahra separoh heran, Â kenapa Iqbal bersiap -- siap pergi di malam menjelang hari raya, Â kenapa . . . kenapa . . . perasaan Nenek Ijah agak sedikit ragu dan merasa tidak enak hati.
Zahra menjawab agak setengah jengkel, Â setengah mencoba maklum terhadap suaminya yang selalu keukeuh terhadap keyakinannya.
Zahra mencoba menjelaskan pada Emaknya bahwa Iqbal akan mencoba ke bukit -- bukit yang lebih tinggi dari wilayah Ciporeat mendaki kearah Manglayang menuju arah ke timur. Â Â
"Mak, Â Iqbal keukeuh mau ke atas mungkin perjalanan satu jam agar bisa melihat hilal dengan mata langsung . . . Zahra sudah sampaikan bahwa kita ikuti penjelasan pemerintah daerah, tapi dianya kurang percaya katanya kudu yakin pakai rukyah, Â makanya menuju puncak untuk lihat hilal setelah Matahari terbenam"
Emak Ijah manggut -- manggut bingung, Â untung tidak satupun putera dan puterinya pingin ikut melihat hilal di kaki Manglayang.
"Memangnya dari atas Ciporeat hilal akan tampak seusai bakda maghrib ?"
Zahra menjawab agak kurang pasti, Â "Mak kalau cuaca cerah seperti ini mungkin bisa atau jika ada awan yang tiba -- tiba lewat mungkin tidak bisa"